Friday, November 3, 2017

Sunan Ngeloco: Diari Rahasia ABG Cowok

Judul: Sunan Ngeloco
Pengarang: Edi AH Iyubenu
Cetakan: Pertama, November 2017
Tebal: 175 hlm
Sampul: Suku Tangan
Penerbit: Basabasi


36506931



Membaca Pelisaurus sepertinya kurang lengkap jika tidak sekalian membaca Sunan Ngeloco. Bisa dibilang, dua buku ini ibarat dua cerita yang saling melengkapi, sebagaimana Trijoko yang tak lengkap tanpa Sundari serta kamu yang tak lengkap tanpa timbunan buku yang belum terbaca. Dari segi judul, dua buku ini lumayan sama-sama seru eh saru karena mengandung dua kata yang intim dengan para laki-laki. Terutama untuk para pembaca yang besar di Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Timur) atau setidaknya memahami bahasa Jawa, dua buku ini akan mampu memunculkan gelak tawa serta sindiran yang lebih heboh  dan menggena ketimbang bila dibaca oleh pembaca dari luar suku Jawa. Banyak sindirian, istilah slang, dan terutama pisuhan (umpatan) yang Jogja-Solo banget di dua buku ini. Lucunya sangat kontekstual alias sangat tergantung pada situasi dan kondisi ketika cerita itu berlangsung, begitu kalau kata orang pinteran. Walaupun begitu, mereka yang pernah kuliah atau sekolah di Jogja-Solo sedikit banyak pasti juga akan turut mesem-mesem. Jadi, sebagai peringatan pertama, lucunya buku ini lumayan Jawa banget jadi buat pembaca non-Jawa, setidaknya bisa konsultasi ke temennya yang Jawa atau pernah di Jawa.
Peringatan kedua, novel Sunan Ngeloco ini lebih vulgar ketimbang saudara tuanya, Pelisaurus, meskipun masih mengangkat tema-tema porno dari sudut pandang laki-laki. Kita mulai dari judulnya. Jika pelisaurus berasal dari kata ‘peli’ (Jw: penis), maka ngeloco bahasa slang untuk onani atau merancap. Saat SMA dulu, istilah ini biasanya lebih sering digunakan cowok-cowok sih saat sedang ngobrol bergerombol. Apa yang hendak dipaparkan oleh novel ini memang sebagian besar pernah dialami oleh para cowok saat remajanya (kecuali para remaja yang baik-baik, kayak saia). Jadi, membaca buku ini rasanya kok kayak mengingat kembali kenangan hitam pas SMP-SMA dulu ya. Bagian pas Trijoko penasaran perihal ngeloco itu misalnya, rata-rata remaja pasti pernah melaluinya lewat satu atau dua cara. Sebuah kenangan yang niscaya tergembok dalam sudut ingatan dan tidak untuk dikorek-korek lagi karena bakal memunculkan rasa malu. Saya rasa, sebagian besar cowok akan merasa amat malu dan ‘ngapain sih kok kayak gitu aja diungkit-ungkit’ jika ada yang mengajukan tema seram ini. Tapi, membacanya lagi di halaman 16 ternyata sukses bikin ngakak juga.

Selain serba-serbi urusan pribadi cowok lajang, dalam novel ini disambungkan juga dengan sejumlah cerpen di buku Pelisaurus. Buat yang belum baca Pelisaurus mungkin sedikit bingung ketika menjumpai sepotong fragmen cerita yang tiba-tiba muncul. Di antaranya, kisah misteri tentang poni kirik serta petualangan memakan sate di angkringan. Sejumlah pisuhan yang bernada serupa juga muncul di kedua buku ini. Awalnya memang bikin ketawa, tetapi kalau kebanyakan kok malah makin tawar ya, entah. Pisuhan macam ‘telek bebek’ sempat hits saat saya remaja dulu, seiring jalannya waktu ingatan tentangnya menjadi samar-samar. Kehadirannya kembali dalam buku ini sedikit mampu me-refresh ingatan, dan mungkin juga ingatan para cowok-cowok lain yang membaca buku ini. Ini sisi positif sekaligus bisa menjadi kekurangan buku ini, karena menjadikannya sangat cowok-sentris sehingga tingkat penghayatannya akan berbeda antara pembaca cowok dan pembaca cewek. Pembaca cowok, menurut saya, akan lebih bisa menghayatinya meskipun tidak sedikit pembaca cewek berpikiran terbuka yang akan bisa menikmati buku ini.

Keterbukaan dan kedewasaan pikiran, inilah yang oleh penulis harapkan kepada mereka yang ingin membaca novel ini. Karena bukan hanya kata-kata vulgar terbuka lebar di Sunan Ngeloco, tetapi juga cara penulis mengekspresikan idenya yang terhitung liar. Memang, akan terasa nanggung—atau malah mungkin rugi—jika novel dengan judul seberani ini memiliki isi cerita yang serba-dibatasi, entah karena sungkan atau karena saru. Justru malah yang agak-agak keluar garis lapangan beginilah yang diharapkan pembaca akan dijumpai pada novel berjudul berani gini. Istilahnya, pembaca akan ngomong: “Tidak rugi saya berpikiran ngeres saat membaca judul novel ini, karena isinya memang lumayan ngeres.”  Saya rekomendasikan novel ini untuk para pembaca yang—mengutip penulisnya—sudah dewasa secara pemikiran dan terbuka untuk jujur kepada diri sendiri. Sesekali, masalah kelamin memang harus dilucukan, agar—mengutip  Tia Setiadi atau Joni Ariadinata *lupa*—kita tidak menjadi budak darinya.


2 comments: