Tuesday, October 24, 2017

Mata Ketiga: Dosa yang Diwariskan?

Judul: Mata Ketiga
Pengarang: Muhajjah Saratini
Penyunting: Devika
Sampul: Kesatria Hujan
Cetakan: 1, Oktober 2017
Tebal: 81 hlm
Penerbit: Loka Media 


Si aku adalah tato di tengkuk Gadis, seorang remaja yang jatuh cinta sama Ari. Hubungan keduanya sepertinya sudah kebablasan, karena atas nama cinta kadang batasan-batasan yang lain pun menjadi tak jelas. Semakin ironis mengingat Gadis ini berasal dari keluarga yang (cenderung) baik-baik tetapi ternyata tidak. Apalagi, Ayah si Gadis juga sudah mewanti-wanti Gadis agar berhati-hati dalam pergaulannya, terlebih setelah Gadis tinggal di kost. Dari Mata Ketiga, yang adalah tato di tengkuk si cewek, pembaca akan diajak menelusuri sisi gelap dari manusia. Novel tipis ini menyadarkan kita betapa setiap manusia memiliki sisi gelap dan sisi terangnya masing-masing. Selain itu, ada beberapa hal yang layak didiskusikan terkait novel ini, terutama tentang homoseksualisme.

Dari karya Mbak Ajjah ini, saya menangkap satu dugaan dari sang penulis bahwa homoseksual itu diwariskan secara genetik. Pendapat ini tentunya bakal dihadang oleh berbagai penelitian (dan juga dalih) yang beredar kencang di luar sana oleh temuan bahwa ‘homoseksual itu tidak menular, apalagi diwariskan secara genetis’. Saya pernah berbicara panjang-lebar tentang tema ini. Dari mbak Ajjah saya mendapatkan pengertian bahwa homoseksualisme itu 'menular'. Bahkan orang yang murni lurus bisa ‘tertular’ ketika ada pengaruh dari luar. Lalu saya membatah, Berarti sudah ada bibitnya dong, Mbak. Gimana kalau cowok  atau cewek itu 100% normal? Yang langsung dibantah telak oleh mbak Ajjah: “Emangnya ada orang yang 100% normal? Kita kan nggak tau.” Tapi kalau benar itu genetis, berarti benar dong pendapat yang menyebut bahwa dosa itu diwariskan?


Seandainya pun homoseksualisme itu tidak menular, selalu ada bibit-bibit dalam jiwa seseorang yang ketika bibit itu bertemu dengan lingkungan yang mendukung maka tumbuhlah ia berkembang. Sebaliknya, bibit-bibit itu juga bisa dorman ketika dia tidak mendapatkan lingkungan yang cocok. Sementara dari salah seorang penulis novel LGBT, saya dipahamkan bahwa LGBT tidak menular kecuali memang seseorang sudah memiliki bibit-bibit di atas. Dari buku LGBT terakhir yang saya baca, memang penulis secara sengaja menjadikan tokohnya biseks sejak awal sehingga bibit-bibit itu sebenarnya sudah ada, hanya tertanam jauh di dalam. Saya lalu merenungkan dan mencocokkannya dengan pendapat Mbak Ajjah. Ada benarnya juga sih.

Mata Ketiga sedikit banyak hendak menunjukkan betapa homoseksualisme itu ada bibit-bibitnya (dan dengan demikian diwariskan secara genetis) sehingga bibit-bibit ini harus dijauhkan dari lingkungan yang tepat (atau ‘salah’ menurut pandangan orang normal) agar tidak semakin berkembang. Dalam novel ini, Mbak Ajjah menggambarkannya lewat cara yang ekstrem. Saya tidak menyangka, di balik sosok Mbak Ajjah yang kocak habis ini ternyata tersimpan imajinasi yang berdarah-darah serta kelam seperti di buku ini. Tetapi itu keren.

Saya sedikit teringat pada gaya menulis Akiyoshi Rikako saat membaca buku ini. Kebetulan, beliau ini juga penulis kesukaan Mbak Ajjah. Pola twist yang menggunakan elemen ****** serta kejutan-kejutan lain yang datang belakangan, memang sedikit mirip. Plus, ada sedikit elemen Agatha Christie dalam cerita novelet ini, tapi dalam versi yang lebih suram. Walau begitu, gaya tulisan orisinal Mbak Ajjah masih dapat saya temukan, terutama celetukan-celetukan bernada renungan yang sering menghiasi beranda Mbak Ajjah (yang dulu pernah saya sarankan untuk diterbitkan saja menjadi kumpulan tulisan tetapi sampai sekarang masih entah).

Apalagi ya, mungkin kurang panjang kali ya. Takutnya kalau saya nekat menuliskan plot atau ceritanya, bisa hilang deh itu twist-twist kejutan. Lebih baik, dibaca aja ya. 

“Kadang, betah tidaknya kita menjalani kehidupan ini tergantung besar tidaknya rasa syukur.” (hlm.  41)

No comments:

Post a Comment