Wednesday, July 24, 2019

Empat Aku, Sebuah Kumpulan Kisah

Judul asli: Empat Aku
Penulis: Yudhi Herwibowo
ISBN: 9789791260879
Halaman: 165
Cetakan: Pertama-2019
Penerbit: Marjin Kiri



Saya lumayan setuju sama Mbak Truly yang dalam ulasannya menulis betapa dalam buku ini Mas Yudhi sering sekali mengakhiri cerita di buku ini dengan cara 'menyebalkan'. Ini kasusnya beda dengan cerpen-cerpen Minggu pagi yang akhir ceritanya menggantung dengan tujuan memancing imajinasi pembaca. Alih-alih memancing, saya kok lebih merasa sebal ya karena serasa ada sesuatu yang seharusnya diselesaikan tetapi tidak diselesaikan. Tentu saja, adalah hak penulis untuk mengakhiri cerita karyanya sesuai keinginan sendiri. Tetapi, pembaca juga boleh dong sesekali sebal karena ia tidak mendapatkan ending yang diinginkan. 

Tapi jika kita melihat dari sisi lain, hal ini malah menjadi bukti keberhasilan penulis untuk mempengaruhi pembaca. Ending yang dianggap menyebalkan berarti pembaca bisa larut dalam cerita dan menjadikan dirinya serasa bagian dari cerita sehingga dia menginginkan ending yang sesuai keinginan. Penulis dalam hal ini berhasil mempengaruhi pembacanya. Bukankah ini bentuk keberhasilan penulis?


Terlepas dari keluhan di atas, kumpulan cerpen ini termasuk ukuran ringan sebagai sebuah buku kumpulan cerpen. Kita mungkin membayangkan membaca Empat Aku seperti membaca cerpen-cerpen sastra Minggu. Tetapi, isinya ternyata tidak seberat itu—ini dalam artian positif ya. Tidak hanya tipis dan ringan dibawa, tetapi isinya ternyata juga ringan. Memang ada kecenderungan penulis untuk melakukan ceramah sosial, tetapi hal itu disampaikan dalam kisah-kisah yang menyenangkan dibaca—terlepas dari kisahnya yang banyak ber-ending kelam.

Salah satunya kisah 'Jejak Air' yang jelas-jelas merupakan wujud kritik sosial pada perusahaan air minum kemasan yang menyedot sumber air di pedesaan. Beberapa tahun lalu, kita sempat mendengar konflik antara perusahaan air kemasan dengan warga sekitar sumber mata air karena perebutan jatah air. Cerpen ini diawali dengan bagus sekali. Emosi dan empati pembaca serasa diaduk-aduk untuk ikut hanyut menghujat perusahaan yang rakus. Tapi, endingnya jenis ending mengantung yang bikin gemes. 

Ada juga kisah 'Kisah Kera-kera Besar yang Pergi Menuju Langit' yang merupakan kritik terang-benderang terkait penguasaan lahan hutan di Kalimantan oleh para pemengang HPH (Waduh, anak jadul banget saya ini pasti). Lewat sudut pandang penduduk asli, penulis mengangkat perubahan besar-besaran hutan belantara menjadi hutan sawit. Perubahan ekologis yang mengancam kelangsungan hidup orang hutan.

Saya juga setuju dengan sejumlah ulasan pembaca bahwa buku ini tidak atau belum memuat kisah-kisah terbaik karya Mas Yudhi. Menurut saya, kumpulan cerpen Mata Air Air Mata Kumari masih mas Yudhi yang terbaik. Dalam buku itu, saya menemukan cerpen-cerpen yang Mas Yudhi banget, yang beberapa elemennya masih saya temukan bayangannya di kumpulan kisah Empat Aku ini. 

Kabar baiknya, buku baru ini bisa dibilang lebih ramah untuk pembaca umum. Berkaca pada isinya yang cenderung ringan, tidak salah jika antologi ini menggunakan label “sekumpulan kisah” dan bukan "kumpulan cerita pendek" karena cenderung lebih mudah dimamah. Semoga ini menjadikan dan menjanjikan jumlah pembaca yang lebih banyak. Sayang kalau kisah-kisah bagus ini hanya terbaca oleh kalangan pembaca yang terbatas.

Satu lagi, sampul dan ukuran buku ini patut mendapat pujian. Warna kuningnya tampak berkelas, dan bukunya juga enak dipegang. Cocok dibawa untuk menemani perjalanan atau dibaca sambil bersantai di teras depan rumah. 

No comments:

Post a Comment