Wednesday, August 23, 2017

The Last Star, Apa yang Menjadikan Kita Manusia?



Beberapa hari lalu, saya sempat membaca satu artikel di surat kabar terkait aksi teror di Barcelona. Satu hal yang saya tangkap dari tulisan itu, bahwa tujuan akhir dari aksi teror bukan pada jumlah korban yang sebanyak-banyaknya, tetapi pada munculnya rasa tidak percaya sesama—kepada orang-orang asing yang bukan dari golongan mereka. Ketika orang sudah tidak saling percaya, ketika itulah para teroris berhasil mencapai tujuannya. Orang jadi merasa tidak aman berada di kerumunan atau di antara orang-orang yang tidak dikenalnya. Mereka tidak mau lagi mengulurkan tangan kepada orang asing, bahkan pada mereka yang membutuhkan. Manusia kehilangan kemanusiaannya. Sungguh mengerikan jika ini terjadi. Seperti inilah resep yang digunakan Rick Yancey dalam buku terakhir seri Gelombang Kelima ini.

"... kau tak pernah kehilangan mereka yang mencintaimu, karena cinta itu konstan: cinta bertahan." (hlm. 142)

Semakin ke belakang, menurut saya buku ini semakin tidak seru dalam hal aksi ala-ala filmnya. Pada buku pertama Gelombang Kelima, pembaca disuguhi dengan teror-teror katastropik dalam bentuk pemusnahan besar-besaran terhadap penduduk Bumi. Dimulai dengan hilangnya listrik, lalu gempa bumi dan gelombang tsunami yang menghancurkan kawasan pesisir, lalu wabah menyakit merah yang membunuh umat manusia yang selamat. Setelah itu, dimulai peluncuran gelombang keempat berupa penyebaran rasa saling tidak percaya pada sesama. Gejala ini muncul juga di buku kedua seri ini.  Terakhir, yang dituliskan di buku ketiga ini, adalah gelombang kelima sebagai alsi pamungkas dalam upaya pembersihan umat manusia. Tindakan mengerikan ini telah menyapu habis populasi manusia di Bumi, dari yang semula tujuh miliar menjadi tinggal beberapa ratus ribu saja. Parahnya lagi, mereka adalah ratusan ribu orang yang saling curiga satu sama lain.

"Tak peduli sebaik apa pun kau kenal seseorang, pasti masih ada bagian dari mereka tak kauketahui." (hlm. 215)

Lamanya jeda waktu antara terbitnya buku kedua dan ketiga seri ini membuat saya kudu sedikit bekerja keras saat membaca bab-bab awalnya. Pun, cara Yancey menulis yang menggunakan sudut pandang orang pertama secara bergantian sukses membuat saya kagok menamatkan halaman-halaman awal. Tapi, begitu bab dua terlewati, alhamdulillah saya dapatkan kembali rasa Gelombang Kelima yang saya rindukan. Untungnya, bab-bab di seri ini pendek-pendek dan dengan adegan yang bergulir cepat sehingga aroma seperti menonton versi film Gelombang Kelima masih ada. Nama-nama seperti Ringer, Cassie, Ben, Zombie, dan Evan Walker kembali muncul di kepala bersama cerita-cerita mereka. Apalagi, adegan pertama di buku ini akan mengingatkan kembali pembaca kepada pembuka di buku kedua. Gemas banget rasanya sama para ‘wakil alien’ yang dengan mudahnya menghabisi para penyitas hanya karena perintah dari atas dan juga atas nama kebaikan Bumi. 

"Kau tak berlari dari orang yang membutuhkanmu. kau berjuang untuk mereka. Kau berjuang di sisi mereka." (hlm. 159)

Untuk sebuah seri yang dibuka dengan epik di buku pertamanya, saya merasa The Last Star ini kurang memuaskan sebagai buku penutup. Terutama dari segi aksi penghancuran dan perang-perangannya. Beberapa kualitas potisif memang masih dipertahankan penulis. Pembaca mungkin terkejut karena pihak “alien” itu ternyata adalah “alien” (alien dalam tanda petik). Bagian perang tanding antar karakter di buku ini juga cukup detail, bikin deg-degan sekaligus nagih saat dibaca. Karakter Cassie juga tetap badass seperti di buku kedua. Tetapi tetap saja, untuk sebuah seri yang diawali dengan musnahnya hampir tujuh miliar manusia, ending yang digunakan penulis dalam The Last Star ini kurang nendang. Saya jadi nggak bisa bilang “RASAKAN KAU, PAK ALIEN” meskipun satu adegan pamungkas di buku ini cukup meledak-ledak (dan mirip-mirip dengan adegan dalam film Indepence Day—maaf spoiler). 

"Karena cinta itu senjata paling berbahaya di dunia. Lebih tak stabil daripada uranium." (hlm. 226)
 
Terlepas dari minimnya adegan tembak-tembakan ala Star Wars, ada satu poin penting yang menurut saya berusaha disampaikan oleh Yancey di buku ini. Pihak alien yang ternyata adalah “alien” di buku ini menunjukkan betapa tidak dibutuhkan senjata canggih atau bom terampuh untuk menghancurkan umat manusia. Pengalaman perang selama ribuan tahun, bahkan dengan bom atom yang telah meluluhlantakkan sejumlah wilayah di Bumi menunjukkan betapa manusia tetap masih mampu bertahan. Kota-kota dibangun kembali, persekutuan dimulai kembali, permusuhan diawali lagi, perdamaian diupayakan lagi. Tetapi, ketika rasa kemanusiaan itu lenyap dari diri manusia, kita menjadi tak ada bedanya dengan alien-alien yang asing antara satu sama lain. Ketika itu terjadi, manusia mungkin akan musnah sepenuhnya setelah manusia kehilangan apa yang telah menjadikan mereka manusia.  

35488549 

Judul: The Last Star (#Trilogi Gelombang Kelima)
Pengarang: Rick Yancey
Penerjemah: Angelic Zaizai
Penyunting: Mery Riansyah
Tebal: 397 hlm
Cetakan: Pertama, 2017
Penerbit: Gramedia

No comments:

Post a Comment