Thursday, April 19, 2018

A Wrinkle in Time, Teori Einstein dalam Sebuah Novel Anak


Judul: Kerutan dalam Waktu
Pengarang:  Madeleine L'Engle,
Penerjemah: Maria Masniari Lubis
Tebal: 267 hlm
Cetakan: September, 2010
Penerbit: Atria

9298840

Ilmu pengetahuan adalah salah satu ide terbaik untuk menulis fiksi. Sama halnya, karya fiksi juga menjadi salah satu sarana transfer ilmu pengetahuan yang efektif.  Ada banyak sekali karya fiksi yang digunakan untuk memudahkan pembaca memahami teori-teori dan rumus-rumus ilmu pengetahuan yang dirasa berat. Memang, sifat  fiksi yang fleksibel memungkinkan teori dan rumus tersebut disampaikan secara lebih luwes lewat cerita. Pemahaman tentang anatomi tubuh misalnya, bisa dipelajari dengan lebih “menyenangkan” dalam novel-novel thriller pembunuhan. Atau, tentang teori relativitas ruang dan waktu karya Einstein yang berat itu, ternyata sedikit banyak bisa diterangkan lewat novel anak-anak yang sebenarnya lumayan berat bobotnya ini.

Dalam Kerutan dalam Waktu, konsep perjalanan melintasi waktu dijelaskan melalui petualangan tiga anak cerdas bernama Meg, Charles Wallace, dan Calvin o’ Keefe. Ketiga anak ini dipertemukan dengan tiga wanita nyentrik dengan nama yang tidak kalah nyentrik:  Mrs. Whatis, Mrs Who, dan Mrs Which. Dari luar, ketiganya terlihat seperti nenek-nenek tua biasa. Tetapi, perkenalan lebih lanjut menguak bahwa ketiganya adalah entitas purba yang bisa menekuk ruang dan waktu. Sebentar, bagaimana bisa anak-anak biasa dipertemukan dengan tiga entitas berusia jutaan tahun? Semuanya berawal dari pencarian terhadap ayah Meg. Sudah dua tahun ayah Meg menghilang tanpa kabar. Di kalangan tetangga, beredar kabar tak sedap tentang alasan perginya ayah Meg. Tetapi, ibunya terus meyakinkan Meg bahwa ayahnya sedang dalam proyek ilmiah dengan orang pemerintah. Wanita itu yakin kalau suatu saat suaminya pasti akan kembali. Kedua suami-istri Murry memang pasangan ilmuwan yang mengabdikan diri sepenuhnya pada pengetahuan.

Pencarian terhadap ayah Meg. Inilah garis besar yang menjadi  awal sekaligus alur kronologis dalam novel ini. Ketiga anak itu kemudian dipertemukan dengan 3 nenek nyentik bernama unik tadi. Ketiganya berjanji akan membantu Meg untuk menemukan ayahnya. Untuk menolong sang Ayah,  mereka harus menuju ke sebuah planet Camazotz yang diliputi oleh materi gelap. Jarak sekian juta tahun cahaya ditempuh dalam beberapa kedipan mata karena Mrs Which mampu melakukan tesser alias menekuk ruang dan waktu sehingga perjalanan jauh pun bisa dilalui dalam sekejap mata. Kemudian, seperti di kisah-kisah fantasi lainnya, pembaca akan disuguhi perjuangan Meg dalam melawan sang musuh besar yang menahan ayahnya.

"Hanya seorang tolol yang tidak bisa merasa takut." (Mrs. Whatsit)  



Cerita di buku ini sebenarnya umum-umum saja, tipikal kisah petualangan anak yang sering kita baca. Yang menarik adalah bagaimana penulis mengajak pembaca untuk memahami konsep teori relativitas waktu secara ringkas. Einstein menyebut waktu—sebagai mana ruang—adalah bentuk materi juga, dengan demikian, ada kemungkinan bisa “dilipat”. Konsep melipat ruang waktu inilah yang kemudian menjadi ide dari perjalanan ruang angkasa menggunakan wormhole. Bayangkan jarak Bumi dan Camatozt sebagai seutas benang sepanjang 10 cm, masing-masing planet berada di ujung benang.  Konsep kuno menyebut jarak terdekat antara dua benda adalah sebuah garis lurus. Einstein merombaknya dengan “menekuk” garus lurus tersebut sehingga kedua ujung bersatu. Cukup gabungkan kedua ujung benang dengan cara melipatnya, dan ...sampai deh.  Hanya saja, bagaimana cara menekuk benang ruang-waktu itulah yang belum diketahui. Tentunya dibutuhkan energi dalam jumlah yang sangat besar. Fusi nuklir menjadi salah satu alternatif jawabannya.

Konsep sosialis juga sedikit disinggung di novel ini. Saat menjelaskan kondisi planet Camatotz yang dikuasai materi gelap, penulis memggambarkan seluruh warganya melakukan hal yang sama, rumahnya sama, pemikirannya sama. Pokoknya, seluruh warga dijauhkan dari yang namanya perbedaan. Mereka yang berbeda ataumencoba berbeda akan dikenakan hukuman. Ini mirip dengan kondisi di negeri  Sosialis yang menjamin agar semua warganya mendapatkan jatah perekonomian yang sama. Hanya saja, penggambaran di sini lebih ekstrem karena si ITU turut mengatur pikiran semua warga planet  Camatotz. Sang ITU bahkan turut menentukan apa yang boeh dan tidak boleh dipikirkan oleh seluruh warga. 

Ada juga konsep tentang dimensi. Saya kebetulan membaca Kerutan dalam Waktu setelah menyelesaikan Partikel-nya Dewi Lestari. Ada satu kesamaan unik di antara dua novel ini: tokoh utamanya sama-sama mencari sang ayah yang menghilang. Selain itu, Dee juga sempat menyingung dimensi kelima, disamping dimensi pertama, kedua, dan ketiga yang kita kenal. Kedua novel ini sama-sama melompati eksistensi dimensi keempat. Hanya saja, saya lebih mudah mencerna penjelasan tentang dimensi kelima lewat novel ini. Kira-kira, penjelasannya seperti “benang ruang waktu” yang telah disinggung di atas. Tesser atau perjalanan melipat ruang waktu di novel ini sedikit mirip dengan perjalanan lewat lubang cacing. Ada sensasi tubuh seperti disusutkan dan dimampatkan sehingga bisa lewat lubang yang sangat kecil. Mirip-mirip seperti sensasi saat para penyihir Hogwart ber-dissapparate.

Walau muatannya rada berat, Kerutan dalam Waktu tidak hanya untuk Dilan. Buku ini sendiri malah ditujukan untuk pembaca muda. Siapa tahu, para ilmuwan di era sekarang dulunya juga pernah terinpirasi juga oleh novel ini. Sebuah bacaan yang kemudian menyuburkan ketertarikan mereka akan  konsep serta teori ruang dan waktu.  Satu lagi yang menarik dari novel ini adalah kutipan-kutipan yang diucapkan Mrs. Who sebagai caranya berkomunikasi. Biasanya saya malas baca kutipan orang terkenal. Tapi khusus Mrs. Who, ada daya tarik tersendiri saat beliau mengungkapan kutipan-kutipan hebat tersebut dalam bahasa asing.

Ab honesto virum bonum nihil deterret. Tidak ada yang mampu menghalangi seseorang yang baik untuk melakukan sesuatu yang terhormat.” – Seneca

Qui plus sait, plus se tait. Jika seseorang tahu lebih banyak, dia akan lebih sedikit berbicara.” – peribahasa Prancis





No comments:

Post a Comment