Judul: Annihilation
Pengarang: Jeff Vandermeer
Penerjemah: Lulu Fitri Rahman
Penyunting: Primadona Angela
Cetakan: Pertama, 2018
Tebal: 243 hlm
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Pengarang: Jeff Vandermeer
Penerjemah: Lulu Fitri Rahman
Penyunting: Primadona Angela
Cetakan: Pertama, 2018
Tebal: 243 hlm
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
"Di dunia ini tak ada yang benar-benar objektif--bahkan dalam keadaan terisolasi, bahkan sekiranya otak hanya berisi hasrat yang begitu kuat untuk mencari kebenaran." (hlm. 13)
Sebagaimana filmnya yang sunyi sepi dari pemberitaan, novel Annihilation juga hanya sempat ramai di
awal (karena kemunculan sampulnya yang kece) ketika Gramedia mengumumkan akan
menerbitkan versi bahasa Indonesianya. Satu bulan setelah terbit, hanya
segelintir pembaca saja yang membaca dan (apalagi) mengulas novel karya Jeff Vandermeer
ini. Kalau foto-foto di IG sih banyak, tetapi ulasan di goodreads tidak seramai
ulasan buku-buku sci-fantasi populer lain, semisal Illuminae misalnya. Beberapa ulasan sepakat mengatakan buku ini
unik. Jenis buku fantasi yang berbeda dibanding buku-buku scifi yang ada di
pasaran karena berani mengambil plot yang tidak pasaran. Tetapi, di sinilah pertaruhan
itu diletakkan. Menulis sebuah novel fantasi dengan tema yang tidak populer berpotensi
menjadikan novel tersebut sepi pembaca. Mungkinkah kondisi sepi-sunyi di Area X
turut mempengaruhi sepinya tanggapan atas buku ini di pasaran Indonesia?
Annihilation saya
akui memang termasuk fiksi yang berat. Sampai membaca tuntas novel ini, saya
masih belum bisa menangkap 100% isi dari novel ini. Tema sentralnya adalah
sebuah kawasan liar di selatan (selatannya mana?) yang dilingkupi oleh fenomena
yang aneh sehingga menjadikan tempat tersebut dijauhi. Setting area X adalah
kawasar pesisir dengan perpaduan vegetasi hutan-rawa-bakau. Setting waktunya
kemungkinan di masa depan karena ada alat-alat canggih dan ilmu psikologi telah
berkembang pesat (Si Ahli Psikologi yang juga ahli hipnosis seperti orang super
yang mampu mengendalikan pikiran orang lain di buku ini). Ada sesuatu di Area X
yang menjadikan kawasan tersebut dibatasi (anggota tim harus melewati
Perbatasan jika ingin masuk ke sana). Bahkan alat modern seperti telepon
genggam dilarang dibawa masuk karena ancaman kontaminasi.
Sepanjang cerita, pembaca akan dipaksa terus untuk bertanya
tanya siapa kiranya yang menguasai Area X. Sebelas ekspedisi telah dilakukan ke
Area X sebelum Ekspedisi ke-12 (yang menjadi alur cerita novel ini). Semua tim
ekspedisi sebelumnya kembali dengan kondisi yang beraneka ragam—cenderung aneh.
Semua anggota tim ekspedisi kedua bunuh diri, anggota tim ekspedisi ketiga
tewas karena saling baku tembak, sementara anggota tim ekspedisi kesebelas
pulang dalam kondisi abnormal sebelum meninggal karena kanker. Dalam ekspedisi
kedua belas ini, empat orang wanita diterjunkan untuk meneliti apa yang
sebenarnya terjadi di Area X. Mereka terdiri atas Ahli Biologi, Ahli Psikologi (sebagai pemimpin ekspedisi), Ahli Antropologi,
dan Ahli Survei. Dari Ahli Biologi lah kisah ini
diturutkan. Sebenarnya masih ada satu Ahli Linguis, tetapi entah mengapa dia
menolak melewati Perbatasan.
Kisah misteri paling horor adalah misteri yang tetap menjadi
misteri bahkan ketika ceritanya selesai. Inilah yang saya dapatkan saat membaca
novel ini. Sepanjang menekuri halaman demi halamannya, saya ikut merinding
karena mengetahui ada sesuatu yang tersembunyi di Area X, entah apa. Cara
penulis menggambarkan kengerian dalam Annihilation
bukan lewat binatang buas ayng bermutasi menjadi moster, atau seorang musuh
yang psikopat. Seluruh Area X yang bak suaka marga satwa dengan pemandangan
indah ternyata adalah horor itu sendiri. Seperti yang dirasakan sendiri oleh
keempat karakternya, saya tidak bisa menggambarkan kengerian jenis apa yang
diciptakan Jeff Vandermeer lewat setting
Area X ini. Ada sesuatu teor di balik alam liar yang sepintas tampak tak
berbahaya itu. Teror itu menyerang diam-diam, langsung menusuk dalam sifat
alamiah manusia, menguatkan kecenderungan purba untuk merusak diri sendiri.
Sejujurnya, titik terang tentang Annihilation bisa didapatkan dengan menonton filmnya. Setelah
membaca ulasan tentang film ini, saya mulai mendapatkan sedikit gambaran
tentang novel ini. Dari situ, saya harus mengangkat jempol buat penulisnya.
Setelah tahu kisi-kisinya, novel ini ternyata memang bagus. Area X bisa
dijelaskan sebagai satu petak wilayah yang dilingkupi oleh semacam gelembung
atau kubah raksasa yang memiliki ekositemnya sendiri. Di film, Area X di
jelaskan ada di wilayah pesisir Florida (South-nya orang Amerika Serikat).
Kawasan tersebut mampu membangkitkan sisi kelam manusia, mendorong kecenderungan
alamiah seluruh mahkluk hidup menuju ketidakteraturan. Ada sesuatu, semacam
mahkluk asing yang memancarkan entah gelombang atau aura yang bisa mempengaruhi
DNA manusia, tumbuhan, dan seluruh binatang di Area X. Dan ngerinya lagi, sampai
habis buku ini terbaca, saya masih nggak tahu apa itu.
Semoga buku ini bisa dibaca semakin banyak orang. Tidak
seperti filmnya, yang hanya dilempar ke Netflixx dan tidak tayang di bioskop
tanah air.
Kalo masih belum jelas konfliknya, bingung juga dimana letak menariknya. Petualangan mengeksplorasi area x saja, atau kemudian ada kejar-kejaran atau bagaimana.. ini yang akhirnya membuat minat membaca bukunya lemah hehehe. Saya sendiri belum membacanya.
ReplyDelete