Wednesday, September 20, 2017

Para Priyayi: Bagaimana Menjadi Priyayi Sejati

Judul: Para Priyayi
Pengarang: Umar Kayam
Tebal: 308 hlm
Cetakan: Keenam, Januari 2000
Penerbit: Grafiti


984819


Rampung sudah saya menutup cerita keluarga besar Soedarsono ini dengan puas hati. Pria yang awalnya hanya buruh tani ini berjuang menaiki kelas sosial, hingga akhirnya dia menjadi guru dan sah pula dia mendapatkan gelarnya sebagai seorang priyayi. Capaiannya ini tidak bisa dilepaskan dari bantuan serta dorongan Asisten Wedana Ndoro Seten, yang kemudian menasihatinya untuk mengubah namanya menjadi Sastrodarsono.  Dalam buku ini, kita akan diajak mengikuti warna-warni perjalanan hidup keturunan Sastrodarsono, mulai dari eyang Kakung hingga ke cicit-cicitnya. Membosankan? Mungkin, jika yang menulis bukan Umar Kayam. Walau harus dibaca tertatih-tatih dengan dua jeda yang terlalu panjang, saya akhirnya selesai membacanya dan jatuh cinta dengan karya legendaris ini. 

Para Priyayi terasa sangat Jawa sekali. Ini luar biasa mengingat konon Umar Kayam menyelesaikan menulis novel ini saat sedang berada di Amerika Serikat.  Penulis keren sih gitu, nulis ya nulis saja tanpa harus rewel kudu ada di Jawa dulu biar bisa nulis tentang Jawa. Kembali ke Para Priyayi, di buku ini sebutan priyayi ternyata tidak hanya terbatas pada keturunan bangsawan saja. Sama sekali tidak ada darah biru dalam trah keluarga Sastrodarsono. Istilah priyayi kemudian digunakan secara luas untuk menyebut para pamong praja atau yang kita kenal kini dengan istilah pejabat. Sudarsono yang benar-benar ingin mengangkat status sosial keluarganya kemudian membesarkan ketiga anaknya agar kelak bisa menjadi ‘orang’. Dan memang, semua anaknya tumbuh dalam didikan yang baik sebagai anak-anak priyayi untuk kemudian menjadi priyayi juga. 

Mengikuti pertumbuhan ketiga anak Sudarsono ini mungkin terasa membosankan karena perjalanan hidup mereka yang lurus-lurus saja. Tetapi, Umar Kayam menyelinginya dengan beragam kisah khas daerah pedalaman Jawa yang membikin kita larut dalam ceritanya. Sampai-sampai, saya tak sadar kalau yang saya baca ini adalah kisah tiga generasi sebuah keluarga yang semestinya membosankan tetapi nyatanya tidak. Teknik penceritaan yang digunakan penulis seperti mengalun lembut, pelan serta anggun sebagaimana tingkah laku seorang Jawa yang terhormat. Lambat tapi kisahnya menyita minat.  Bagian paling menarik adalah cara penulis mengaitkannya dengan situasi saat ketiga generasi ini tumbuh. Pada generasi pertama, tampak sekali suasana khas Hindia Belanda yang tengah marak dengan beragam organisasi Bumi Putra. Generasi kedua berkembang pada masa penjajahan Jepang serta revolusi kemerdekaan. Banyak perang di sini. Sementara generasi ketiga juga tidak kalah seru karena menjadi saksi peristiwa September 1965.

Buku ini juga tidak terasa membosankan karena dikisahkan dengan sudut pandang orang pertama bergantian. Pembaca jadi mampu membayangkan, merasakan, dan memandang banyak hal. Beragam persoalan memang menimpa keluarga ini, terutama generasi ketiganya. Tetapi, secara umum, seluruh permasalahan tersebut relatif dapat diselesaikan. Jika dipandang sebagai sebuah karya sastra, Para Priyayi cenderung memiliki ritme yang kalem. Banyak konflik besar yang mungkin sekali timbul, tetapi karena semua masalah itu dipandang dari sudut pandang orang-orang Jawa yang cenderung tenang dan mengikuti arus, konflik-konfliknya jadi semacam datar saja. Sebagai priyayi, keluarga Sastrodarsono mungkin telah belajar ojo kagetan, ojo gumuman, dan ojo dumeh sebagaimana orang-orang Jawa yang baik. 

Pada akhirnya, siapakah yang disebut dengan para priyayi itu? Karena istilah ini tidak saja mencakup makna pejabat dan pamong praja, tetapi juga orang-orang dengan sikap hidup yang terhormat. Agak unik kiranya karena di bagian penghujung novel ini, penulis malah menyorot ke sosok Lantip yang aslinya hanyalah anak angkat di keluarga besar Sastrodarsono. Meskipun memiliki orang tua dengan sejarah kehidupan yang kurang baik, Lantip dapat tumbuh menjadi sosok pemuda yang lurus dan taat. Sosoknya melambangkan satu lagi sifat khas orang Jawa, yakni tahu menempatkan diri. Lantip sadar bahwa dirinya hanya anak angkat alias bukan keturunan priyayi, tetapi ia berjuang untuk setidaknya layak berada dalam lingkup keluarga priyayi. Mungkin, malah sosok inilah yang benar-benar layak menyandang gelar priyayi dari generasi ketiga keluarga Sastrodarsono. Dia membuktikan pendapat penulis bahwa seorang priyayi tidak saja dipandang dari keturunannya, tetapi juga dari tindak tanduknya.

No comments:

Post a Comment