Wednesday, March 14, 2018

Drama Mama Papa Muda

Judul: Drama Mama Papa Muda
Penulis: Pungky Prayitno dan Topan Pamukti
Editor: Ayun
Cetakan: Pertama, Februari 2018
Tebal: 232 hlm
Penerbit: Laksana




Buku tentang menikah muda sepertinya memang sedang membanjir di pasaran. Entah ini mencerminkan tren generasi muda zaman now yang ngebet nikah ataukah untuk menyindir banyaknya jomblo 90-an di Indonesia modern. Tapi, saya setuju dengan penulis buku ini: menikahkah saat betul-betul ingin dan siap. Menikahlah dengan penuh kesadaran bahwa sudah saatnya kamu berbagi semestamu dengan orang lain. Jangan terpaksa menikah hanya karena orang bilang sudah umurnya, atau teman-temanmu sudah sold out semua, atau karena si boy juga nikah muda. Karena menikah bukan cuma tentang enak dan romantisnya saja, tetapi juga tentang rempong dan ngehenya. Sebagaimana semua hal besar lain dalam hidup, menikah itu paket lengkap dan kita harus siap menerima yang baik dan buruk darinya.

“Bagi Bapak, pernikahan dan rumah tangga adalah kerja sama. Kerja sama untuk sama-sama bahagia.” (hlm. 83)

Aneka drama di buku ini membuktikan kebenaran fakta di atas dengan jujur dan lugas. Jika banyak buku pernikahan muda yang lain kebanyakan hanya memandang sisi-sisi baik dan berpahala saja dari sebuah pernikahan muda, buku ini dengan berani menampilkan sisi drama sebuah perkawinan. Tapi, tidak kemudian para penulisnya (yang juga pasangan muda) hendak menakuti pembaca agar jangan menikah muda lewat buku ini.  Penulis hanya menyuguhkan realitas tentang apa-apa yang akan dihadapi oleh setiap pasangan muda yang menikah. Harapannya, pembaca mengetahui hal-hal baik dan rempong di balik setiap pernikahan, yang harus diterima sebagai satu paket lengkap, sehingga dia memang benar-benar sudah siap lahir dan batin saat memutuskan untuk menikah. Buktinya, penulis tidak menyesal telah memutuskan menikah muda.

“Ternyata, menikah tidak membuat seorang perempuan kehilangan apa-apa, termasuk jalan dan kesmepatan untuk mengejar mimpinya. Menikah muda nggak sedikit pun merampas mimpi saya, nggak setitik pun.” (hlm 21)

 
Baik Pungky dan Topan, kedua menikah sebagaimana banyak pasangan muda umumnya di Indonesia. Kenalan saat kuliah, pacaran, lalu menikah. Sekilas tidak jauh berbeda dengan banyak kita. Pungky masih berusia 22 tahun saat menikah, bahkan saat hamil pun dia masih kuliah. Tetapi, ibu muda satu ini adalah tipe ibu muda traveler-relawan-easy going. Ini yang bikin buku ini unik. Pembaca diajak melihat kehidupan setelah pernikahan lewat sudut pandang Pungky yang fungky. Di halaman-halaman awal, pembaca bisa merasakan perbedaan buku ini dengan buku-buku nikah muda yang lain: Terus kok bayinya nangis terus sih, bedongnya lepas ini gimana ngubetnya, udelnya kok luka gitu kasihan amat, aduh kenapa jahitannya perih ya, ini kami jadi orang tua nih? Serius? (hlm 16). Tuh kan, antara kezel tapi pengen ngakak bacanya.

“...Ibu paham bahwa manusia dilahirkan berbeda-beda, dan nggak apa-apa.” (hlm. 69)

Di balik sosok Pungky dan Topan yang sepertinya tak ambil pusing dengan status baru mereka ini, keduanya ternyata memiliki pandangan yang visioner. Salah satu tulisan Topan berjudul “Pergilah, Bu. Bahagiakan dirimu” di bab 8 buku ini sebelumnya pernah dimuat di blog dan viral. Idenya memang cukup kontroversi buat sebagian ibuk-ibuk di Indonesia. Membayangkan seorang ibu muda pergi travelling dan meninggalkan anak dan suaminya di rumah selama tiga hari, duh pasti bakal banyak yang gatel pengen komentar. Faktanya memang artikel Topan ini viral bukan hanya karena banyak yang  setuju, tapi juga karena banyak yang nyinyir. Tapi kemudian, keduanya memberikan alasan mengapa si ayah menulis artikel tersebut. Saya sejauh ini sih mampu memahami dan memaklumi alasan mereka. Nggak tau ya kalau Dek Jimin. *digebuk Tiwik.

“Meskipun sudah jadi Ibu, dia tetap berhak melakukan apa yang menurutnya menyenangkan. Bapak nggak mau, status pernikahan yang Bapak kasih untuknya, membuat dia terkurung dan terkekang.” (hlm. 83)

Jika banyak yang masih berpandangan bahwa pernikahan muda akan mengubah hidup seseorang 180 derajat, buku ini dengan asyik membantahnya. Berubah 90 derajat mungkin, tapi tidak seharusnya menikah dijadikan dalih untuk berhenti menikmati hidup dan mengejar mimpi. Meski sudah menjadi emak rempong dan bapak sibuk, bukan berarti cita-cita diturunkan derajatnya, atau hidup dipersulit mudahnya. Pungky dan Topan membuktikan bahwa dengan kompromi dan komunikasi, keduanya masih bisa menjadi diri sendiri meskipun sudah menjadi milik berdua, eh bertiga ding sama bayi mereka. Bahkan membahas tentang pengasuhan anak pun, keduanya memiliki caranya sendiri. Penamaan Jiwo dari Sujiwo yang Jawa banget itu sendiri sudah melawan pakem umum orang tua zaman now yang ingin anak dengan nama kebarat-baratan, kearab-araban, atau kepanjang-panjangan. Jiwo juga dibebaskan bermain di sungai, jarang dikasih minum obat kalau sakit, bahkan nenen sampai usia 3,5 tahun. Mau nyinyir pasti bacanya, tapi cobalah baca penjelasan  kedua orang tuanya di buku ini. 

“Ibu akhirnya sadar bahwa menjadi orang tua sama sekali bukan kompetisi. Ibu akhirnya tau bahwa setiap anak punya perkembangan masing-masing, dan punya kamu adalah yang terhebat bagi kita.” (hlm. 116)

Pernikahan juga bukan hanya soal persamaan, tapi berkompromi dengan perbedaan. Ini yang mungkin sering dilupakan para pasangan muda, bahwa sama-sama cinta bukan berarti selalu sama dalam semua hal. Topan ingin agar anaknya nggak usah sekolah saja karena dia telanjur kecewa dengan sistem pendidikan kita. Sebaliknya, Pungky ingin Jiwo (anak mereka) sekolah minimal sampai S1. Bagaimana mengatasi perbedaan ini? Sekali lagi, kompromi dan komunikasi. Saya lebih setuju dengan pendapat Pungky. Buku ini juga mengulas banyak sekali isu kekinian dengan bahasa yang renyah, lalu disusupi dengan bagaimana Pungky dan Topan memandang fenomena-fenomena yang lagi viral di medsos. Tentang memberi tempat duduk kepada ibu hamil misalnya, Pungky punya pendapat yang agak beda:

“Saya seorang ibu, anak saya sekarang umur 5 tahun, tapi saya menolak untuk menjadikan diri sebagai ratu di mana pun, hanya karena saya ibu-ibu. Saya manusia biasa, banyak khilafnya. Saya nggak mau yang salah-salah jadi benar, hanya karena saya ibu-ibu.” (hlm. 54)

Ah Ibu Pungky, saya fans barumu.



 


No comments:

Post a Comment