Friday, December 8, 2017

Merayakan Ketuhanan bersama Danarto lewat Adam Ma’rifat

Judul: Adam Ma’rifat
Pengarang: Danarto
Penyunting: Tia Setiadi
Penyelars Akhir: Muhajjah Saratini
Sampul: 112 hlm
Tebal: Amalina
Cetakan: Pertama, November 2017
Penerbit: Basabasi




Bagi teman-teman yang berkuliah di jurusan Sastra Indonesia serta para pecinta sastra, nama Danarto dengan kumcer Adam Ma’rifat-nya memiliki tempat tersediri. Kita mungkin bisa lupa cerpen yang pernah kita baca lima atau sepuluh tahun lalu, namun sepertinya susah untuk melupakan kumcer yang satu ini. Jika disebut judulnya, mereka yang  pernah membaca buku ini pasti akan langsung terkenang pada betapa eksmerimentalnya (meminjam kata Pak Edi dan Basabasi) cerpen-cerpen di buku ini. Satu cerpen di buku ini bahkan memiliki judul yang tak bisa diketik dengan mesin ketik zaman dulu karena berupa not balok musik. Danarto mungkin  harus menggambarnya sendiri. Luar biasa, sejak kapan judul cerpen digambar dan bukannya ditulis? 

Sebagaimana di Berhala dan Godlob yang berat dengan aroma ketuhanan, buku ini juga sama. Tetapi, menyitir Makhfud Ikhwan dalam pengantarnya untuk edisi terbaru ini, cerpen-cerpen dalam Adam Ma’rifat memiliki tingkat kesufian yang tertinggi. Allah, Allah, Allah ...mungkin inilah inti dari setiap cerpen di buku ini. Bahwa Dia ada di mana-mana, mampu mewujud dalam apa saja yang mungkin kita tak pernah bisa membayangkannya. Takdirnya meliputi segalanya, Dia mengadakan sekaligus meniadakan. Dia adalah udara, air, pohon pisang, atmosfer, penari, gamelan, gunung, bumi, jagad raya itu sendiri. Allah meliputi segala sesuatu. Dan ini digambarkan dengan sedemikian indah dalam “Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat” dan “Megatruh.”

Melalui sosok Jibril yang mengejawantah menjadi angin, daun pisang kering, dan jaring yang bermain dengan anak-anak, Danarto menggambarkan sifat Tuhan yang berada di mana-mana. Jibril adalah sang penyampai wahyu, tetapi dalam esensi Jibril ada Allah juga yang menyampaikan wahyu. Jibril sang pemberi ilham, yang membantu anak-anak menggambar dan mengerjakan ulangan, yang meniupkan ide dan inspirasi: tidakkah ini semua juga kerja Tuhan? Sepertinya, inilah yang hendak disampaikan Danarto dalam cerpen Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat. Sementara dalam Megatruh, esensi ketuhanan itu tergambar dalam zam asam atau oksigen. “Siapa saja bisa hidup  dengan hanya makan zat asam,” tulis Danarto yang sepertinya hendak menyentil manusia karena betapa berlebihannya kita dalam makan, minum, dan memuaskan hasrat. Ini adalah sebuah deskripsi yang cerdas sekaligus indah tentang nilai-nilai sufisme dan ketauhidan.

Cerpen paling menarik sekaligus yang menjadi ikon dari Adam Ma’rifat tentu saja adalah cerpen dengan judul not balok tadi. Bahkan sehabis judul yang sedemikian unik, pembaca langsung disambut dengan ngung ngung ngung cak cak cak sebagaimana terlampir pada foto. Entah sudah berapa banyak dosen, mahasiswa, kritikus sastra, juga para penikmat sastra yang menyoroti cerpen unik karya Danarto itu sendiri. Apa maksudnya dengan menuliskan judul seperti itu? Mengapa isinya semacam ‘tidak jelas’ karena tidak mirip sebuah cerpen? 

Pertanyaan-pertanyaan ini bisa berbalik kepada si penanya karena Sapardi Djoko Damono pernah bilang untuk jangan bertanya kepada pengarang soal apa yang mendorong seorang pengarang melahirkan sebuah cerpen karena jawabannya bisa saja jujur, bisa pula bohong, bisa pula berbeda-beda ketika ditanyakan di waktu yang berbeda. Lagi pula, cerpen adalah sebuah karya kreatif dan tentu saja tak ada larangan untuk membuat cerpen seperti yang ditulis Danarto ini. Mengapa menulis cerpen yang ‘aneh’ begini? Tanyamu, “Mengapa tidak?” jawab si penulis. Duh panjang ya. Mungkin, mungkin loh ya, Danarto menulis cerpen unik ini dengan alasan untuk “membebaskan kata dari beban pengertian” sebagaimana yang pernah dilakukan penyair Sutardji Calzoum Bachri.

Sebagaimana sebuah karya mengusung misi masing-masing penulis, jangan lupakan juga betapa sebuah tulisan juga akan menimbulkan dampak yang berbeda pada tiap-tiap pembaca. Danarto membebaskan setiap pembaca untuk menyimpulkan sendiri apa kira-kira misinya dengan menuliskan cerpen cak cak dan ngung ngung tersebut. Penafsiran akan sebuah karya sastra akan beragam dan memang begitulah wajarnya. Ketika masing-masing pembaca memiliki tafsiran sendiri akan cerpen unik ini, maka biarlah ini untuk sebagai bahan diskusi yang mencerahkan sekaligus menyuburkan semangat bersastra di negeri ini.

1 comment: