Thursday, November 23, 2017

Misteri sang Monstrumologist #2 (Kutukan Wendigo)



Judul: The Curse of the Wendigo - Kutukan Wendigo
Pengarang: Rick Yancey
Penerjemah:
Cetakan: Pertama, Oktober 2017
Tebal: 480 hlm
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

36322852

Seri kedua Monstrumologist memiliki nuansa aksi yang sedikit berbeda bila dibandingkan buku pertamanya. Pertarungan melawan sang ’monster’ lebih banyak dilakukan di wilayah yang lebih luas, dimulai di hutan-hutan terpencil di perbatasan Kanada dan kemudian dilanjutkan di wilayah kumuh kota New York yang sangat padat. Rick Yancey sepertinya memang menggunakan dualitas yang saling bertentangan di seri ini. Monster mitologis yang dibuat nyata di buku pertama (blemmyphae) dan monster mitologis yang ternyata mengada-ada di buku kedua (Wendigo) Petualangan di alam liar yang sunyi sepi pada buku pertama, dan pertarungan mengerikan di wilayah padat penduduk New York. Tetap saja, penulis dengan lihainya tetap mempertahankan ciri khas cerita sang Monstrumologis: suram, sendu, berdarah-darah, dan masih sama mengerikannya dengan buku pertama. Sosok sang Monstrumologis juga semakin matang di buku ini, dalam artian, sang doktor terlihat semakin ilmuwan di sini. Hanya berpijak pada fakta, tidak berasumsi keduali ada bukti nyata, serta tampak kaku dan tidak empati; semua sifat-sifat menyebalkan para ilmuwan ada padanya.

Ini, anehnya, malah bikin buku ini jadi semakin menarik karena Yancey tidak setengah-setengah dalam menciptakan karakternya. Sosok yang kaku tapi “sempurna penggambarannya’” ini sedikit mengingatkan saya pada sosok Sherlock Holmes. Gimana ya, begini, Holmes itu kan sering banget bikin senewen orang-orang terdekatnya (Watson terutama) tetapi kita sebagai pembaca entah bagaimana malah menyukai sosok ini. Hal yang sama juga ada pada Doktor Pellnore Warthrop. Di mata Will Henry, junjungannya ini tidak ubahnya profesor nyentrik yang menyebalkan luar biasa, tetapi nyatanya bocah itu tak pernah mau dipisahkan dengan pria itu. Pembaca seri ini kiranya merasakan hal yang sama. Di balik segala sifat ilmuwannya yang bikin senewen, Dr. Pellnore Warthrop memiliki karakter khas yang bikin pembaca suka. Untungnya, di buku kedua ini sang dokter mau menunjukkan sedikit sisi manusiawinya juga, yah walaupun caranya juga tetap bikin senewen.

Kutukan Wendigo dimulai dengan kedatangan seorang wanita dari masa lalu sang dokter. Masa lalu di sini adalah masa lalu kisah kasihnya, Muriel Chanler—wanita itu adalah mantan tunangannya. Sang doktor yang nyentrik aja punya kenangan cinta masa lalu loh, masak kamunya endak (ok sip, eh oke skip jangan drama dulu). Tetapi, memang bisa dibilang buku kedua ini lebih “drama” ketimbang buku pertamanya. Sang tunangan meminta bantuan Doktor untuk mencari suaminya—John Chanler—yang menghilang ke alam liar di utara. John nekat masuk ke rimba demi mencari Wendigo, monster kelaparan abadi yang melahap jantung manusia. Awalnya, si Doktor menolak, terutama dalam literatur monstrumologist, Wendigo adalah benar-benar omong kosong. Monster yang hanya ada dalam mitos dan khayalan orang-orang udik. Bagi seorang ilmuwan lulusan Eropa seperti John Chandler, mengejar Wendigo—yang konon bisa terbang mnumpang angin serta bersembunyi dengan memalingkan tubuhnya yang setipis rambut—adalah perbuatan yang sangat konyol. Tetapi, John adalah sahabat terdekatnya dan tidak seorang pun mau sahabat terdekatnya celaka. Ternyata ya, di balik sikap dinginnya sang Monstrumologist, ada sisi manusiawi juga.

“Semakin aku belajar tentang dirinya, semakin sedikit pengetahuanku. Semakin aku tahu, semakin sedikit pengetahuanku.” (hlm. 406)

Satu hal yang unik tentang sang doktor. Jika di buku pertama, dia berhasil meyakinkan pembaca bahwa monster blemmyphae itu benar-benar ada, tidak ada bedanya dengan singa atau beruang yang memangsa manusia. Kemudian, di buku dua ini, sang Doktor mati-matian menyangkal keberadaan Wendigo meskipun korban berjatuhan. Gejala orang yang terkena “kutukan Wendigo” menurutnya hanya semacam gangguan kejiwaan yang membuat korbannya berhalusinasi. Saat sedang menyelamatkan John dari alam liar, mereka memang diikuti oleh sepasang mata kuning yang tidak punya tubuh, tetapi bahkan sang Mosntrumologist pun tidak yakin monster apa itu, apakah benar Wendigo ataukah hanya bentuk kekacauan pikiran akibat didera lapar serta suhu dingin yang mengigit. Satu-satunya penjelasan yang diberikan Doktor adalah kelaparan telah mengganggu pikiran mereka.
Bagian kedua buku ini, petualangan berpindah ke kota New York. Doktor Pellnore Warthrop harus menghadiri konfrensi para Monstrumologist dunia yang berpusat di kota besar itu. Pada kesempatan inilah Doktor dipertemukan dengan mantan gurunya, Von Helrung. Sosok yang dulu pernah sangat dihormati inilah yang kini menjadi paling ia benci. Sepanjang berjalanannya cerita di buku tebal ini, akan sering kita saksikan “pertempuran” keduanya yang khas banget, ala-ala Royal Society gitu, ketika para profesor yang rapi dan berkacamata pun ternyata bisa melontarkan cacian kasar serta berlaku keji. Tetapi, siapa yang tahu isi hati manusia.  “Ah, betapa hati manusia lebih gelap dari lubang tergelap, dengan lebih banyak jalur berliku-liku membingungkan daripada Mosntrumarium!” (hlm 405).

Nah, di buku ini, pembaca akhirnya bisa tahu lebih banyak tentang Komunitas Monstrumologist, yang kala itu—menurut buku ini—adalah sebuah cabang keilmuwan tentang kriminalitas alam, tentang biologi yang menyimpang. Ada juga Monstrumarium yang merupakan pusat koleksi monster-monster hasil tangkapan para monstrumologis. Selain itu, kita juga jadi lebih mengenal karakter para onstrumologis dan mengapa mereka memiliki karakter-karakter yang suram-suram ajaib. Bagaimana dengan mosnternya? Meskipun New York adalah kota besar, monster pun bisa ditemukan di sana. Yancey dengan indahnya mengingatkan kita betapa monster terbesar adalah diri kita sendiri. Betapa penyakit yang timbul akibat kelakuan manusia itu sendiri dapat menyebabkan korban yang begitu banyak. Perang, pencemaran lingkungan, dan kekerasan, ini semua menunjukkan betapa setiap manusia rawan menyimpan benih monster dalam dirinya.
                 

2 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Sy suka novel ini. Pellinore dan Kearns adalah tokoh fave saya. Sayang, keduanya harus mati d tangan Will Henry. Btw, sptny novel2 ini blm dfilmkan ya? atau sy yg tlewat....

    ReplyDelete