Judul: Tahun Terakhir Dena
Pengarang: Purba Sitorus
Penyunting: Muhajjah Saratini
Sampul: Amalina Asrari
Tebal: 204 hlm
Cetakan: Pertama, Januari 2018
Penerbit: Laksana
Pengarang: Purba Sitorus
Penyunting: Muhajjah Saratini
Sampul: Amalina Asrari
Tebal: 204 hlm
Cetakan: Pertama, Januari 2018
Penerbit: Laksana
Masa SMA selalu menjadi salah satu masa yang paling berkesan
bagi banyak orang. Baik atau jelek, menyenangkan maupun buram, selalu ada
kenangan yang tertinggal dari masa-masa abu-abu putih ini. Ada yang pertama
kali jatuh cinta, mendapat sahabat dekat, pergi jauh dari rumah untuk pertama
kali, perdana membolos di kelas, ketahuan merokok, atau mengenal dunia baru
yang belum pernah dicoba sebelumnya. Masa-masa ini juga menjadi penentuan akan
masa depan. Mau dibawa kemana setelah ini
(apakah lanjut kerja atau memutuskan untuk kuliah). Inilah tiga tahun
paling krusial sekaligus paling penuh warna dalam hidup ini. Entah kenapa, saya
bisa mengingat masa-masa SMA jauh lebih jelas ketimbang masa-masa kuliah. Akan
dilupakan atau tetap terus dikenang, masa SMA memang akan selalu tersimpan rapi
di pojok ingatan.
Bagi Dena yang seorang bintang kelas hingga kelas 11 SMA,
masa-masa ini adalah masa kritis dalam mempertahankan prestasinya. Jika sampai
dia gagal di tahun terakhirnya di SMA, gagal pula semua perjuangannya selama
ini. Dena adalah murid berprestasi di SMA Harapan, sebuah SMA swasta yang
kebanyakan diisi oleh anak-anak dari keluarga kaya. Karena prestasinya itulah, Dena
dan Farah (sahabat dekatnya) bisa mendapatkan beasiswa agar tetap bisa bersekolah
di SMA mahal itu. Untuk itu, mereka harus terus berjuang mempertahankan
nilainya agar tetap di atas. Lalu, ada
Adit, cowok kaya bin bandel yang jadi idola cewek-cewek dengan penampilannya
yang slengean. Nah, di tahun terakhirnya di SMA, si Dena kebagian tugas untuk
memberikan semacam les privat gratis (istilahnya “tentir”) kepada Adit sebagai
tambahan kredit di surat rekomendasi beasiswa kuliahnya.
Tidak ada jalan lain, Dena harus rela mendekati Adit yang
bukan dari “dunianya” itu agar cowok itu mau ikut tentir dengannya. Tetapi, berteman
dengan Adit kudu sepaket. Artinya, Dena harus berteman juga dengan geng-nya
Adit yang tajir melipir. Ada anak-anak dari geng populer macam Aurel, Karen,
David, dan Mario yang dunianya adalah uang, pesta, dan bersenang-senang. Bagi
mereka, sekolah mungkin sekadar pengisi waktu luang. Kita mengenal orang-orang
seperti Dena ini. Mereka yang masuk kelas demi mengejar prestasi dan tak peduli
dengan yang lainnya. Kita juga mengenal cowok bandel tapi idola kayak Adit.
Tipikal cowok kaya yang menjadi bintang di SMA meskipun nilainya memprihatinkan.
Kita mungkin juga tidak akan asing dengan sosok Aurel, khas cewek gaul dan kaya
yang hidupnya habis untuk pesta dan belanja. Masa-masa SMA kayaknya bakal
kurang terasa gregetnya kalau nggak ada orang-orang kayak mereka.
Di sinilah Dena kembali diuji. Berteman dengan geng populer
ibarat bermain dengan api. Awalnya terasa hangat dan menyenangkan, tetapi bisa membakar
jika terlibat terlalu dalam. Aurel dan gengnya perlahan menyeret Dena dalam
kehidupan glamour mereka. Dena yang seumur-umur berjuang demi menjadi murid
berprestasi pun mulai terpengaruh oleh ajakannya. Hidup muda hanya sekali,
kenapa menunggu tua untuk berbuat nakal. Justru jadilah nakal mumpung masih
muda daripada nakal di saat tua. Begitu bujukan Aurel yang terus menyusup dalam
pikiran Dena. Sampai akhirnya, Dena sampai pada titik di mana dia akan
menggunakan tahun terakhirnya di SMA untuk bersenang-senang. Tetapi benarkah
itu pilihannya? Selain menyadari bahwa setiap orang punya pilihan, di ending novel ini dia juga belajar bahwa
setiap pilihan memiliki konsekuensinya masing-masing.
Manusia tidak bisa dipandang dari tampilan luarnya semata. Selain
harus menghadapi Adit yang ternyata menyimpan sesuatu, Dena juga menemukan
bahwa orang-orang populer kayak Aurel dan Karen ternyata tidak sepenuhnya jahat.
Lewat novel ini, kita diajak untuk mengunjungi kehidupan geng populer agar bisa
adil dalam memandang. Saya juga suka dengan cara penulis mempertahankan ciri
khas karakter-karakternya. Tidak ada karakter yang dipaksa untuk berubah 180
derajat sehingga terasa tidak nyata. Perubahan sejati berlangsung perlahan, untuk
kemudian berkembang dan menguat seiring perjalanan usia. Baik Dena, Farah,
Adit, maupun Aurel—semuanya dibiarkan tumbuh apa adanya sesuai dunia mereka. Konflik
yang ada tidak kemudian menjadikan cerita tertawan oleh keinginan pembaca
agar cerita bergulir sesuai pakem
standar. Tidak sama sekali. Dan saya suka itu.
Serunya membaca novel dengan setting SMA ya tentu saja nostalgianya.
ReplyDeleteBetul banget ha ha ha
Delete