Friday, July 5, 2019

Ngenest 3, Ketika Komika Menulis Buku

Judul: Ngenest 3, Ngetawain Hidup A la Ernest
Penyusun: Ernest Prakasa
Tebal: 186 hlm
cetakan: Juni 2015
Penerbit: Rak Buku

25789311

Lucunya pas baca seri ini adalah saya baca buku 3 lebih dulu, baru buku 2, dan buku 1 malah nggak punya wkwkwk. Jadi gimana ya, buku ketiga kan jatuhnya lumayan jayus gitu. Pas saya cek di goodreads juga memang buku ketiga ini maaf agak garing. Untung saya belinya sekalian buku 2, yang kalau menurut review adalah yang paling lucu. Jadinya, setelah selesai membaca buku 3 yang rada meh, saya langsung mengebut untuk membaca buku 2. Istilahnya buat mengobati kekecewaan akibat pengharapan yang tidak sesuai dengan realitas. Tapi ya sudah, setiap orang ada kelebihan dan kekurangan, begitu juga buku.

Komika Ernest Prakasa yang terkenal di acara-acara stand up comedy  mencoba menuliskan pengalaman lucunya di media buku. Ya mungkin hendak mengikuti jejak Raditya Dika mumpung lagi hits. Isinya pun konsepnya rada-rada mirip. Cuma, Ernest lebih banyak bicara eh menulis tentang kehidupan pribadinya serta caranya memandang sekitar.
Agak beda dengan Radit yang kayaknya punya begitu banyak stok cerita lucu, Ernest seperti hanya memindahkan materi komika ke media tulisan. Mungkin memang keduanya berangkat dari dasar yang berbeda. Radit dari platform blog sehingga tulisannya lebih jadi dan banyak. Sementara Ernest mengawali dari komika sehingga mungkin cara nulisnya masih kerasa seperti materi komika. Satu lagi, Ernest ini satir banget nulisnya.


Bagian lucu dari buku ini adalah selipan-selipan lucu khas komika yang muncul di sela-sela tulisan. Juga cara Ernest menyinyiri kondisi sosial di Indonesia dengan segala hal yang memang layak dinyinyiri. Eh ada juga yang lagi di Jepang juga saat di pesawat. Pokoknya kayak gaya komika berkisah. Ya memang dia kan komika sih. Cuma, kalau satu bab di buku Raditya Dika itu rapat dan font kecil jadi bacanya kenyang, nah di buku Ernset ini enggak. Paragrafnya lebar, hurufnya gede, dan kayak cepet banget kelar dibacanya. Tapi, setiap penulis kan memang punya ciri khasnya sendiri. Nggak boleh dong banding-bandingin. Bisa menulis buku sampai tiga seri saja sudah keren. Nggak semua bisa loh.




Satu lagi yang kurang memuaskan di buku ketiga ini, Ernest lebih banyak berkisah tentang dirinya sendiri. Seperti agak kekurangan materi, Ernest membagikan pengalamannya pergi ke suatu tempat, atau pengalaman masa kecilnya (yang 80-an banget) yang dikisahkan dengan gaya komika. Sayangnya, materi 80-an ini kayaknya kurang cocok sama generasi 90-an ke atas yang menjadi konsumen utama buku ini. Jadi, ya agak lambat juga saya nangkap lucunya di mana. Jika boleh dibilang, Ernest ini termasuk keluarga kelas menengah ke atas di tahu 80-an jadi punya pengalaman seru dengan benda-benda mahal yang gak terjangkau kebanyakan generasi 90-an.

Selain sampulnya yang (maaf ya) jelek, ada satu lagi yang bikin kurang kenyang baca buku ini. Ending buku ini loh yang kayak album foto pribadi yang dipajang di medsos, lalu disertai caption-caption melucu.  Kesannya kok kayak biar bukunya tebal gitu. Tapi, lepas dari itu, kita kudau kasih salut buat Ernest yang mau menulis buku.


No comments:

Post a Comment