Wednesday, May 2, 2018

The Lost World, Petualangan Mencari Dunia yang Hilang


Judul: The Lost World
Pengarang: Sir ARthur Conan Doyle
Penerjemah: An Ismanto
Tebal: 314 hlm
Cetakan: Pertama, 2014
Penerbit: Indoliterasi




Sejak kesengesem dengan Sherlock Holmes di zaman kuliah dulu, saya menjadikan Sir Arthur Conan Doyle sebagai salah satu penulis klasik favorit selain Jules Verne. Keduanya memang pioner fiksi ilmiah di era klasik. Satu hal yang saya kagumi dari keduanya adalah konsep-konsep canggih yang mendahului zamannya, yang kemudian terbuktikan sebagian (atau keseluruhan kebenarannya) di masa kini.  Karya-karya mereka yang mendahului zaman terus memukau saya sebagai pembaca. Membayangkan para penulis besar ini menulis karya-karya fiksi ilmiah di abad kesembilan belas dan kita masih bisa menikmatinya di abad modern. Betapa luar biasa bakat yang mereka miliki. Mengikuti metode Holmes menganalisis kasus, atau turut menyelam ke kedalaman samudra bersama Kapten Nemo selalu menjanjikan petualangan membaca yang seru. Dan keduanya masih terus mempesona pembaca meskipun mereka hidup lebih dari seratus tahun lalu. Kapal selam, roket, perjalanan mengelilingi bola Bumi, hingga spesies kadal raksasa dinosaurus. Selalu ada hal-hal baru dalam karya mereka, dan salah satu yang terbaik ada di novel The Lost World ini.



Konsep awal novel ini agak mirip dengan Around  The World in 80 Days-nya Jules Verne. Dalam sebuah pertemuan ilmiah di Institut Zoological Institute’s Hall, London, seorang doktor cerdas namun eksentrik bernama Dr. Challenger membuat heboh seluruh hadirin dengan klaimnya tentang dunia yang hilang. Dalam petualanagn terdahulunya di pelosok Amazon, Amerika Selatan, pria tua itu mengaku telah menemukan spesimen dari dunia purba, sesosok bangkai Pterodactyl raksasa. Sayangnya, spesimen itu hilang saat kapalnya terbalik di sungai. Hadirin pun meragukan klaimnya, menganggap bahwa ceramahnya tidak lebih dari ocehan seorang ilmuwan tua yang gagal dalam perjalanan risetnya. Sampai kemudian Dr Challenger mengajukan tantangan untuk menunjukkan kebenaran klaimnya. Kepada majelis, dia meminta diutus satu tim khusus yang dipimpin Dr. Summerlee untuk menyelidiki kebenaran ceritanya tentang dunia yang hilang. Tim itu terdiri atas Mr. Summerlee (wakil dari Lembaga Zoologi), Lord Roxton (bangsawan petualang), dan Ed Malone (jurnalis dari Gazette). Dari Malone lah kisah ini diceritakan.

Singkat cerita, ketiganya segera berangkat menuju sebuah lokasi yang sengaja di rahasiakan di pelosok Amerika Selatan, tempat mereka menemukan kejutan pertamanya: Dr. Challenge. Diam-diam, sang dokter nyentrik tapi perkasa itu menyusul tim ekspedisi dan memutuskan akan menjadi pemimpin sekaligus penunjuk jalan mereka. Mencari dunia yang hilang bukan perkara yang mudah. Pasti ada sebabnya mengapa mahkluk-mahkluk prasejarah masih bisa tetap eksis jutaan tahun setelah kepunahannya. Dengan berbekal ingatan dan buku jurnal dari seorang penggembara dari Amerika Serikat, tim berangkat menyusuri anak sungai Amazon sebelum kemudian masuk ke belantara tropis terbesar di dunia yang masih tersisa: Hutan Amazon. Bagian ini yang paling menarik karena pembaca seperti diajak menerabas hutan, menyusuri sungai penuh buaya, melangkah di rawa yang juga sarang ular paling berbisa, hingga menembus hutan bambu yang sedemikian rapat. Rupanya penghalang-penghalang alami inilah yang membuat lokasi ‘dunia yang hilang’ tetap tersembunyi. Ini masih dibantu dengan mitos di kalangan bangsa Indian yang memang menghibdari wilayah angker tersebut.

Didukung pemikiran objektif dan semangat ilmiah, tim Dr. Challenger akhirnya memang berhasil mencapai plato rahasia tempat dunia yang hilang itu berada. Sayangnya, plato itu memiliki dinding teramat curam, sangat tinggi, dan mustahil didaki. Inilah penghalang alamiah terakhir yang ironisnya menjadi pelindung bagi mahkluk-mahkluk prasejarah yang berdiam di atasnya. Hanya dengan perjuangan dan semangat pantang menyerah, tim akhirnya berhasil naik ke atas plato tersebut, hanya untuk menjumpai kengerian-kengerian yang tak pernah mereka bayangkan. Di tempat itu, mereka gantian menjadi pihak yang diburu. Binatang-binatang raksasa yang hanya ada dalam buku sketsa dan museum tiba-tiba muncul nyata di hadapan mereka. Dan binatang-binatang itu sangat buas. Selain itu, tim masih harus menghadapi musuh lain yang justru jauh lebih berbahaya ketimbang dinosaurus. Mereka yang konon merupakan mata rantai yang hilang (missing link) muncul kembali dan menempati posisi mereka dalam rantai makanan sebagai pemburu. Dan manusia adalah mangsanya.

Sebuah karya sastra bisa menjadi gambaran dari sebuah kurun masa. Seperti halnya buku ini juga demikian. Abad kesembilan belas masih menjadi abad perburuan. Hutan-hutan di penjuru Bumi masih banyak yang tak terpetakan. Berburu kemudian menjadi kegiatan yang terhormat dan dijunjung tinggi. Berburu sekaligus menjadi bentuk keunggulan manusia akan dunia binatang. The Lost World—terlepas dari kehebatan sainstifiknya—masih menyisakan pertanyaan: Benarkah manusia memang perusak alam? Novel ini menggambarkan perjuangan manusia yang akhirnya selalu berhasil bertahan meskipun menghadapi musuh yang lebih purba dan lebih besar. Pada akhirnya, Doyle juga menunjukkan kepuasannya sebagai Homo Sapiens yang berhasil mengalahkan binatang raksasa dan manusia purba. Sebuah kesombongan khas dari manusia yang baru akhir-akhir ini saja kita menyadarinya ketika alam sudah telanjur rusak dan banyak flora-fauna langka telah menghilang.  

No comments:

Post a Comment