Judul: Topi Hamdan
Pengarang: Auni Fa
Penyunting: Iswan H
Cetakan: November
2017
Tebal: 344 hlm
Roda kehidupan manusia memang
tidak pernah dapat ditebak. Tapi satu hal yang pasti, Tuhan mempergilirkan
nasib hamba-hamba-Nya serupa roda, kadang jaya di atas dan sekali waktu harus
terlindas di bawah. Kita tidak bisa mengetahui dengan persis apa maksud Tuhan,
tetapi kita selalu dapat belajar banyak dari ketetapanNya ini. Bahwa hidup memang
tersusun atas kepingan duka dan kepingan bahagia. Tidak selamanya manusia akan berkubang
dalam lembah kesedihan. Tidak selamanya pula manusia bertabur kebahagiaan.
Semua ada masanya. Dengan mengetahui kebenaran ini, kita jadi tidak gampang
putus asa saat sedang mendapatkan ujian hidup karena Tuhan pasti telah
menyiapkan kebahagiaan di ujung sana. Di sisi lain, kita juga menjadi tidak
mudah takabur atau lupa diri ketika sedang mendapatkan kenikmatan hidup.
Sungguh, Dia berkuasa untuk mengubah nasib kita semudah kita membalik telapak
tangan.
Wahai pembaca, adakah orang yang
sesabar seorang Hamdan? Anak laki-laki ini menjalani masa kecil yang sangat
membahagiakan bersama Ayah dan Ibunya. Semua orang iri pada keharmonisan
keluarga kecil itu. Hamdan disayang begitu rupa sebagai anak tunggal. Sampai
suatu ketika ketika dia masih SMP, Ayah Hamdan meninggal. Di sinilah titik
balik kehidupan si Hamdan remaja. Sang Ibu lalu menikah dengan seorang pria
asing yang kemudian menjadi ayah tiri Hamdan. Pria ini adalah tipikal ayah tiri
kejam ala Cinderela, lengkap dengan anak gadisnya—yang juga sama-sama membenci
Hamdan. Setiap hari, ketika ibunya sedang pergi bekerja, Hamdan disuruh
mengerjakan semua pekerjaan rumah. Ayah tirinya tak segan-segan melontarkan
makian dan hinaan, bahkan hukuman fisik. Hamdan bahkan dilarang melanjutkan
sekolah. Dia dropout dari SMP.
Nasib Hamdan semakin buruk ketika
sang Ibu akhirnya meninggal dunia menyusul ayahnya. Jadilah kini anak itu hidup
sendiri bersama ayah tiri dan saudari tirinya yang kejam. Kedua orang itu
semakin menjadi-jadi menyiksa Hamdan. Apakah tidak terpikir bagi Hamdan untuk
pergi saja dari rumah laknat itu? Tidak bisa. Sang ibu telah menjadikan Hamdan
pewaris sah rumah. Jika dia pergi, sama saja dengan membiarkan rumah warisan
ornag tuanya jatuh ke ayah tirinya yang jahat. Hamdan memutuskan untuk
bertahan. Berbagai hinaan dan siksaan tidak membuatnya goyah. Sesekali, dia akan
mengingat kembali dongeng-dongeng yang dikisahkan almarhumah ibunya dulu.
Dongeng tentang semut Ong, misalnya, terus menguatkannya di kala siksaan hidup
demikian berat menerpanya. Hamdan juga memiliki hobi membuat topi pelukis yang
sedikit banyak mampu mengalihkan penderitaannya. Hingga usia 41 tahun, Hamdan
tumbuh menjadi pria yang selalu murung, pendiam, penyendiri, tetapi memiliki
stok kesabaran yang luar biasa.
Tak disangka, di usia inilah
puncak kesabarannya diuji. Sebuah fitnah keji dilancarkan oleh Sumik, yang
merupakan saudari tirinya. Fitnah yang sedemikian kejam sehingga menjebloskannya
ke penjara. Sekali lagi, Hamdan harus menjalani pahitnya kehidupan. Kali ini
dari balik tembok penjara. Ujian hidup yang terus mendera membuatnya hampir
gila. Terlebih kini, kebebasannya pun diambil paksa. Hampir saja Hamdan
menyerah kalau saja dia tidak mengingat kisah tentang Ong si Semut yang dulu
dikisahkan ibunya. Sekali lagi, Hamdan memanjangkan kesabarannya seraya terus
berharap Tuhan yang Maha Penyayang segera mendatangkan kebahagiaan untuknya. Tetapi,
Hamdan harus bersabar lagi selama 30 tahun. Pria itu harus merasakan dinginnya jeruji
penjara sepanjang tiga dekade masa hidupnya, menghabiskan separuh kedua masa
produktif kehidupannya. Hanya ditemani dongeng-dongeng sang ibu serta ingatan
akan mesin jahit yang sering digunakannya untuk membuat topi. Ternyata, kenangan
memang memiliki kekuatan luar biasa. Ia bisa melempar seseorang menuju jurang
keputusasaan, bisa pula menjadi tambatan jiwa agar tetap waras di kala ujian menerpa.
Tepat di usianya yang ke-71
tahun, Hamdan akhirnya dinyatakan bebas dari penjara. Dia bahkan dijemput oleh Paiz,
putra dari Sumik. Pria tua itu bersyukur karena akhirnya dia bisa menhabiskan
hari tuanya dengan tenang bersama satu-satunya anggota keluarga yang
dimilikinya. Tapi sayang, roda nasib sekali lagi belum berpihak kepadanya. Paiz
malah mengantarkan kakek tua itu ke sebuah panti jombo. Hamdan dibuang oleh
satu-satunya kerabat yang dimilikinya. Seakan nasib belum cukup menempanya, panti
itu ternyata dipimpin seorang pria berkelakuan jahat yang suka mencuri donasi panti
untuk keperluan sendiri. Puncaknya, Hamdan bahkan diusir dari panti setelah
mengajak sesama penghuni panti untuk menjahit dan berjualan topi. Hamdan
kembali terlunta-lunta di usianya yang tua. Oh nasib (dan penulisnya) sampai
kapan engkau berlaku sedemikian kepada Kakek Hamdan. Membaca kisah Kakek Hamdan
hampir membuat saya menyerah karena isinya rentetan kesedihan demi kesedihan.
Kalau saja cahaya pertolongan itu tidak segera tampak, mungkin saya tidak akan
kuat menyelesaikan membaca novel ini.
Cahaya itu datang dalam wujud
seorang perempuan muda bernama Melisa. Dia adalah donatur tetap panti, tetapi
akhirnya berhenti memberikan donasi begitu mengetahui kelakukan buruk si
pemimpin panti. Tapi, di panti itu dia pernah dipertemukan dengan Kakek Hamdan,
seorang pria yang telah ditempa nasib buruk dari masa SMP hingga usia 71 tahun.
Dari si kakek, Melisa belajar banyak tentang kesabaran yang tak berbatas karena
kita sendiri tak akan pernah mampu mengukur di mana batas sebuah kesabaran.
Lewat Melisa inilah rupanya Tuhan menurunkan pertolongan. Dari bakatnya membuat
topi dan pertolongan Melisa, Hamdan akhirnya bisa mendapatkan akhir yang
bahagia atas kehidupan panjangnya yang pahit. Tuhan tidak pernah ingkar dengan
janjiNya. Semua yang tekun dalam kesabaran akan mendapatkan imbalan yang tak
takkan pernah disangkanya. Kisah Hamdan mengajarkan kepada pembaca tentang
keutamaan bersabar yang tidak berbatas.
Terlepas dari keindahan dari “bersabar”
yang coba diangkat penulis lewat novel Topi
Hamdan, saya masih mendapati beberapa hal yang agak kurang berkenan saat membaca
novel ini. Pertama adalah “kekejaman” penulis yang membiarkan Hamdan bersabar
hingga usia 71 tahun. Sungguh, Cinderella dan Si Midun saja nggak selama itu
ditindasnya. Mendapatkan kebahagiaan di usia senja memang tidak keliru, tetapi
berdiam diri sehingga kebahagiaan baru bisa hadir di akhir usia juga bukan
solusi. Tuhan mengajarkan hambaNya untuk bersabar dan pasrah, tetapi ada
catatan tentang sabar dan pasrah seperti apa yang di[erbolehkanNya. Bersabar
yang baik adalah ridho akan ketetapanNya yang telah terjadi sambil terus
berusaha berjuang dan berharap untuk ketetapan baikNya yang belum terjadi.
Sungguh aneh melihat pria dewasa diam saja disiksa oleh ayah dan saudari
tirinya. Apalagi, si ayah sudah sakit-sakitan dan saudarinya pun seorang wanita
manja. Sebagai pria dewasa pewaris sah, Hamdan seharusnya bisa bertindak lebih
banyak. Dia sehat, mampu bekerja, dan terang pikirannya tapi dia pasrah saja diperlakukan
buruk. Bahkan, ketika mengetahui dirinya difitnah, dia tidak mencoba untuk
melapor ke polisi, setidaknya untuk merehabilitasi nama baiknya. Sungguh
sia-sia 30 tahun masa kehidupannya di penjara karena kejahatan yang bahkan tak
pernah dia lakukan. Kepasrahan yang dilakukan Hamdan menurut saya adalah kepasrahan
yang tidak pada tempatnya.
Kadang, kita menemukan cerita
yang sedemikian sempurna karakternya sehingga kita susah mempercayai kalau
tokoh seperti itu memang benar-benar ada di dunia nyata. Di buku ini, saya
menyaksikan versi sebaliknya, yakni tokoh yang sedemikian tidak sempurnanya
sehingga susah mempercayai kalau tokoh seperti itu memang benar-benar ada di
dunia nyata. Terlalu banyak porsi ujian yang diberikan kepada Hamdan sehingga
alih-alih merasa terinspirasi, pembaca malah merasa murung. Mungkin penulis
hendak meniru kisah-kisah para Nabi yang melambangkan kesabaran dan ketaatan
tak berbatas. Hanya saja, menurut saya ada perbedaan antara membaca kisah para
nabi dengan kisah manusia biasa. Dalam kisah para Nabi, kita sudah
automengetahui bakal ada campur-tangan kekuatan Tuhan yang berperan sehingga
selalu ada permakluman ketika ujian itu sedemikian berat karena “Ini Nabi
pilihan Allah, tidak mungkin dipilih jika stok sabarnya sedikit”. Ketika mendapati
kisah serupa dalam diri manusia biasa—walau itu juga tidak mustahil karena
Tuhan Maha Berkehendak—rasanya seperti membaca kisah nabi yang dipaksa-paksakan
pada kisah manusia biasa. Hasilnya, sebuah kisah yang sukar untuk dipercaya
pembaca—setidaknya saya.
Tapi, saya suka dongeng-dongeng
di buku ini. Terasa orisinal sekali. Andai dongengnya bisa lebih banyak, maka
itu bisa mengimbangi pekatnya kadar kemuraman dalam Topi Hamdan. Satu bintang untuk sampul dan bukunya yang rapi banget, satu bintang untuk teknik menulisnya yang mengalir, dan satu bintang lagi untuk kesabaran Hamdan yang luarbiasa. Tiga bintang untuk Topi Hamdan.
No comments:
Post a Comment