Judul: Haji Murat
Pengarang: Leo Tolstoy
Penerjemah: Koesalah Soebagyo Toer
Tebal: 191 hlm
Cetakan: Pertama, Februari 2009
Penerbit: Pustaka Jaya
Pengarang: Leo Tolstoy
Penerjemah: Koesalah Soebagyo Toer
Tebal: 191 hlm
Cetakan: Pertama, Februari 2009
Penerbit: Pustaka Jaya
Sebuah novel sedikit banyak
mencerminkan pandangan politik penulisnya. Dari karya juga, pembaca bisa
melihat perkembangan pandangan penulis sepanjang usia kepengarangannya. Tolstoy
merayakan kemenangan rakyat Rusia atas serbuan Napoleon lewat karya agungnya, War and Peace. Secara sukarela, ia bahkan
terjun dalam Perang Krim (1853-1856) melawan Turki yang dibantu oleh Inggris,
Perancis, dan Sardinia. Nasionalisme menjadi api yang menggerakkan semangatnya. Kemudian, dalam karya-karya
selanjutnya, tema kemanusiaan lebih menjadi perhatiannya. Novel Haji Murat yang ditulis di masa-masa
penghujung kariernya sedikit banyak menggambarkan perubahan Tolstoy yang pada
akhirnya memilih untuk membela kemanusiaan ketimbang mengobarkan nasionalisme.
Dalam novel ini, dia seperti sengaja memosisikan diri sekadar sebagai pengamat,
orang yang tidak memiliki urusan sama sekali dengan kedua belah pihak yang
bertikai. Hanya satu yang dia sepakati, bahwa perang—betapa pun agung dan
mulianya—selalu menimbulkan korban di kedua belah pihak.
Haji Murat adalah sebuah novel pendek yang mengisahkan akhir hidup
dari seorang pemimpin pemberontakan bernama Haji Murat. Pria tua walau sudah
sepuh, namanya sangat dihormati di Pegunungan Kaukasus. Dia menghabiskan
sebagian besar hidupnya untuk mempimpin kelompok perlawanan Chenchen melawan
agresi pasukan Kekaisaran Rusia. Bersama pasukannya yang setia, Haji Murat
berulang kali melakukan serangan gerilya pada pos-pos terluar Rusia di Chechnia
sehingga namanya melambangkan perlawanan tak kenal lelah kepada penjajah Rusia.
Kemudian, keadaan berbalik. Melalui telik sandi, disampaikan bahwa Haji Murat
akan menyeberang ke pihak Rusia. Tokoh pemimpin perlawanan akhirnya beralih
menjadi sekutu, ini tentu kabar yang sangat menggembirakan bagi pihak lawan.
Tentang penyeberangan Haji Murat
ke pihak Rusia inilah garis cerita utama dari novel ini. Dimulai dari
penyerahan dirinya secara sukarela kepada pihak lawan dilatarbelakangi oleh
alasan politis juga sebelumnya. Awalnya, Haji Murat dekat pada para Khan, yakni
keluarga bangsawan penguasa bangsa Tartar. Sebuah pemberontakan atau intrik
politik akhirnya menumbangkan kekuasaan para Khan ini. Sosok licik bernama
Gamzat naik ke panggung politik dan dengan sadis menghabisi para Khan beserta
keturunannya. Dalam upaya balas dendam, Haji Murat dan kakaknya berhasil
membunuh Gamzat. Tetapi, Kakaknya ikut tewas dalam kejadian tersebut. Malangnya
lagi, Gamzat digantikan oleh Shamil yang tak kalah liciknya. Tokoh ini
menyandera keluarga Haji Murat saat dia sedang berjuang melawan Rusia. Karena
Shamil sendiri juga musuh Rusia dan Haji Murat juga tengah kekurangan kekuatan
militer, dia memutuskan membelot ke pihak lawan dengan harapan pihak Rusia akan
membantu merebut keluarganya dari tangan Shamil.
Begitulah politik, semuanya bisa
terjadi selama ada kepentingan. Kawan jadi lawan, lawan jadi kawan. Tidak ada
yang benar-benar murni dalam berpolitik. Dalam Haji Murat, Tolstoy menggambarkan fenomena ini dengan sedemikian
samar lewat tokoh-tokohnya. Berdampingan dengan peristiwa penyerahan diri Haji
Murat, dipaparkan juga sepenggal dua penggal kisah kehidupan para pejabat Rusia
yang terlibat di dalamnya. Sewajarnya manusia, ada sisi baik dan buruknya.
Tolstoy lebih banyak menyorot sisi bobrok manusia lewat novel ini. Pejabat yang
korup, para bangsawan yang hanya mengejar kedudukan, politisi yang sibuk saling
cibir di belakang—dan kemudian berubah salam hangat saat saling bersua di aula
pesta, para lady yang hanya tau
berpesta seraya membikin skandal di sana
sini. Pihak yang paling dirugikan tentulah rakyat biasa, yang dilambangkan oleh
para prajurit bawahan. Mereka itulah sejatinya para patriot sejati, yang
ironisnya malah menjadi korban yang pertama kali.
Penulis yang baik pertama-tama berpihak kepada kemanusiaan dan baru pada nasionalisme. Tolstoy di Haji Murat melakukannya dengan mengambil posisi pengamat. Meski berkewarganegaraan Rusia, Tolstoy tidak lalu dibutakan oleh fanatisme kenegaraan. Sebagai pengamat, digambarkannya sama rata kondisi kedua kubu (Kekaisaran Rusia dan pemberontak Chenchen), baik dan buruknya. Pejabat yg korup dan tidak becus, penguasa lokal yang lalim, semua orang di kisah ini seperti berada di tempat dan waktu yang salah. Keberanian dan masa muda yg tersiasia, keindahan alam pegunungan yang ternoda darah. Pada akhirnya, perang hanya akan menyisakan luka dan kerusakan di kedua kubu. Dengan begitu halus dan tanpa memihak, Tolstoy mengutuk perang lewat karyanya ini.
Penulis yang baik pertama-tama berpihak kepada kemanusiaan dan baru pada nasionalisme. Tolstoy di Haji Murat melakukannya dengan mengambil posisi pengamat. Meski berkewarganegaraan Rusia, Tolstoy tidak lalu dibutakan oleh fanatisme kenegaraan. Sebagai pengamat, digambarkannya sama rata kondisi kedua kubu (Kekaisaran Rusia dan pemberontak Chenchen), baik dan buruknya. Pejabat yg korup dan tidak becus, penguasa lokal yang lalim, semua orang di kisah ini seperti berada di tempat dan waktu yang salah. Keberanian dan masa muda yg tersiasia, keindahan alam pegunungan yang ternoda darah. Pada akhirnya, perang hanya akan menyisakan luka dan kerusakan di kedua kubu. Dengan begitu halus dan tanpa memihak, Tolstoy mengutuk perang lewat karyanya ini.
No comments:
Post a Comment