Friday, November 24, 2017

Dua Saudara Berebut Cinta dalam Rival Brother


Judul: Rival Brother
Pengarang: Sayfullan
Penyunting: Vivekananda G
Tebal: 285 hlm
Cetakan: 2017
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama



36340493

Sudah lama saya tidak membaca novel seri remaja. Jadi wajarlah kalau awal-awal membaca “Rival Brother” ini saya agak kagok-kagok gimana gitu karena saya tidak seganteng Tristan eh  sudah lupa rasanya jadi remaja (begini ... saya lebih memilih kata DEWASA ketimbang TUA).  Jadi begini, beberapa bulan terakhir ini saya nekat baca buku-buku karya para pengarang senior macam Kuntowijoyo, Borges, Agus Noor, dan Newt Scamander sehingga stabilitas saya hampir goyang gitu saat disodori novel remaja ini. Mau tak mau, sel-sel kelabu di otak saya butuh menyesuaikan diri terlebih dulu untuk bisa menikmati bacaan merah jambu ini agar bisa menghasilkan ulasan yang jujur sekaligus tetap tidak terasa menjilat ke penulisnya awww dijilat dong Beib. Maaf sebelumnya buat bang Say karena saya butuh agak lama bacanya. Bukan maksud sok sibuk atau apa, tetapi kata orang, semua yang didapatkan dengan perjuangan dalam waktu lama maka hasilnya akan lebih berbekas. Cinta juga demikian, konon. Sebenarnya, halaman 1 – 19 bisa saya selesaikan dalam sekali duduk, tetapi begitu sampai Chapter 1 kecepatan baca saya langsung bubar jalan. Kenapa? Karena saya pengen kayak Tristan tapi sayang tinggi badan tak mengizinkan. *batuk duit

Secara kasar (Bang Say, jangan kasar-kasar ih mainnya) novel ini mengisahkan kisah (halah, editor opo koe ki Yon) dua kakak-adik yakni Tristan dan Elnino, yang bersaing demi mendapatkan hati seorang cewek bernama Afta. Sejak awal-awal kisah, saya sudah mau males nerusin baca karena the story is so typical, as well as the characters. Tristan yang ketua tim basket sekaligus anggota rohis sekolah (Duh, jadi pengen punya anak kayak Tristan gini). Elnino yang walau badboy tapi tetap punya pesona sendiri dan tidak kalah populer dibandingkan kakaknya. Sedihnya lagi, saya sama sekali nggak ada mirip-miripnya sama mereka berdua. Ini yang bikin saya sebel! Oke skip. Kemudian, masuk bab 1 saya langsung ketemu sama Afta yang SMA bangetsssss. Sudah deh, mood baca saya langsung terjun bebas membayangkan cerita novel ini bakal se-flat kisah-kisah FTV* yang predictable banget endingnya itu. Tetapi, bukankah Pak Kyai mengajarkan kita untuk tidak berprasangka sebelum merasakan sendiri. Jadi, saya pun memantapkan tekad untuk membaca buku ini sampai selesai tadi malam. Ternyata, Pak Kyai memang selalu benar. Jangan berprasangka sebelum mencoba merasakan sendiri. Saya larut pada serunya persahabatan geng Afta,  pada cute-nya interaksi Tristan – Afta, juga pada karakter Elnino yang labil nggak ketulungan. Saya tak malu mengakuinya, membaca buku ini mengingatkan saya pada indahnya masa remaja. 


Jadi, Tristan dan Elnino ini memperebutkan Afta, sementara Afta bingung mau pilih yang mana. Elnino sendiri sudah pacaran sama Farrah, sementara Tristan masih jomlo setelah ditolak Farrah, tapi Elnino tetap nggak mau ngalah sama Kakaknya. Panjang ya?  Ember, kalau kata Mbak Ajjah yang sama rumpiknya dengan Bang Say.  Receh sih, ceritanya kok ababil banget, tapi saya langsung sadar diri bahwa ini memang novel remaja. Malah nggak nyambung kalau novel  remaja tapi kisahnya dewasa, apalagi dewasa plus-plus. Bahaya!!! Bang, kapan-kapan nulis cerita dewasa juga ya, dewasa dalam tanpa petik gitu *kedip-kedip ganas. Dari awal, nuansa Rival Brother memang sudah remaja banget: taruhan nggak penting antara Tristan – El, labilnya Afta saat harus memilih antara dua cowok, persaingan antar geng cewek yang lebih serem daripada antrean di kasir saat awal bulan. Awalnya saya “meh” gitu, tetapi setelah berulang kali saya mengingatkan diri bahwa Rival Brother adalah novel remaja, saya kok malah menyukai semuanya. Memang, akan lebih adil menilai sesuatu sesuai porsinya. Saya mencoba menempatkan secara adil, buku populer ya jangan dibandingkan dengan buku sastra berat. Membaca sebuah novel remaja ya kudu coba dengan sudut pandang pembaca remaja walau saya sudah tidak remaja sejak belasan tahun lalu.   


Afta yang labil, Farrah yang cantik tapi percaya zodiak, Nanda yang imut tapi setia, Javier yang nyentrik, Tristan yang tipikal anak baik-baik banget, El yang badboy ababil; semua karakter ini relatabble banget sama kehidupan anak-anak SMA zaman now. Entah ya kalau SMA yang sekarang, tetapi dengan ketidakdewasaan karakter-karakter mereka justru makin menguatkan kalau novel ini memang pas untuk pembaca remaja. Biarkan anak-anak muda itu menjelajahi dunianya, melakukan  kesalahan, dan kemudian mereka belajar dari kesalahan itu. Izinkan mereka jatuh cinta, lalu terluka. Setidaknya mereka pernah merasakan sakitnya dan tidak ingin orang lain juga merasakan sakit yang sama akibat ulahnya. Seperti kata El di halaman 138: “Tapi, gue yakin luka bisa lebih ampun memberi pelajaran daripada perhatian.” Tokoh yang terlalu sempurna malah lebih mengundang rasa iri ketimbang rasa mawas diri. Untung saja Tristan hanya satu orang di buku ini. 


Kalau ada masukan buat novel ini mungkin perpindahan sudut pandangnya yang agak tidak teratur. Yah, walau hanya El dan Afta yang bercerita di Rival Brother, tetapi tidak ada kode yang jelas saat keduanya mulai bercerita. Mungkin, font-nya bisa dibedakan antara Afta dan El, jadi pembaca langsung ngeh kalau yang ngomong si cantik Afta, bukan si badung El. Saya juga agak kurang cocok dengan banyaknya “kebetulan bagus” yang muncul di novel ini. Yha memang sih, kalau sudah jodoh semesta akan mendukung, tetapi sepertinya semesta terlalu ikut campur dalam kisah Afta. Mulai dari pertemuan mereka, hingga kedua orang tua yang sohiban, trus Ainun dan Mufi yang seolah mengorbit banget ke Afta, sampe mereka ikut pindah ke Jakarta ketika Afta pindah ke Jakarta. Juga, Afta yang seolah ga perlu perjuangan banget untuk bisa jadi cewek populer di sekolah barunya padahal baru pindahan. Si Afta ini kalau di serial Rick Riordan pasti puterinya Dewi Aphrodhite deh karena semua kebetulan bagus sepertinya berpusar mengelilingi dirinya. 


Deskripsi karakter menurut saya (menurut saya loh ya)  juga kurang detail, Bang. Saya belum bisa membayangkan seperti apa sosok Afta yang berambut pendek dan punya poni itu. Juga sosok El dan Tristan, jujur saya sulit membayangkan mereka kecuali anak SMA yang ramping dan tinggi. Untuk alur dan kejutan di belakang (hmmm ... kok istilahnya gini amat yha) sudah lumayan kece kok, ada naik turun sebelum klimaks (?), serta sejumput “umpetan” yang menerbitkan rasa penasaran. Covernya juga, walau manis dan eye-cacthing abis, tapi menurut saya kurang cowok. Tapi setelah saya amati, ternyata ada perintilan-perintilan kecil yang menggambarkan detail novel ini dan itu saya malah jadi sukak: gajah, air kobokan (infuse water woy!), lambang-lambang zodiak, daun mint, dan stroberi. Eh stroberi ini di bagian mana yha kok saya lupa? Pada akhirnya, “Jahat dan baik memang sebuah pilihan.”(161). Terima kasih telah menjadi baik dengan menulis novel yang menghibur ini Bang.*peluk klomoh*






2 comments: