Wednesday, August 29, 2018

Pergi, Hilangnya Detail dalam Sekuel Pulang

Judul: Pergi
Pengarang: Tereliye
Co-author: Sarippudin
Editor: Trisna Rahmawati
Sampul: Resoluzy
Tebal: 460 hlm
Cetakan: IV, Juni 2018
Penerbit: Republika


39643727


Dalam Pergi , walau sedikit kurang puas dengan endingnya, saya menemukan obat kekecewaan perihal novel Pulang yang beraroma Negeri Para Bedebah banget. Kedua seri novel ini ternyata memang berhubungan—meski tidak secara langsung. Lebih tepatnya, penulis melakukan cross-crossing karakter, yakni dua karakter utamanya (Thomas dan Bujang) saling dipertemukan dalam cerita yang sama. Walau kemunculan Thomas di Pergi bisa dibilang cukup sekilas, pertemuan keduanya lumayan menyegarkan. Saya jadi bisa sedikit memaklumi kenapa Pulang terasa agak mirip dengan Negeri Para Bedebah. Jika melihat ending-nya yang belum ending, kemungkinan Tereliye memang akan membuat satu seri khusus novel tentang mafia dan dunia ekonomi bayangan ini sebagaimana dia juga menulis seri fantasi Bumi.

Panas Sejak Awal
Lanjut ke cerita, Tereliye membuka novel ini dengan menggunakan konsep novel aksi popular kontemporer ala-ala Dan Brown dan Michael Chrichton, yakni dibuka langsung dengan konflik. Teknik ini digunakan kemungkinan untuk menarik minat agar pembaca langsung penasaran dari halaman awal sehingga akan lanjut di halaman berikutnya. Pembaca yang sudah terlebih dulu membaca novel Pulang langsung bisa masuk ke cerita karena mereka sudah mengenal siapa itu Bujang, White, Salonga, dan Si Kembar. Tetapi pembaca setia Tereliye yang asal-comot-buku-yang-penting-karya-Tereliye mungkin akan agak kesulitan. Pulang sebaiknya memang harus dibaca terlebih dahulu agar lebih bisa menikmati seri ini.



Dalam pertempuran pembuka ini, settingnya di Meksiko. Bujang dan kawan-kawan harus berhadapan dengan keluarga bayangan El Pacho di Meksiko dalam rangka memperebutkan sebuah mesin canggih hasil rekayasa para ilmuwan Keluarga Tong. Geng Bujang sudah hampir berhasil mengalahkan para tukang pukul El Pacho kalau saja tidak ada satu sosok bertopeng dan menyandang gitar yang tiba-tiba datang. Dalam sebuah pertandingan bela diri yang adil melawan si sosok bertopeng, Bujang terpaksa harus kehilangan kembali alat canggih tersebut. Hal lain yang tidak kalah mengagetkan, sosok bertopeng itu mengaku sebagai kakak tiri Bujang. Dia adalah anak pertama Samad.

Masa Lalu yang Mengganggu
Fokus Bujang pun terbelah. Sebagai Tauke Besar Keluarga Tong, dia kini harus menghadapi dua masalah besar. Pertama, ia bertanggung jawab menangani segala tetek benget urusan keluarga bayangan tersebut. Seperti disebutkan sebelumnya dalam novel Pulang, keseimbangan shadow economy di Asia Pasifik terancam goyah akibat tipu daya Master Dragon yang ternyata menjadi dalang di balik berbagai kejadian buruk yang menimpa Keluarga Tong. Bujang merasa harus membalaskan dendam atas kematian Tauke Besar sebelumnya, sekaligus mengembalikan lagi “kedamaian” di kawasan. Tugas berat ini masih harus ditambah dengan keinginannya untuk mencari tahu siapa sosok bertopeng yang mengaku sebagai kakaknya itu. Dua tugas besar yang sama-sama menyita perhatian.

Tidak hanya Bujang yang terganggu dengan masa lalu Samad. Saya juga merasa bagian flashback dalam Pergi ini terlampau menyita alur cerita besarnya. Saya lebih nyaman dengan flashback di novel Pulang yang dituliskan secukupnya namun bisa menambal pertanyaan-pertanyaan yang muncul di belakang tentang asal-usul ayah Bujang. Dalam Pergi , alur mundur ini muncul dalam bentuk tumpukan surat yang ditulis oleh kakak tiri Bujang. Dan, surat-surat ini muncul banyak sekali sampai-sampai menurut saya terlalu mengganggu cerita utamanya. Saya mengharapkan akan ada lebih banyak pengetahuan serta aksi dalam perusahaan ekonomi bayangan sebagaimana dalam Pulang, tetapi porsi itu hampir 40%-nya direbut oleh kakak tiri Bujang yang ternyata hanya sekilas sekali perannya.

Kemungkinan, surat-surat ini muncul untuk mengakomodasi kecenderungan romantis dari novel-novel Tereliye. Saat membaca bagian tentang surat-surat Diego kepada Samad inilah saya merasa menemukan kembali sentuhan Tereliye yang pandai banget membuat pembacanya memerah jambu dengan kisah-kisah romantisnya. Tetapi, tidak Dari awal seri Babi Hutan ini adalah tentang aksi laga dan dunia ekonomi bayangan. Ketika pembaca sudah diajak nyemplung dalam kisah-kisah aksi dan di tengah-tengah kemudian ada kisah-kisah romansa ala-ala (yang saya akui memang bagus), saya sebagai pembaca merasa agak kurang sreg. Dan kemunculan sosok Diego yang semacam jadi pembuka dan penutup pintu dalam Pergi membuat upaya membaca surat-surat panjang itu menjadi semacam “tanggung banget.”

Kurangnya Detail
Saya setuju dengan pendapat saya tentang Pergi yang sebenarnya memiliki ide cerita yang bagus tetapi sayangnya digarap dengan kurang sempurna. Bagian paling disayangkan adalah kurang detailnya adegan pertempuran yang dipaparkan—terutama saat pertarungan fisik. Dalam Pulang, saya merasakan betul bagaimana Tereliye melakukan risetnya untuk menghadirkan suatu pemandangan pertempuran yang nyata, baik pertempuran dengan tangan kosong, pertempuran pedang, hingga tembak-tembakan. Dalam Pergi , seluruh detail pertempuran yang sangat keren ini lebih sering dirangkum dengan telling ketimbang describing. Si Kembar dikisahkan bisa melempar shuriken tepat ke sasaran. White dan pasukannya dar der dor membasmi tukang pukul musuh. Tahu-tahu saja si A menang dan si B kalah.

Salah satu sisi asyik membaca novel laga adalah saat menyaksikan karakter-karakternya bertarung dalam jarak dekat. Dari sini pembaca bisa menyaksikan jurus-jurus diperagakan—lengkap dengan anggota bagian tubuh mana yang digunakan. Juga dalam pertarungan pedang, ketika si pemakai mampu memperlakukan bilah pedang itu sebagai perpanjangan dari tangannya sendiri. Dalam Pergi , banyak adegan pertarungan yang dikisahkan semata tetapi tidak digambarkan. Misalnya adegan ketika Samad berhasil menghabisi sekelompok preman di sebuah pelabuhan di Singapura. Hanya dikisahkan bagaimana Samad mampu membuat musuh-musuhnya bertekuk lutut dalam waktu lima detik, sama sekali tidak ditunjukkan bagaimana dia mampu mengalahkan preman-preman itu dalam lima detik.

Lepas dari poin-poin di atas, Pergi adalah novel yang memang filmable sekali. Efek seperti menonton film laga dalam Negeri Para Bedebah dan novel Pulang berhasil disajikan dengan mulus. Seri ini juga memiliki jalinan plot yang rapi, kaya akan kalimat-kalimat quotable, serta—yang paling kece—tema besar yang sangat menarik tentang dunia shadow economy. Seri Babi Hutan bisa menjadi bacaan alternatif yang bagus untuk para pembaca muda di Indonesia selain seri-seri wattpad yang membanjir di pasaran saat ini. Selamat kepada Bujang dan kawan-kawan, cetak ulang selalu. Salam buat Salonga, tokoh favorit saya di novel Pergi .


No comments:

Post a Comment