Thursday, November 2, 2017

Ibu Susu: Mesir Kuno di Tangan Rio Johan

Judul: Ibu Susu
Pengarang: Rio Johan
Penyunting: Christina M. udiani
Sampil: Iqbal Asaputra
Cetakan: Pertama, Oktober 2017
Tebal: 202 hlm
Penerbit: KPG
Baca via Scoop





"Oh Firaunku, tapi hamba tak bisa menulis. hamba tak akan pernah bisa abadi sebagaimana yang bisa menulis." (hlm. 91)

Jika dibandingkan dengan buku pertama Rio, novel Ibu Susu ini sangat jauh berbeda. Bukan hanya formatnya yang novel (buku sebelumnya adalah kumcer), Ibu Susu merupakan fiksi sejarah yang mengambil setting di Mesir Kuno, tepatnya pada era kekuasaan Firaun Theb. Pembaca mungkin tidak akan menemukan cerita-cerita vulgar-imajinatif yang beraneka tipe seperti di buku pertama penulis, tetapi bisa jadi malah terpukau oleh aspek lain yang dibawakan penulis: riset.Harus diakui, kekuatan utama novel ini ada pada detail tentang Mesir kunonya yang sangat melimpah. Tidak hanya seputar dewa-dewi yang mereka sembah, Rio seperti menyajikan di hadapan kita kehidupan zaman Mesir kuno secara gamblang dan jelas. Dari makanan, pakaian, rupa-rupa sesajen, bangunan, struktur hierarkis kekuasaan, termasuk cara mereka ngomong yang puaanjjaaaanggg nan formal sebagaimana huruf-huruf hieroglif Mesir yang kaku. Suasara Mesir kunonya dapat banget!

Ibu Susu sebenarnya menyajikan kisah yang sederhana dan lempeng-lempeng saja. Jadi ceritanya, Firaun Theb mendapat mimpi berupa hujan susu yang menguyur seluruh Mesir. Awalnya hujan itu disambut meriah, tetapi sebagaimana segala sesuatu yang berlebihan di dunia ini, hujan susu yang kebanyakan juga tidak baik. Mimpi itu ternyata menjadi sebuah pertanda. Putra satu-satunya, sang pewaris sekaligus calon Firaun selanjutnya, mendadak terkena penyakit aneh. Tubuh bayi itu membiru. Tidak ada lagi tangis keras dan kaki kecil yang menendang-nendang heboh. Pangeran Sem hanya tertidur lemas, tidak berdaya hidup kecuali sekadar napas pendek-pendek yang menunjukkan di bayi masih hidup. Setelah berkonsultasi dengan para peramal, tabib, dan cerdik-cendekianya maka diputuskanlah bahwa bayi Sem membutuhkan seorang ibu susu yang baru.

Pencarian ibu susu baru pun dilakukan ke penjuru negeri. Luar biasa menyaksikan bagaimana penulis menarasikan babakan-babakan kisah di Ibu Susu dengan sedemikian sabar dan detail, rinciannya sangat juara. Pasti dibutuhkan bacaan dan rujukan tentang Mesir kuno yang sangat banyak untuk bisa menulis seperti yang dilakukan Rio di buku ini. Gaya berceritanya memang naratif banget, berupa paragraf-paragraf panjang dan padat, sama kayak cerpen terpanjangnya di Aksara Ammananuna. Dialognya bisa dibilang minim, bahkan jikapun ada, kebanyakan percakapannya model naratif juga—alias puanjang dan berbentuk paragraf persegi saking padatnya. Apakah lalu membosankan? Menurut saya tidak karena penulis mengimbanginya dengan diksi-diksi yang jadul tapi baku, sehingga mengesankan keantikkan masa Mesir Kuno.

Tentang diksi ini, proses membaca novel ini sedikit terhambat kareba pilihan penulis. Rio banyak—kalau tidak dibilang sering—menggunakan kata-kata yang jarang dipergunakan. Kata-kata macam sempena, lekit, ancala, furuj, deben, teringa-inga, kunarpa, dan garib hanyalah beberapa kata antik yang bermunculan di buku ini. Sedikit repot memang karena kudu membuka KBBI, tetapi ini adalah cara yang menyenangkan untuk menambah sekaligus merayakan kekayaan kosa kata bahasa Indonesia. Selain itu, penggunaan kata-kata antik dan terkesan jadul ini malah semakin mempertegas aroma Mesir kuno dalam Ibu Susu. Perlu diperingatkan juga kepada pembaca, di novel ini akan ada banyak sekali ibu susu dan susu ibu. Juga tentang puting, tentang payudara, dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Rio Johan memang nggak tanggung-tanggung kalau menulis tentang suatu tema. Terpujilah perpustakaan-perpustakaan agung di Eropa yang membantu membidani kelahiran karya ini.

1 comment: