Sebagaimana buku-buku karya penulis Jepang yang sempat saya baca, novel ini tipis namun menohok dengan tepat kegelisahan yang mungkin selama ini terpendam dalam alam bawah sadar. Menjadi normal berarti menjadi sama atau melakukan hal yang sama atau yang lumrah dilakukan oleh orang kebanyakan, dan hanya dengan begitu engkau bakal diterima. Tidak peduli apakah dengan menjadi sama ini kita harus merelakan diri kita yang unik, kemampuan kita yang mumpuni, atau dunia tennag kita yang sebelumnya tidak terusik.
Lewat sosok gadis penjaga minimarket, penulis menggambarkan fenomena harus sama dengan yang lain ini dengan bagus sekali. Walau kasus yang dialami pelaku tergolong ekstrem, apa yang dia alami mungkin juga sesekali atau pernah kita rasakan. Betapa tekanan untuk menjadi lumrah sebagaimana orang orang lainnya kadang begitu berat sehingga memaksa untuk melakukannya meskipun tidak suka. Tetapi memang kadnag dunia permasyarakatan itu keras: kita harus melakukannya untuk mendapatkan pengakuan.
Dengan menjadi sama ini, kita dan masyarakat kadang lupa bahwa belum tentu hal itu baik atau yg terbaik bagi diri. Tokoh utama di buku ini awalnya heran, mwngapa orang-orang bahkan adiknya sendiri malah senang mendengar dia tinggal dengan seorang pria asing. Bahkan meskipun pria itu penggangguran dan tidak berguna, itu jauh lebih baik ketimbang menjadi lajang dan hidup sendirian.
Kemudian saya teringat dengan banyaknya kasus menikah hanya karena tuntutan kiri kanan atau menikah seolah itu perlombaan, dan bukan karena memang murni keinginan dan persiapan yang matang. Pada akhirnya, yang mengalami itulah yang menjalani, bukan orang lain. Mereka hanya akan memandang dari sudut pandang mereka sendiri, sudut pandang yang lumrah dan menurut mereka itu baik karena kebanyakan orang melakukan dan menjalaninya.
Korban
terbesar masyarakat adalah kita yang sering membuang hal - hal unik dalam diri
hanya karena dianggap asing oleh orang lain.
No comments:
Post a Comment