Tuesday, May 7, 2024

Dilarang Mengutuk Hujan

Judul: Dilarang Mengutuk Hujan

Penulis: Iqbal Aji Daryono

Tebal: 166 hlm

Cetakan: 1, Februari 2021

Penerbit: DIVA Press



"Ini adalah masa-masa yang sangat berbahaya. Belum pernah begitu banyak orang memiliki begitu banyak akses ke begitu banyak pengetahuan, tetapi sangat enggan untuk mempelajari apa pun." (hlm. 163)

Esai yang simpel, "kerakyatan", dan enak banget disimak. Mas Iqbal menulis banyak hal serius tentang pelestarian alam, kemandirian seorang anak, kerukunan warga, hingga teori-teori entah apa dengan gaya yang akrab. Pengetahuannya beragam sekali, sebanyak buku-buku yang ditimbunnya eh dikoleksinya. Ini sesuai dengan sosok yang ditampilkan beliau di akun Facebooknya (yang setiap kali bikin status pasti yang komen minimal puluhan bahkan ratusan). Penulis memang mencitrakan dirinya sebagai sosok yang kritis, suka membuka dialog, peka dengan isu-isu aktual, kaya akan diskursus (haduh apa ini), dan tajam membedah isu-isu apa pun. Satu hal khas dari beliau, aspek humor dan "merendah khas orang Jawa" menjadikan sosoknya terasa lewbih luwes, merakyat, pintar tapi tidak ndakik-ndakik! Pokoknya tipe mas-mas kerakyatan yang enak diajak ngobrol di angkringan malam-malam atau di bawah pohon talok di siang bolong.

Banyak materi yang dikomentari eh dbahas di buku ini. Bahkan peristiwa semacam penemuan sarang semut pun bisa diolah menjadi perenungan tentang sejatinya diri. Bahwa kita yang selama ini merasa memiliki tanah dan bumi, padahal sejatinya hanya dicipta untuk menggunakannya dengan bijak. Satu esai tentang rumpun pohon bambu cukup menarik. Selama ini bambu dipandang sebagai tanaman yang rimbun, bikin kotor, menyebabkan suasana singgup, dan konon menjadi rumah bagi mahkluk halus. Belum lagi, daunnya yang banyak dan menumpuk di tanah bisa menjadi sarang ular berbisa. Tapi yang kita lupa, bambu punya banyak manfaat. Tanaman ini sangat lekat dengan kehidupan ber-Indonesia. Senjata di zaman kemerdekaan adalah bambu runcing, setiap 17 Agustus juga batang bambu dicari untuk tiang bendera atau untuk memasang umbul-umbul. Selain itu, bambu punya fungsi ekologis yang luar biasa: menyerap dan menyimpan air tanah. Tempat yang bambunya memiliki sumber air yang bagus.

Mas Iqbal adalah definisi dari bisa menuliskan dengan tepat hal-hal absurd random dalam pikiran. Sering kali kita kepikiran ide yang aneh dan nggak umum, tapi bingung manfaatnya apa. Dan lebih bingung lagi saat harus menjelaskannya secara lisan dan tulisan. Seperti itulah esai-esai mas Iqbal. Dia meihat sudut pandang atau POV baru dari hal-hal yang selama ini dipandang seragam oleh banyak orang. Tentang wabah Korona beberapa tahu silam, yang menyebabkan lockdown dan orang kena PHK. Sempat-sempatnya penulis kepikiran bahwa mendoakan diri sendiri dan keluarga sendiri tetap sehat adalah sesuatu yang egois. Orang lainn juga butuh dan harus didoakan supaya tetap sehat dan selamat karena tanpa ada orang lain maka bukunya juga tidak ada yang beli. 

Bahkan sekelas beliau pun mengamini salah satu hukum kekekalan timbunan tentang kecepatan membaca buku tidak berbanding lurus dengan kecepatan membeli buku. Tapi, kilahnya lagi, orang-orang  hebat konon muncul dari keluarga yang mudah mengakses buku alias rumahnya banyak bukunya wkwk. Tapi satu esainya tentang buku sungguh menyentil dan agak menobrak-abrik jenset eh mindset kita. Betapa selama ini kaum intelektual demikian mengagungkan sumber tertulis sebagai sumber data primer. Mulai dari prasasti, dokumen, manuskrip; segala hal bisa terasa lebih valid jika ada catatan tertulisnya. Ilmu jadi lebih bisa dipercaya jika ada dokumen tertulisnya. Tapi bagaimana dengan budaya atau masyarakat yang merawat ilmu secara lisan atau lewat ingatan? Apakah dengan begitu, ilmu mereka tidak dapat dipertanggungjawabnya? Tulisan ini turut menyentil saya yang kadang terlalu mendewakan buku, yang beranggapan semua ilmu dan solusi masalah bisa ditemukan lewat buku. Padahal tidak selalu begitu.

Bersikap moderat, cerdas ilmu tapi juga pandai membawa diri, berada di tengah-tengah merangkul semua kalangan dan juga kahanan. Ini yang sepertinya jalan pilihan Mas Iqbal. Seperti terungkap di salah satu esai buku ini, dia bukan orang yang mengejar kompetisi atau senang bersaing. Ia tipe pria Jawa tengahan yang penting hidup tenang, banyak kawan, dan punya cukup uang, plus bisa menikmati hidup yang sederhana saja seraya menhasilkan tulisan-tulisan yang luar biasa. Esai-esai di buku ini buktinya.

No comments:

Post a Comment