Thursday, September 14, 2017

Bajak Laut & Purnama Terakhir: Sebuah Komedi Sejarah?

Judul: Bajak Laut dan Purnama Terakhir
Pengarang: Aditya Mulya
Tebal: 340 hlm
Cetakan: Kedua, 2016
Penerbit: Gagas Media 



Saya selalu suka membaca buku sejarah, apalagi jika ada novel yang mengunakan satu babakan peristiwa dalam sejarah tempo dulu di nusantara sebagai setting waktunya. Salah satunya yang paling baru adalah Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi yang walau linimasa sejarahnya agak campur baur, tapi entah bagaimana kok tetap asyik diikuti. Novel Bajak Laut dan Purnama Terakhir ini juga menggunakan latar sejarah sebagai settingnya, yakni sekitar abad 17 atau 18 masehi. Kala itu, lautan nusantara memang masih dikuasai oleh para bajak laut yang berbasis di pulau yang kini bernama Singapura. Mereka ini menjadi duri dalam daging bagi pemerintah VOC karena sering merompak kapal dagang perusahaan. Nah, salah satu diantara bajak laut yang bersliwearn di nusantara kala itu adalah kelompok Kerapu Merah. Namanya memang lebih mengingatkan kita pada nama  rumah makan seafood, dan ternyata pemimpin gerombolan ini memang sama manjurnya dengan hidangan laut: sama-sama bikin darah tinggi wkwkwk.

Kerapu Merah dipimpin oleh Jaka Kelana, seorang pemuda berusia 30 tahunan yang lebih sering memuji dirinya sendiri ketimbang merompak kapal dagang. Menurutnya, dia adalah seorang visioner dengan pemikiran yang melampui zamannya (misalnya saja, dia sudah tahu kue cucur padahal di abadke-17, kue ini belum ditemukan). Sementara anak buahnya berpendapat kalau pimpinannya adalah orang yang paling tepat untuk diabaikan saja. Loh, ini buku sejarah apa buku humor? Saya sebenarnya bingung mengelompokkan novel ini sebagai jenis ini. Soalnya, sejarahnya ada (walau ada banyak bagian yang direka-reka sendiri oleh penulisnya), ada naganya juga (yes, you heard me right, there is a dragon in thisss book. Imagine!), dan humor yang menjurus ke pisuh memisuh juga banyak.  Campur aduk gini malah jatuhnya bikin salah fokus. Awalnya, pembaca diajak mundur ratusan tahun lampau ke nusantara yang masih dikuasai VOC, lalu tiba-tiba ada perompak koplak yang minta ditimpuk. Saya memutuskan untuk menikmati jalan ceritanya saja ketimbang ceriwis.

Selain kekocakan khas Aditya Mulya, hal asyik lain dari novel ini ada pada cara si penulis menfiksikan sejarah. Satu babakan dalam sejarah Majapahit dituliskan ulang dengan versi rekaannya sendiri. Rekaan ini kemudian dipaskan dengan tarikh sejarah yang kita kenal sehingga menjadi semacam cocoklogi yang enak dinikmati.  Konon, salah satu sebab berjayanya Majapahit tidak bisa dilepaskan dari keberadaan 9 orang istimewa yang disebut para arya. Merekalah yang setia mendampingi Raden Wijaya dalam perjuangannya mendirikan Majapahit. Penulis mereka ulang sejarah gelap Majapahit ini dengan menyebut sepuluh pusaka yang membantu Raden Wijaya naik takhta dan memenangkan hampir seluruh kepulauan nusantara. Bagian pusakanya agak-agak fantasi sih, tapi sosok-sosok arya itu benar-benar adalah para tokoh nyata dalam sejarah. Patih Nambi, Lembu Sora, dan tokoh-tokoh lain yang biasanya kita dengarkan sambil lalu dalam pelajaran sejarah dimunculkan ulang dalam karakter-karakter yang kuat. Kualitas ini yang mungkin bikin banyak pembaca bisa belajar sejarah secara lebih menyenangkan.

Banyak informasi untuk yang bisa kita dapatkan dari novel ini, di antaranya asal muasal dari sejumlah kata yang masih kita gunakan hari ini, semisal preman dan KUTANG. Dalam catatan kaki yang diberikan penulis, pembaca juga bisa mendapatkan informasi-informasi ringkas namun penting dalam sejarah nusantara. Walau semakin ke belakang, catatan kaki yang muncul lebih sering bikin ngakak ketimbang bikin paham sejarah. Walau ada embel-embel “Sebuah Komedi Sejarah” pada judul novel ini, nuansa fantasi dan sejarah lebih sering hadir. Keberadaan Jaka Kelana lebih sebagai selingan ketika ceritanya menjadi terlampau serius sejarah atau terlalu kental fantasinya. Saya juga agak merasa keberadaan Jaka Kelana cs ini digunakan sebagai penambal sejumlah bolong logika yang beberapa kali bertebaran di buku ini. Misalnya saja, ada adegan ketika kapal tercepat milik VOC yang dilengkapi meriam dan layar raksasa ternyata tidak mampu mengejar kapal phinisi yang ditunggangi Jaka cs.  Juga, adegan pembobolan kraton Mataram yang kayaknya receh banget. Tapi, sekali lagi, ini kan komedi sejarah. Jadi, lebih baik kita nikmati saja  humornya ketimbang pusing mikirin kurangnya.  

No comments:

Post a Comment