Judul: Drama Mama Papa Muda
Penulis: Pungky Prayitno dan Topan Pamukti
Editor: Ayun
Cetakan: Pertama, Februari 2018
Tebal: 232 hlm
Penerbit: Laksana
Buku tentang menikah muda sepertinya memang sedang membanjir
di pasaran. Entah ini mencerminkan tren generasi muda zaman now yang ngebet
nikah ataukah untuk menyindir banyaknya jomblo 90-an di Indonesia modern. Tapi,
saya setuju dengan penulis buku ini: menikahkah saat betul-betul ingin dan
siap. Menikahlah dengan penuh kesadaran bahwa sudah saatnya kamu berbagi
semestamu dengan orang lain. Jangan terpaksa menikah hanya karena orang bilang
sudah umurnya, atau teman-temanmu sudah sold out semua, atau karena si boy juga
nikah muda. Karena menikah bukan cuma tentang enak dan romantisnya saja, tetapi
juga tentang rempong dan ngehenya. Sebagaimana semua hal besar lain dalam
hidup, menikah itu paket lengkap dan kita harus siap menerima yang baik dan
buruk darinya.
“Bagi Bapak,
pernikahan dan rumah tangga adalah kerja sama. Kerja sama untuk sama-sama
bahagia.” (hlm. 83)
Aneka drama di buku
ini membuktikan kebenaran fakta di atas dengan jujur dan lugas. Jika banyak
buku pernikahan muda yang lain kebanyakan hanya memandang sisi-sisi baik dan
berpahala saja dari sebuah pernikahan muda, buku ini dengan berani menampilkan sisi
drama sebuah perkawinan. Tapi, tidak kemudian para penulisnya (yang juga
pasangan muda) hendak menakuti pembaca agar jangan menikah muda lewat buku
ini. Penulis hanya menyuguhkan realitas
tentang apa-apa yang akan dihadapi oleh setiap pasangan muda yang menikah.
Harapannya, pembaca mengetahui hal-hal baik dan rempong di balik setiap
pernikahan, yang harus diterima sebagai satu paket lengkap, sehingga dia memang
benar-benar sudah siap lahir dan batin saat memutuskan untuk menikah. Buktinya,
penulis tidak menyesal telah memutuskan menikah muda.
“Ternyata, menikah
tidak membuat seorang perempuan kehilangan apa-apa, termasuk jalan dan
kesmepatan untuk mengejar mimpinya. Menikah muda nggak sedikit pun merampas
mimpi saya, nggak setitik pun.” (hlm 21)
Baik Pungky dan Topan, kedua menikah sebagaimana banyak
pasangan muda umumnya di Indonesia. Kenalan saat kuliah, pacaran, lalu menikah.
Sekilas tidak jauh berbeda dengan banyak kita. Pungky masih berusia 22 tahun
saat menikah, bahkan saat hamil pun dia masih kuliah. Tetapi, ibu muda satu ini
adalah tipe ibu muda traveler-relawan-easy going. Ini yang bikin buku ini unik.
Pembaca diajak melihat kehidupan setelah pernikahan lewat sudut pandang Pungky
yang fungky. Di halaman-halaman awal,
pembaca bisa merasakan perbedaan buku ini dengan buku-buku nikah muda yang
lain: Terus kok bayinya nangis terus sih,
bedongnya lepas ini gimana ngubetnya, udelnya kok luka gitu kasihan amat, aduh
kenapa jahitannya perih ya, ini kami jadi orang tua nih? Serius? (hlm 16).
Tuh kan, antara kezel tapi pengen ngakak bacanya.
“...Ibu paham bahwa
manusia dilahirkan berbeda-beda, dan nggak apa-apa.” (hlm. 69)
Di balik sosok Pungky dan Topan yang sepertinya tak ambil
pusing dengan status baru mereka ini, keduanya ternyata memiliki pandangan yang
visioner. Salah satu tulisan Topan berjudul “Pergilah, Bu. Bahagiakan dirimu”
di bab 8 buku ini sebelumnya pernah dimuat di blog dan viral. Idenya memang
cukup kontroversi buat sebagian ibuk-ibuk di Indonesia. Membayangkan seorang
ibu muda pergi travelling dan meninggalkan anak dan suaminya di rumah selama
tiga hari, duh pasti bakal banyak yang gatel pengen komentar. Faktanya memang
artikel Topan ini viral bukan hanya karena banyak yang setuju, tapi juga karena banyak yang nyinyir.
Tapi kemudian, keduanya memberikan alasan mengapa si ayah menulis artikel
tersebut. Saya sejauh ini sih mampu memahami dan memaklumi alasan mereka. Nggak
tau ya kalau Dek Jimin. *digebuk Tiwik.
“Meskipun sudah jadi
Ibu, dia tetap berhak melakukan apa yang menurutnya menyenangkan. Bapak nggak
mau, status pernikahan yang Bapak kasih untuknya, membuat dia terkurung dan
terkekang.” (hlm. 83)
Jika banyak yang masih berpandangan bahwa pernikahan muda
akan mengubah hidup seseorang 180 derajat, buku ini dengan asyik membantahnya. Berubah
90 derajat mungkin, tapi tidak seharusnya menikah dijadikan dalih untuk
berhenti menikmati hidup dan mengejar mimpi. Meski sudah menjadi emak rempong
dan bapak sibuk, bukan berarti cita-cita diturunkan derajatnya, atau hidup
dipersulit mudahnya. Pungky dan Topan membuktikan bahwa dengan kompromi dan
komunikasi, keduanya masih bisa menjadi diri sendiri meskipun sudah menjadi
milik berdua, eh bertiga ding sama bayi mereka. Bahkan membahas tentang
pengasuhan anak pun, keduanya memiliki caranya sendiri. Penamaan Jiwo dari
Sujiwo yang Jawa banget itu sendiri sudah melawan pakem umum orang tua zaman
now yang ingin anak dengan nama kebarat-baratan, kearab-araban, atau
kepanjang-panjangan. Jiwo juga dibebaskan bermain di sungai, jarang dikasih
minum obat kalau sakit, bahkan nenen sampai usia 3,5 tahun. Mau nyinyir pasti
bacanya, tapi cobalah baca penjelasan
kedua orang tuanya di buku ini.
“Ibu akhirnya sadar
bahwa menjadi orang tua sama sekali bukan kompetisi. Ibu akhirnya tau bahwa setiap
anak punya perkembangan masing-masing, dan punya kamu adalah yang terhebat bagi
kita.” (hlm. 116)
Pernikahan juga bukan hanya soal persamaan, tapi berkompromi
dengan perbedaan. Ini yang mungkin sering dilupakan para pasangan muda, bahwa sama-sama
cinta bukan berarti selalu sama dalam semua hal. Topan ingin agar anaknya nggak
usah sekolah saja karena dia telanjur kecewa dengan sistem pendidikan kita.
Sebaliknya, Pungky ingin Jiwo (anak mereka) sekolah minimal sampai S1. Bagaimana
mengatasi perbedaan ini? Sekali lagi, kompromi dan komunikasi. Saya lebih
setuju dengan pendapat Pungky. Buku ini juga mengulas banyak sekali isu
kekinian dengan bahasa yang renyah, lalu disusupi dengan bagaimana Pungky dan
Topan memandang fenomena-fenomena yang lagi viral di medsos. Tentang memberi
tempat duduk kepada ibu hamil misalnya, Pungky punya pendapat yang agak beda:
“Saya seorang ibu,
anak saya sekarang umur 5 tahun, tapi saya menolak untuk menjadikan diri
sebagai ratu di mana pun, hanya karena saya ibu-ibu. Saya manusia biasa, banyak
khilafnya. Saya nggak mau yang salah-salah jadi benar, hanya karena saya
ibu-ibu.” (hlm. 54)
Ah Ibu Pungky, saya fans barumu.
No comments:
Post a Comment