Wednesday, August 9, 2017

Mencoba Teknik Konmari, Tips Berbenah ala Jepang



Judul Buku : The Life-changing Magic of Tidying Up
Penulis : Marie Kondo
Penerjemah : Reni Indardini
Penerbit : Bentang Pustaka
Tebal : 224 halaman
Cetakan pertama : Agustus 2016



Kalau ada satu buku nonfiksi yang heboh banget dibicarain di forum-forum pecinta penimbun buku sepanjang tahun 2017 ini, maka salah satunya adalah buku karya Marie Kondo. Buku tentang seni beres-beres rumah ala Jepang ini diberi nama Konmari, sesuai dengan nama penulisnya yang dibalik. Ajaibnya, kata ‘kon mari’ ini mirip dengan kata-kata dalam bahasa Jawa yang artinya “(di) suruh sembuh” atau “(di)minta waras”. Bisa juga sih karena memang lewat bukunya ini Marie Kondo seperti ingin menyuruh orang-orang agar sembuh dari kebiasaan buruk kita yang suka menimbun menyimpan barang melebihi dari yang kita butuhkan.  Tanpa kita sadari, kebiasaan suka menumpuk barang-barang yang lebih sering tidak kita gunakan dan keengganan untuk membuang barang-barang yang bahkan sudah tidak kita perlukan memang sudah menjadi semacam ‘penyakit’. Di Indonesia, terutama di pedesaan yang rumahnya masih lapang dan punya gudang, kebiasaan ini mungkin belum terlalu mengganggu. Tetapi di Jepang yang rumahnya kadang hanya satu atau dua petak, kebiasaan menimbun barang adalah bencana.

Banyak orang, termasuk saya tentunya, enggan membuang barang lebih karena nilai sentimental dari barang tersebut, bukan karena kegunaannya. Bahkan, banyak kita yang juga sering membeli barang karena alasan yang sama. “Wah, jepit rambutnya lucuk. Murah lagi. Beli ah.” Bayangkan kalau tiap hari kita lewat toko pernak-pernik lucu dan beli setidaknya satu. Walau kecil, maka dalam setahun kamar Anda mungkin tidak ada bedanya dengan toko pernak-pernik dalam rumah. Hanya bedanya, “toko” Anda ini lebih berantakan dan lebih bikin frustrasi ketimbang bikin hepi. Lewat buku ini, Kondo memperkenalkan teknik buang-buang barang secara agak frontal-demi-kebaikan. Fokusnya adalah menyimpan barang-barang yang bisa membuat kita bahagia dan membuang barang-barang lain yang tidak menyentuh hati kita. Berbenah harus diawali dengan membuang, inilah prinsip utama teknik Konmari. Dan saya yakin tidak semua orang bisa dengan ikhlas melakukan ‘membuang’ ini pada tumpukan barang mereka.


Untuk cowok-cowok yang mungkin tidak suka beli pernak-pernik, mereka mungkin akan berkelit dengan “Ah saya kan hanya beli barang-barang sesuai fungsinya saja, jadi nggak perlu deh baca teknik konmari ini.” Saya misalnya, hanya punya satu sepatu sneaker dan satu sepatu lari. Sepatu sendal juga satu, sementara celana panjang hanya 3 dan kaus serta kemeja yang bisa dihitung. Pria biasanya memang tidak suka membeli dan menumpuk barang, kecuali barang-barang yang menjadi hobinya. Bagi saya, tumpukan itu berbentuk buku.Masalahnya, walau barangnya sedikit, saya sering kerepotan menyimpannya. Dan teknik konmari ini ternyata juga membahas tentang teknik menyimpan barang. Jika bab 1 sampai 3 di buku ini kurang ‘menyentuh’ saya sebagai penimbun cowok, mungkin karena fokusnya pada membeli barang-barang karena emosi dan bukan karena fungsi. Ini biasanya lebih sering dijumpai pada wanita (walau tidak semua). Tidak heran jika klien Marie Kondo lebih banyak dari kalangan wanita karier muda dan ibuk-ibuk muda (yah tahu sendiri kan, betapa sayangnya ibu-ibu, bahkan sama tutup tupperware yang sudah retak). Kondo sedikit kejam dalam membuang barang. 

Alasan utama saya tertarik membaca buku ini adalah Konmari juga sedikit membahas tentang tips menyimpan, memilih, dan membuang buku. Dalam kursusnya, Kondo membuat prioritas tentang barang-barang yang harus dibenahi, yakni mulai dari pakaian, lalu buku, lalu pernak-pernik, dan diakhiri dengan barang kenang-kenangan. Sayangnya, tips menyimpan buku hanya dibahas sedikit sekali di buku ini sehingga saya kurang puas bacanya. Saya sempat terbengong-bengong membaca bagian ketika Marie Kondo menyobek begitu saja halaman-halaman dari buku yang berisi kutipan-kutipan favoritnya. Kondo kemudian mengklipik sobekan halaman-halaman tersebut, dan ujung-ujungnya malah membuang kliping itu karena tetap tak sempat terbaca. Aduh, mending bukunya buat saya sih (Yon, yakin situ bisa baca huruf kanji?). Terus terang, saya belum bisa sepenuhnya mempraktekkan teknik Konmari untuk buku. Pernah, dia membuang 200 – 300 buku dari rumah kliennya. Kalau saya sih, mending dijual dan buat beli buku lagi (meskipun ini dikritik lagi oleh Kondo karena tetap saja timbunanmu bertambah). Tapi, saya usahakan deh sumbangin 5 – 10 buku saya tiap bulannya. Mending jadi amal dan daripada dibuang?

Bab-bab tentang menyimpan barang adalah bagian yang saya pikir sangat bermanfaat. Simpan barang-barang di satu tempat, jangan disebar di dalam rumah karena lebih menyenangkan mengetahui di mana kita menyimpan barang, meskipun jauh tempatnya. Kondo juga menekankan bahwa barang-barang akan merasa bahagia ketika mereka digunakan ketimbang ketika mereka disimpan. Uang koin misalnya, lebih baik dimasukkan ke dalam dompet dan digunakan untuk bayar parkir atau belanja kecil ketimbang dikumpulin dan akhirnya terlupakan. Dia juga berulangkali menekankan untuk lebih menghargai barang dengan menganggap mereka sebagai teman terdekat kita. Mengucapkan terima kasih kepada tas, atau sepeda motor, atau telepon genggam yang telah usang, misalnya. Mungkin kesannya kekanakan, tetapi hal ini bisa jadi merupakan bentuk ucapan syukur kita karena telah dipertemukan dengan barang-barang yang telah begitu banyak menolong kita.   Lewat buku ini, saya jadi belajar banyak tentang bagaimana menyimpan barang serta menghargai mereka.

5 comments:

  1. siip postingannnya. buku ini juga masuk daftar wist ist saya, btw mas kalau sumbang buku kemana?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Banyak kok Bang, bisa nitip ke komunitas-komunitas buku. Saya kemarin nitip teman-temana KKN

      Delete
  2. aku juga lagi kebingungan membuang barang-barang pribadi seperti baju. Kalau buku, biasanya ada dua cara : dijual lagi dan disumbangkan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betull hahaha baju ini sering kali susah buangnya.

      Delete
  3. Di jepang memang mempunyai budaya yang tertata rapih ya mas, dari mulai hal terkecil. Mantap mas bukunya. semoga saya bisa konsisten buat review bukunya hehe salam kenal mas. boleh lah mas sekli-sekli mampir ke blog saya hehe https://reminderperpustakaanblog.blogspot.com/

    ReplyDelete