Judul: The Night Eternal (The Strain Trilogy #3)
Pengarang: Guillermo del Toro dan Chuck Hogan
Penerjemah:
Tebal: 504 pages
Cetakan: Pertama, Oktober 2014
Penerbit: Elex Media Komputindo
Memang kalau dibandingkan buku pertamanya, seri ketiga ini
jatuh banget. Ibaratnya sebuah cerita horor yang seru tapi endingnya adalah
aksi tembak2kan dan ledakan bom. Saya juga masih blm puas sama aspek
supranatural dan ilmiah yg bekerja pada vampir tapi zombie di buku ini, yang di
buku 3 malah ikut ketambahan elemen religi. Asal dari cacing2 darah memang
dijawab, tp kurang ilmiah kalo dibanding penyebarannya yang luar biasa anatomia
di buku 1. Untungnya, setengah ke belakang buku ini kaya akan adegan aksi, yang
bahkan masih panas sampai 5 halaman terakhir. Cukup memuaskan hasrat pembaca
akan sebuah bacaan yg menjanjikan adegan2 visual ala film.
Tema falling angel tampaknya
jadi salah satu favorit para penulis Amerika. Setelah sebelumnya sempat
mendominasi genre romance dan turunan-turunannya, si malaikat yang terbuang
akhirnya juga mengoda penulis thiller. Tidak ada yang salah dengan tema ini. Hanya
saja, tema ini jatuhnya geje ketika diterapkan dalam seri The Strain yang sudah dibuka dengan bagus sekali di buku pertamanya
(sebelum kemudian emakin ke belakang kok malah semakin merosot ratingnya). To the
point aja, maafkan kalau agak spoiler, saya termasuk barisan pembaca yang tidak
puas dengan penjelasan mengenai asal usul vampire yang digambarkan di buku ini.
Memang, ada mitos yang menyebut vampir sebagai Yudas Iskariot yang dikutuk
untuk hidup abadi sampai hari perhitungan kelak. Tetapi, mengaitkan asal-usul
vampir sebagai malaikat yang terbuang, saya kok agak gimana gitu.
Sebagai sebuah buku pamungkas, buku ini juga kurang meyakinkan.
Saya sudah curiga sejak buku pertama
bahwa kayaknya bakal ada hal-hal beraroma magis atau takhayul untuk menjawab
asal muasal vampir dalam the Strain. Tetapi, saya nggak menyangka kalau para
penulis ternyata juga membawa-bawa unsure religi. ini yang bikin gemes. Memang hak
penulis sih mau menyetir kisahnya ke arah mana. Tetapi saya sudah telanjur
terpesona sama The Strain, sama kepiawaian penulis menggambarkan fase-fase
penularan vampir yang begitu “ilmiah”. Betapa
penulis berhasil dengan sangat baik meyakinkan pembaca bahwa vampir sejatinya
adalah agenpenyebar virus yang penularannya menyerupai gejala penyakit. Bahwa
vampir itu tidak mengigit, tetapi menyengat—walaupun kedua versi sama-sama mengisap
darah korbannya.
Keunggulan buku pertama the
Strain ada pada aroma fiksi ilmiahnya, yang digambarkan dengan begitu medis
sehingga malah menghasilkan aroma mencekam seperti film-film zombie apocalypse. saya rasa pemnaca tidak keberatan jika vampir dalam The Strain lebih mirip pasukan zombie +
alien ketimbang sesosok vampir yang selama ini kita kenal. Yang dicari pembaca
dari membaca buku thriller adalah
ketegangannya. Pembaca merasa puas ketika penulis berhasil menakut-nakuti
pembaca sampai tahap penasaran sehingga mereka tetap akan melanjutkan membaca
cerita meskipun takut. Sensasi takut tapi bikin penasaran ini biasanya kita
rasakan juga saat mendengarkan cerita horror. Rasanya takut tapi kok ya
penasaran. Ini resep yang cespleng banget untuk menarik pembaca. Dan menurut
saya, penulis sangat berhasil melakukannya di buku pertama, lumayan sukses di
buku kedua, tapi tidak terlalu manjur di buku ketiga. Sayang sekali padahal ini
sebagai buku pamungkas.
Ada semacam
inkonsistensi dalam serial ini, yang untungnya berhasil ditutup dengan baik
oleh para penulisnya. Vampir yang menular lewat virus dan cacing, bahkan metabolisme
hingga fisiologisnya digambarkan dengan sedemikian detail, tetapi takut sama
perak. Memang, dalam dunia medis perak dianggap sebagai unsur suci hama, tetapi
tetap saja heran saat Goodweather dengan mudah menebas vampir dengan pedang
perak tapi tidak dengan pedang logam. Bagaimana perak meracuni vampir,
pertanyaan ini yang coba saya temukan jawabnya dengan bersabar membaca seluruh
seri ini sampai tuntas. Sesuai dengan penjabaran vampir yang teramat ilmiah,
saya menghadapkan jawaban yang ilmiah juga. Tetapi, ternyata jawabannya sangat
beraroma religi. ini ibarat mencampur dua genre yang jauh berbeda dalam satu
cerita, yang untungnya cerita itu bagus. Hal yang sama juga berlaku pada aliran
air yang mengalir dan sinar matahri, ujung-ujungnya tetap kembali kepada
takhayul dan bukan ilmiah.
Saya,
seperti juga sejumlah pembaca lain, menantikan ada semacam plot twist bernuansa ilmiah untuk menjawab tiga pertanyaan besar
tentang vampir yang sudah muncul sejak di buku pertama. Tetapi, rupanya tentang
vampir ini belum bisa move on dari sumber tradisionalnya. Sungguh saya berharap
seandainya si Master ini semacam mutant akibat radioaktif nuklir atau apa gitu
agararoma ilmiah yang mendominasi di buku pertama bisa tetap dipertahankan
hingga di buku pamungkasnya. Walau demikian,hal positifnya juga banyak. DI
antaranya, penulis yang piawai banget mengolah setting tempat dan waktu
sehingga pembaca mudah membayangkannya. Penggunaan data sejarah yang lumayan popular
untuk disambungkan dengan asal-usul vampir ini juga patut diacungi jempol. Jangan
lupakan juga adegan pertempuran yang bertebaran hingga ke halaman-halaman
terakhir sehingga membuat pembaca bisa berteriak puas sambil berseru “ Rasakan
kau, vampir-vampir sialan.”
Ini bukan ulasan, lebih mirip surat pembaca ya wkwkwk.
No comments:
Post a Comment