Thursday, October 19, 2017

Problem Bahasa Kita: Sok Keminggris



Judul: Problem Bahasa Kita
Penyusun: Fariz Alniezar
Tebal: 186 hlm
Cetakan: 1, Oktober 2017
Sampul: Amalina
Penerbit: Kaktus





Saya senang sekali mengikuti rubrik bahasa di surat kabar. Sejak zaman kuliah dulu, saya bahkan sering mengkliping artikel-artikel di kolom bahasa ini, baik dari Kompas, Republika, atau Media Indonesia. Saat ini, yang konsisten dengan rubrik bahasa ini sepertinya hanya Kompas  (tiap Sabtu) dan Media Indonesia (setiap Minggu). Sementara di majalah Intisari saya kurang tahu masih ada atau tidak. Sayangnya, kebiasaan rajin ini kini mulai terkikis oleh pemandangan banyaknya timbunan yang kudu saya babat. Setidaknya, dalih saya, kita bisa membacanya dalam buku kumpulan rubrik bahasa yang biasanya akan diterbitkan dalam bentuk buku setahun atau tiga tahun setelahnya (kayak buku Inul itu Diva?). Mengapa membaca rubrik bahasa seperti ini menyenangkan? Karena ditulis dengan nada santai dan tidak menggurui, serta langsung diberikan contoh dalam penggunaan keseharian. Beda rasanya kalau kita membacanya dalam buku tata bahasa Indonesia yang kesannya kaku, apalagi dari KBBI edisi V yang beratnya ngalah-ngalahin beratnya kenangan dengan si mantan itu.


Buku pertama keluaran Penerbit Kaktus ini adalah buku seperti itu (seperti itu di atas maksudnya). Isinya semacam kumpulan tulisan dalam rubrik berbahasa yang saya kurang tahu dari media apa. Tapi dari artikel pembuka yang ditulis oleh Samsudin Berlian, saya bisa meraba-raba kalau buku ini isinya tidak beda dengan kumpulan rubrik bahasa. Bagi yang sering baca Kompas, nama Samsudin Berlian ini mungkin sudah tidak asing lagi karena beliau adalah salah satu pengisi di rubrik bahasa Kompas yang tulisannya sering mejeng di hari Sabtu. Naluri hamba sebagai editor langsung tersenggol saat membaca blurb buku ini. Saya yakin bahwa buku ini akan bermanfaat, setidaknya bagi saya yang bekerja bersama kata-kata. Dan untungnya memang buku ini sangat bermanfaat. Isinya pendek-pendek, kadang satu bab hanya terdiri atas dua halaman, membuat buku ini ringan dibaca meskipun isinya cukup berat. Mungkin, dibuat seperti itu untuk menyesuaikan dengan rubrik di koran yang pendek dan sekali baca.

Apa saja isinya? Macam-macam, mulai dari hal-hal remeh temeh tentang ‘yang benar adalah mengubah bukan merubah’  hingga perbedaan antara kurban kambing dengan korban perasaan. Salah satu bab yang cukup mencerahkan saya adalah bab tentang surel atau surat email. Dalam KBBI edisi terbaru, ternyata lema email sama sekali tidak memiliki makna ‘surat elektronik’ melainkan: (1) massa bening pelapis benda logam, (2) barang2 yang dilapisi lapisan nomor 1, dan (3) pelapis yang melindungi gigi bagian luar. Jadi, mulai sekarang memang tidak ada jalan lain kecuali menggunakan surel untuk merujuk pada e-mail di gmail itu. Tema lain yang ramai dikritisi penulis juga tentang kebiasaan masyarakat kita yang sok keminggris dengan mencampuradukkan kata-kata asing dalam percakapan harian. Bahkan, menurut pengalaman penulis, bahasa daerah juga mulai terkontaminasi dengan istilah asing. Seorang Mbok di pasar tradisional Solo sudah fasih menggunakan kata discount padahal KBBI sudah memiliki lema ‘diskon’ untuk potongan harga.

Istilah-istilah internet kekinian tidak pelak lagi menjadi pukulan terberat untuk bahasa Indonesia. Coba kita hitung berapa kali kita menggunakan kata-kata download, upload, online, web, hingga chatting padahal bahasa Indonesia sudah memiliki padanan untuk kata-kata tersebut. Belum lagi istilah-istilah per-media sosial-an yang masih belum jelas bentuk bakunya, semisal me-RT, nyetatus, nge-SMS. Mungkin remeh, tapi jika dibiarkan dan tidak dicarikan padanannya, saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya bahasa Indonesia sepuluh atau dua puluh tahun ke depan: jangan-jangan seperti bahasa Melayu di Malaysia yang suka campur aduk begitu. Jangan deh, eman-eman. Untuk teman-teman yang bergerak di bidang tulis-menulis, penggiat media, atau kita-kita yang selebtweet dan selebgram separo matang ini harus mulai kembali ke fitrah dengan memulai mempromosikan bahasa Indonesia yang benar. Kesannya mungkin kaku, tapi nggak kok. Sejatinya jika kita rajin mengecek kamus KBBI (atau versi onlinenya ada di Kateglo.com) sudah ada lema untuk kata-kata gaul seperti enggak, gue, dan  kekinian.

Selain hal-hal standar seputar lema Indonesia, buku ini juga banyak memuat materi yang baru sekaligus unik. Seperti kecenderungan bahasa Indonesia yang tidak ramah pada huruf ‘qaf’ sehingga asal saja diganti dengan huruf /k/ pada ‘qalbu’ jadi ‘kalbu’ padahal kata ‘kalbu’ (dengan /k/) dalam bahasa Arab artinya adalah ‘anjing’ sehingga ‘bahasa kalbu’ maknanya jadi ‘bahasa anjing. Ada juga hal sepele yang luput dari pengetahuan saya tentang kata ‘tik’ yang berasal dari kata dasar ‘tik’ dan bukan ‘ketik’. Sehingga, penulisan yang benar adalah ‘ditik’ dan bukan ‘diketik’ sebagaimana kita jumpai dalam kata-kata benda lain yang terdiri atas satu suku kata dan diberi awalan di- seperti dipel, dilap, dan dibom. Untuk blurb buku ini yang lumayan berat, menurut saya sangat disayangkan sekali karena isi buku ini sejatinya sangat ringan dan juga kekinian. Banyak tema-tema kebahasaan menarik yang dibahas seperti tentang pencitraan, tol laut, hingga kasus salah ucap seorang anak SD seputar ikan tongkol yang menghebohkan itu. 



7 comments:

  1. people zaman now, Masdi, yg penting ngeksis dan gak tercyduk :))

    kayaknya buku ini menarik. jadi ingin baca juga...

    ReplyDelete
  2. terima kasih atas resensinya, Mas....

    Sangat tajam...

    hehehe

    untuk memeroleh buku tersebut sila kontak penerbit Kaktus: 081913966695

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah disapa langsung sama penulisnya, terima kasih Mase. Bukunya sangat berfaedah.

      Delete
  3. Halo ka, kira" buku ini masih ada ga ya

    ReplyDelete