Judul: Cina Muslim dan Runtuhnya Republik BisnisPenyusun: Teguh SetiawanTebal: 261 hlmCetakan: 1, 2012Penerbit: Republika
"Sejarah adalah milik mereka yang menulis." (hlm. 239)
Sekitar tahun 2000an ke atas, saya sempat mendengar kata
"cina" dilafalkan /chaina/ seperti pelafalan versi Inggris di sebuah
saluran. Alasannya, saya tidak tahu karena di saluran lain tetap dibaca /Cina/.
Lalu beberapa tahun kemudian, ramai digalakkan penggantian istilah China atau Cina
menjadi Tiongkok. Beberapa media cetak dan media elektronik pun ikut sigap
mengganti RRC menjadi RRT. Alasan yang saya tangkap waktu itu karena istilah
‘Cina’ berkonotasi negatif atau mengejek, sesuatu tentang Geger 1965 atau apa.
Kemudian saya kebetulan membaca buku ini, dan ketemulah jawabannya. Penyebabnya
ternyata jauh sebelum itu.
Tahun 1808, penulis Jepang bernama Sato Nobuhiro menggunakan
kata “zhina”dan ‘shina’ untuk melayangkan pujian kepada Tiongkok, dan tidak ada
satu pun warga Tiongkok yang marah. Kata ini menjadi berkonotasi negatif
(terutama bagi public RRT) ketika lima belas tahun setelahnya Jepang
menggunakan kata yang sama untuk merujuk pada objek yang harus dianeksasi.
Tahun 1885, Tiongkok kalah dengan Prancis dalam perebutan Sungai Merah.
Puncaknya, Tiongkok kalah dari Jepang dalam perebutan kekuasaan atas
Semenanjung Korea dan lewat Perjanjian Shimonoseki, Tiongkok harus kehilangan
Semenanjung Korea sekaligus harus membayar 30 milliar tael kepada Jepang.
Salah satu yang membuat sakit hati, beredar ejekan bahwa
jepang yang hanya berpeduduk 40 juta mampu mengalahkan Tiongkok yang
penduduknya waktu itu 400 juta. Bahkan ketika Jepang menjadi salah satu kekuatan
dominan di Asia Timur pada paruh awal abad ke-20, kata “shina” mendapat
tambahan arti “sick man from the far east.” Peristiwa kekalahan demi kekalahan
ketika Tiongkok menyandang nama “Shina” inilah rupanya yang mengoreskan bekas
luka pada rakyat Tiongkok saat kata “Cina” digunakan. Sejarahnya panjang dan memang menyakitkan
untuk negeri sebesar Tiongkok yang berperadaban ribuan tahun.
Penggunaan istilah “Cina” ini salah satu yang dibahas
singkat di buku ini. Selain itu, ada juga pembahasan tentang cergam silat, asal
muasal Cina peranakan, Po An Tui atau tentara sipil Cina nan legendaris, juga
beberapa bab menarik tentang Cina Udik dan Cina Benteng di wilayah Tangerang.
Bab paling menarik buat saya adalah pembahasan tentang Sastrawan Melayu
Tionghoa yang jumlahnya ternyata sangat banyak. Claudine Salmon mencatat ada
3.005 karya penulis Tionghoa, dengan penulis mencapai 800-an. Sangat perlu
dipertanyakan mengapa sedemikian banyak penulis dan karya ini tidak atau jarang
disinggung dalam sejarah perjalanan sastra negeri ini.
Sastrawan Tionghoa paling produktif adalah Kwee Tek Hoay
(1870 – 1960) dengan total 115 karya pada tahun 1940. Penulis ini unik karena
dia sastrawan sekaligus pedagang. Beliau seperti sudah mengetahui alasan klasik
yang membuat sastrawan dari segala zaman tidak bisa hidup selayaknya, terlepas dari
karya-karya legendaris mereka yang laris manis. KTH mencetak sendiri
karya-karyanya, sehingga dia turut menikmati kejayaan dari karya-karyanya
sendiri yang laris—hal yang sering dilupakan para penulis kita. Lalu kenapa
kesusastraan Tionghoa ini seperti tidak terdeteksi dan kalah dari bayang-bayang
Balai Pustaka?
Penggunaan bahasa Melayu rendah dan Melayu pasar adalah
penyebabnya. Awal abad 20, roman dan novel karya penulis Tionghoa ada begitu
banyak, tetapi mereka dianggap leih rendah dari karya-karya yang menggunakan
bahasa Melayu Tinggi (misalnya angkatan Pujangga Lama, Balai Pustaka, dan
Pujangga Baru). Posisinya bisa disamakan dengan roman picisan yang beredar di
kalangan bawah, dijual di terminal, dan harganya murah. Padahal secara cerita
dan muatan, karya-karya ini tidak kalah bagusnya.
Novel Nona Olanda
sebagai Istri Tionghoa karya Vjoo
Cheong Seng ternyata mirip dengan Salah
Asuhan karya Abdul Muis. Juga Nona
Iam Im yang ternyata mirip dengan Salah
Pilih karya Nur Sutan Iskandar. John B Kwee dalam disertasinya Chinese Malay Literature of The Peranakan
Chinese in Indonesia 1880 – 1942 menunjukkan dengan valid betapa banyak
novel-novel karya sastrawan Indonesia sangat dipengaruhi oleh karya-karya
penulis Tionghoa peranakan. Hal yang membedakan, karya-karya yang lebih akhir
(dan lebih kita kenal) ditulis dalam bahasa melayu rendahan.
Sungguh, sejarah memang milik para pemenang dan begitu banyak orang besar dan jasa besar yang disembunyikan. Buku ini memang ringkas, terlalu ringkas untuk bisa membahas topik sebesar jasa Tiongkok dalam sejarah bangsa ini. Editannya juga masih kurang rapi, dengan sejumlah penulisan yang kadang kurang runtut. Dimaklumi karena tulisan-tulisan ini adalah artikel dari harian Republika yang dikumpulkan menjadi buku sehingga seperti kurang urut atau terlalu acak dan singkat. Tapi, sebagai sebuah buku sejarah, buku ini banyak memberi wawasan baru.
No comments:
Post a Comment