Judul buku: Jurnal Jo (Jurnal Jo #1)
Penulis: Ken Teratesampul: Orkha Creative
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 9786020306292
Cetakan keempat, 7 Januari 2019
Tebal: 240 halaman
Penulis: Ken Teratesampul: Orkha Creative
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 9786020306292
Cetakan keempat, 7 Januari 2019
Tebal: 240 halaman
"Kita tahu kita telah dewasa saat:
- Kita merasa nggak keren kalau memeluk ayah atau ibu kita di depan umum.
- Adegan ciuman di TV nggak membuat kita mual.
- Kita bersedia merelakan sesuatu hanya untuk membuat orang lain senang." (hlm. 225)
Siapa bilang menjadi remaja itu menyenangkan? Yah, bagian menjadi remajanya mungkin menyenangkan, tetapi proses peralihan dari anak ke remaja itu yang kadang mengerikan. Sebagaimana proses peralihan dari remaja ke dewasa, atau dewasa ke tua; peralihan dari anak ke remaja bisa menjadi salah satu tahapan hidup yang rentan bikin stres bagi beberapa orang. Setidaknya inilah yang coba dikisahkan Josephine Wilisgiri lewat novel Jurnal Jo ini. Menjadi murid SMP tidak hanya berarti dia tidak SD lagi, tetapi juga bahwa dia harus mulai memakai miniset, menggunakan deodoran, lebih memperhatikan penampilan, dan mencoba jatuh cinta pada cowok. Bagi Jo, semua itu nggak banget--terutama bagian cowoknya.
Tidak hanya dunia kesehariannya yang berubah, Jo juga harus menghadapi sahabat karibnya--Sally--yang belok drastis. Awalnya, Sally mengubah namanya menjadi Ally biar tampak keren. Kemudian, setelah mereka masuk SMP dan Sally berkenalan dengan geng populernya Nadine, kawannya itu semakin aneh saja. Mulai dari mengubah rambut, menggenakan asesoris aneh-aneh, menggunakan kaus olahraga yang sempit, bahkan mengganti nama panggilannya menjadi Ginny. Jo sampai frustrasi karena walaupun rumah mereka berdekatan dan setiap hari ketemu, Sally semakin asing baginya. Ternyata tidak hanya pacaran yang mampu memalingkan seseorang dari kawannya, teman-teman baru juga bisa.
Sally istilahnya sudah menyerah dengan godaan masa remaja. Jo gimana? Sebagai remaja normal, tentu saja Jo juga sempat tergoda. Siapa sih yang nggak ingin jadi anak populer di sekolahnya? Siapa yang nggak ingin jadi cantik? Siapa hayo yang nggak mau dikagumi cowok-cowok kakak kelas yang jago basket itu? Jo tentu ingin itu semua. Tetapi, di sisi lain, akal sehat (dan ibunya) menjadi semacam jangkar penahan agar dia tidak ikut terlalu larut dalam hedonisme masa remaja. Pertemuannya dengan Klub Sastra juga sedikit mengembalikan kewarasan Jo. Lewat Klub Baca Buku yang dipandang aneh itu, Jo bisa mengambil sedikit jarak dari dunia hedon geng Nadine. Di klub ekstrakulikuler ini juga Jo dipertemukan dengan gebetan pertamanya: Andre.
Tentunya, sebuah cerita teenlit akan hambar kalau nggak ada bumbu-bumbu cinta monyetnya. Jo juga mengalaminya. Awalnya, dia tidak menyangka cowok tipe pemain basket kayak Andre mau bergabung dalam klub Sastra. Seperti abg-abg puber lainnya, Jo awalnya nggak tahu perasaan senang-tapi-degdegan apa yang muncul di perutnya setiap kali dia berjumpa dengan cowok itu. lama baru dia tahu kalau itu adalah perasaan tertarik kepada lawan jenis yang wajar dirasakan anak remaja normal seusianya. Untungnya, cinta-cintaan di buku ini digambarkan juga dengan wajar-wajar saja oleh Ken Terate. Tidak berlebih-lebihan kayak di serial Barat, tapi tidak juga cinta-cintaan model cupu yang malah kerasa nggak nyata.
"Dan, percayalah: tanpa pacar kamu tetap keren." (hlm 230)
Saya merasakan betapa penulis mampu menggambarkan dunia remaja yang apa adanya. Ken Terate dengan asyik menggambarkan masa-masa puber ABG lewat kisah Jo. Cewek ini digambarkan sebagai remaja yang biasa-biasa saja, bukan cewek populer dan bukan pula cewek genius. Dia juga suka sama cowok populer dan ada keinginan pula jadi populer. Hebatnya di Jo ini, dia memiliki pijakan atau jangkar kepribadian yang kuat. Awalnya memang dia minder karena tidak sekeren Nadine atau tidak seseksi Novi. Tetapi, dalam dirinya telah tertanam kuat bahwa setiap orang adalah unik dan menjadi diri sendiri jauh lebih asyik ketimbang menjadi orang lain karena paksaan.
Asyiknya lagi, Jo ini juga bukan tipe remaja penceramah yang sukanya bilang "Maaf, hanya mengingatkan." Berkali-kali dia melihat Sally dikadalin sama geng Nadine, tapi dia tidak kemudian sok menceramahi sahabatnya itu. Alih-alih bijak, keduanya malah berantem unyu. benar-benar mirip kayak kisah remaja betulan. Ini yang bikin Jurnal Jo ini kerasa banget ABG-nya, karena ada kepolosan sekaligus keangkuhan masa remaja digambarkan dengan begitu real di dalamnya. Pembaca seperti benar-benar sedang membaca jurnal seorang cewek ABG yang lagi bingung dengan perubahan yang dialaminya. Ini yang bikin Jurnal Jo istimewa.
"Kurasa kita memang punya cara untuk menjadi keren sendiri-sendiri." (hlm. 235).
kok kayaknya lucu ya bukunya wkwk aslilah langsung inget masa aku SMP dulu. kutipan yang mas dion sampaikan juga makjleb bangettttt <3
ReplyDeleteKu baca ulasan kak Dion dari jurnal Jo 1 sampai 3 seperti ku lebih suka yang jurnal Jo 1. Karena di buku itu, Jo masih polos-polos gitu ihh pasti lucu kann hehe. Ku juga penasaran klub sastra, kenapa di sekul ku takde ekskul itu sih... Ku juga ingin tahu Andre hanya cinta monyetnya apa nihh�� || @Firdisa
ReplyDeleteAku suka dg ulasan ini. Kisah Jo benar-benar ngajak flashback ke masa remaja dulu (iya.. dulu!). Ngerasain gimana krisisnya jadi remaja nanggung, perubahan fisik dan kehidupan sosial. Aku merasa jangkarku cukup kuat sih pada masa itu :D
ReplyDelete@rinspirations
JADIKAN AGEN KAMI MENJADI FAVORIT ANDA ,
ReplyDeleteAYOO BERGABUNG BERSAMA RIBUAN MEMBER KAMI YANG LAINNYA
HANYA DI HTTP :// WWW.ARENA-DOMINO.COM
BONUS ROLLINGAN TERBESAR 0,3 % SETIAP MINGGUNYA .
Bosan tidak tahu mau mengerjakan apa pada saat santai, ayo segera uji keberuntungan kalian
ReplyDeletehanya di D*E*W*A*P*K / pin bb D87604A1
dengan hanya minimal deposit 10.000 kalian bisa memenangkan uang jutaan rupiah
dapatkan juga bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% :)