Tuesday, October 17, 2017

The Trial of Apollo: The Dark Propechy, Pertaruhan Apollo



Judul: The Trial of Apollo: The Dark Propechy
Pengarang: Rick Riordan
Penerjemah: Reni Indardini
Penyungting: Yuli Pritania
Tebal: 498 hlm
Cetakan: Juli 2017
Penerbit: Nourabooks



Mengikuti petualangan Dewa Apollo dalam bentuk manusia-nya sebagai Lester Papadopoulos memang bikin nagih. Setelah di buku pertama Apollo dan Meg serta para member Perkemahan Blasteran harus melindungi Oracle di Hutan Dodona, kini  perjalanan berlanjut ke kawasan tengah Amerika Utara. Kali ini, Apollo ditemani Leo Valdez dan pacarnya, Calypso. Senangnya, di buku kedua ini akhirnya Om Rick menggunakan setting di Indianapolis yang jarang digunakan dalam banyak novel fantasi ( yah kalau nggak New York, ya San Francisco, Detoit, Chicago, atau kota-kota besar lain). Selain setting yang baru, banyak tokoh dan mahkluk mitologis yang juga dimunculkan,  misalnya gerombolan Blemmyae yang kepalanya ada di dada dan mereka ini sangat sopan sekali (Apakah Anda lebih suka diinjak-injak  atau dicabik-cabik dulu? Anda berhak memilih sendiri) juga Dewi jaring-jaring alias Britomartis yang suka mendudukkan tamunya di kursi jebakan

Sepertinya, karakter Apollo ini adalah yang paling khas kalau dibanding karakter-karakter protagonis dalam serinya yang lain (seperti Percy dan Jason, saya bahkan sampai nggak bisa membayangkan sosok Jason macam gimana saking tipikalnya). Apollo ini, emm, gimana ya, dia jujur kepada pembaca. Kalau suka ya bilang suka, nyinyir ya nyinyir, kabur ya kabur. Beda dengan Percy yang kadang sok pahlawan (Jason apalagi ugh), si Lester ini jelas-jelas mengakui kalau dirinya bukan pahlawan. Sebagai mantan dewa matahari yang dilucuti dari kedewaannya, Apollo-Lester nggak ada kuat-kuatnya deh, walau congkak tingkat dewanya masih tetep sih. Pokoknya, yang kemarin masih kerasa kurang sama recehnya Apollo-Lester di buku pertama, maka di buku kedua ini akan makin banyak ocehan-ocehan sang mantan dewa matahari yang bikin pembaca kejengkang.


Alur khas ala Riordan masih sedikit terlacak di buku kedua ini. Masih ada misi, ada perang besar, ada monster yang bikin ngakak, dan ... coba tebak ... ramalan. Yah, dasarnya Apollo juga dewa ramalan sih jadinya kurang afdol. Misi kali ini, Apollo dan Leo juga Calypso harus menyelamatkan orakel kedua yang terancam bahaya oleh salah satu dari ketiga kaisar Triumvirat Romawi Kuno. Lokasi kali ini ada di negara bagian Indianapolis yang sangat em ... Indianapolis.  Untungnya, alur di buku kedua ini lumayan berbeda dari alur seri Magnus atau Percy. Ada beberapa misi kecil serta sebuah misi besar. Ada perang final yang dibarengi dengan perang ramalan. Juga, musuh-musuh baru yang dibangkitkan dari Tartarus untuk merepotkan sang mantan dewa. Perang di sini kayaknya tidak seintens di buku-buku Percy, dan lebih seringnya malah bikin ngakak pembaca.

Hal lain yang layak mendapat perhatian di buku ini adalah keberanian Riordan menyodorkan karakter LGBT. Ada satu pasangan lesbian (setelah di seri Heroes of Olympus ada Nico de Angelo yang gay) serta Apollo yang—dia tidak mengakuinya tetapi dari celotehan-celotehan miringnya kita bisa menebak kalau dewa itu—seorang biseksual. Dalam sejumlah kilas balik yang kebanyakan ke era Romawi kuno, Apollo menggambarkan dirinya sendiri sering memiliki hubungan yang terlampau intim baik dengan gadis cantik maupun pemuda tampan. Selain itu, Rick juga mulai memasukkan demigod dari sejumlah kebudayaan lain (kali ini dari Eropa) yang tidak juga lolos dari kerlingan Apollo. Dewa ini gitu deh apa-apa diembat wkwkwk. Dengan konten yang menjurus ini, kayaknya butuh pendampingan kalau ada pembaca di bawah usia 15 tahun yang ingin membacanya.

Secara aksi, buku ini mungkin kurang. Tetapi saya puas dengan aspek humornya serta perkembangan karakternya. Sungguh berwarna-warni. Humornya walau receh tetapi sangat kekinian. Apollo (eh atau penulisnya ya) pinter banget membuat ungkapan-ungkapan kocak yang terkait dengan peristiwa sejarah tertentu. Dan karena menggunakan sudut pandang orang pertama eh mantan dewa tunggal yang narsisnya tumpah-tumpah, membaca kisah di buku ini adalah hiburan yang beda. Kapan lagi sih bisa mengintip isi pikiran seorang dewa angkuh kalau bukan lewat karya imajinasi. Saya, dan saya yakin hampir semua pembaca, akan semakin menyayangi sosok Apollo setelah selesai membaca novel kedua dari seri The Trial of Apollo ini.  

"Untuk menjawab harapan orang lain, kau tidak perlu menjadi dewa. lakukan saja yang terbaik untuk teman-temanmu." (hlm. 223)

No comments:

Post a Comment