Monday, March 11, 2019

Tuhan dan Hal-Hal yang tak Selesai, Kumpulan Esai

Judul: Tuhan dan Hal-Hal yang tak Selesai
Penyusun: Goenawan Mohamad
Cetakan:  Januari 2019
Tebal: 200 hlm
Penerbit: DIVA Press




Blurb:
Ada 99 esai pendek dalam buku ini. Jika boleh menirukan karya Roestam Effendi yang terbit tahun 1925, Pertjikan Permenoengan, ke 99 esai itu adalah semacam percikan. Mereka terkadang bisa dibaca sebagai bagian yang saling mendukung atau saling membantah, terkadang bisa dibaca sebagai tulisan yang berdiri sendiri-sendiri.

Semuanya ditulis di masa yang seperti kita alami sekarang, ketika Tuhan tak bisa ditolak dan agama bertambah penting dalam hidup orang banyak, memberi kekuatan, menerangi jalan, tetapi juga membingungkan dan menakutkan.


***
Pernah, walau mungkin jarang, kita menemukan tulisan yang kita tahu tulisan itu bagus hanya saja kita yang tidak/belum mampu mencernanya.

Mungkin bacaan kita yang kurang banyak dan kurang beragam.
Mungkin perjalanan kita yang kurang jauh dan kurang ke mana-mana.
Mungkin pemikiran kita yang kurang terbuka atau hati kita yang kurang lapang.
Mungkin perenungan kita yang kurang mendalam, atau malah nggak pernah sempat merenung.

Atau mungkin, kita yang sudah banyak membaca tetapi kurang banyak menulis.

Kumpulan esai Goenawan Mohamad ini ibarat naskah-naskah yang hanya mau bicara kepada para pembaca yang dipilih (yang jelas saya belum terpilih). Tulisan-tulisan di dalamnya menyentuh serta membahas hal-hal yang jauh, bacaan-bacaan kelas tinggi, hingga peristiwa sejarah besar dunia. Butuh pembacaan dan pengalaman yang sepertinya lumayan panjang untuk bisa memaknai esai-esai pendek di buku ini. Dan dari tadi saya nulis panjang lebar tapi sama sekali belum menjelaskan bagaimana isi buku ini wkwkwk. Baiklah, ini mungkin sedikit kesan setelah menyelesaikan buku tipis tapi ternyata "berat" ini.


"Dengan kejadianlah kebenaran terjadi--kebenaran, bukan pengetahuan." (hlm. 51)

Ada kecenderungan yang gamplang kita lihat dalam kehidupan sehari-hari tentang sikap sejumlah menusia kekinian yang sepertinya terlalu  "melangit" tetapi mereka jadi lupa untuk membumi. Fenomena inilah yang kemudian disorot oleh sejumlah penulis dan budayawan Indonesia dalam tulisan-tulisan mereka. Di antara yang produktif mengingatkan kita untuk membumi itu adalah almarhum Gus Dur, ulama Gus Mus, Budayawan Cak Nun dan Sudjiwo Tejo, sastrawan Agus Noor, Leila S Chudori, serta esais Goenawan Mohamad.  

Penulis yang juga pengasuh rubrik Catatan Pinggir di Majalah Tempo ini memang dikenal cukup produktif bersikap kritis terhadap orang-orang yang menurutnya "terlalu mabok kanan" di negeri ini. Tidak heran jika kritikannya sering disambut dengan berbagai hujatan, ejekan, hingga tuduhan kafir. Tulisannya memang kadang begitu vulgar menyindir hal-hal yang dianggap profan bagi bangsa ini. Dibutuhkan pikiran yang terbuka dan hati yang lapang untuk bisa pelan-pelan mencerna apa yang ditulisnya. Misalnya kalimat ini:


"Sang penyair sendiri tak seperti nabi itu. Ia jauh dari tiang agung. Ia bimbang dan galau: kekuatan Tuhan bisa sedemikian menakutkan untuk membuat manusia mengambil jalan yang lurus." (hlm. 83)

Bayangkan, GM menyentuh satu titik paling sensitif bagi umat beragama: Tuhan. Jika dibaca sekilas, kita mungkin tergiring menyimpulkan betapa Tuhan telah memaksa manusia untuk mengikuti jalanNya lewat kemahakuasaannya. Mungkin, lewat ancaman siksa neraka bagi manusia yang menolak jalanNya. Kalimat ini jika dibaca oleh pikiran yang pendek pasti akan berbuah hujatan dan pengkafiran. Tetapi, jika kita renungkan baik-baik, GM sepertinya hendak meyindir kita yang memilih mengikuti jalanNya karena ancaman siksaNya, bukan karena cintaNya. Sering kita terlalu dini berburuk sangka, tanpa sempat sejenak merenungkan kalau mungkin kita saja yang ilmunya belum sampai ke sana.

Esai-esai di buku ini, selain membutuhkan perenungan yang dalam dan dukungan referensi yang bagus, juga agak sulit dicerna karena temanya yang meloncat-loncat. Dalam beberapa bab awal dibahas banyak tentang kehidupan dan kematian, agama, Tuhan, lalu beberapa bab setelahnya tema berpindah ke politik, lalu renungan kemanusiaan, lalu agama, lalu sastra, lalu sejarah, lalu budaya. Jika terbiasa membaca novel yang babnya urut atau buku nonfiksi yang rapi, buku ini mungkin membingungkan. Tetapi, para pecinta esai dan pembaca surat kabar pasti menyukai cara GM menulis. Saya sendiri mencoba membacanya urut tetapi lepas-lepas, seraya berusaha sedikit-sedikit mencoba mencerap sejumput ilmu yang berupaya diungkapkan GM lewat buku ini.

Walau sering tidak paham, saya mencoba menikmati saja buku ini dengan mengarisbawahi kutipan-kutipannya yang memang layak kutip. GM mampu memadukan antara tulisan esai dengan sastra, sehingga menghasilkan tulisan yang tidak hanya menyentil tetapi juga enak dibaca. Seperti kalimat pembuka di esai pendek halaman 125 ini: "Zaman kita adalah zaman ketika orang lebih mudah mengenang manusia pertama yang mendarat di bulan ketimbang manusia pertama yang melihat bulan." Atau, kalimat indah ini: "Kota terbaik adalah suatu sejarah kesabaran. Bangunan-bangunannya terus memanggul musim di pundaknya." (hlm. 91)

Untuk menjadi seorang bijak dengan pikiran terbuka dan hati yang lapang, masih banyak yang perlu kita baca, kita pelajari, kita alami. Dengan caranya sendiri, buku ini mengingatkan kita untuk terus berproses dengan tanpa pernah merendahkan apalagi menghujat mereka yang berbeda pandangan. Setiap lumpur ada suburnya, setiap permata ada celakanya. Orang bijak mengambil yang baik dari keduanya. 

"Hadir sebagai beda, bukan sebagai sama, bukan sebagai satu ..." (hlm. 122)

1 comment:

  1. Bosan tidak tahu mau mengerjakan apa pada saat santai, ayo segera uji keberuntungan kalian
    hanya di D*E*W*A*P*K / pin bb D87604A1
    dengan hanya minimal deposit 10.000 kalian bisa memenangkan uang jutaan rupiah
    dapatkan juga bonus rollingan 0.3% dan refferal 10% :)

    ReplyDelete