Sunday, June 16, 2024

Solilokui: Kumpulan Esei Sastra

Judul: Solilokui: Kumpulan Esei Sastra
Penulis: Budi Darma
Tebal: 100 halaman Paperback
Terbit: Mei 1984 
Penerbit: Gramedia


Solilokui, sebagaimana judulnya, lebih mirip kumpulan ungkapan hati dan pikiran Budi Darma seorang diri. Pandangan kritisnya akan beragam fenomena yang menjamur di dunia kesusastreaan Indonesia antara tahun 1960an sampai 1980an. Kumpulan tulisan ini sendiri adalah hasil dari beberapa esai dan tulisan beliau pada kurun masa itu, sehingga bisa dimaklumi kalau temanya beragam, agak melompat-lompat, tumpang tindih, dan dalam beberapa bagian terasa berbeda. Namun, semua tulisannya masih dalam ranah sastra sehingga masih saling terkait. Terasa juga perjalanan kekritisan beliau, dari yang keras di peruiode mula dan lebih merangkul di era 80-an.

Ada banyak hal menarik yang jadi sorotan beliau, dan uniknya lagi hal-hal itu masih berlaku dan jamak dijumpai saat ini. Salah satunya topik tentang bagaimana seorang pengarang menulis? Tidak tahu, seperti mengalir begitu saja. Jawaban BD ini mirip dengan sastrawan seangkatan. Rata-rata menatakan mereka hanya harus menulis ketika dorongan untuk menulis itu muncul. Bukan pengarang yang menerakkan kata-kata, tapi kata-kata itu yang menggerakkan pengarang utnuk menulis. Dan BD menyebut ini beban, kutukan sebagai seorang pengarang.

“Seorang seniman yang baik mempunyai sikap hidup intelektual, yaitu selalu mencari, selalu mengkaji, dan hidup dengan baik. Sikap hidtip yang demikian inilah yang menunjang kreativitas.” (hlm  20)

Ia bahkan menganalogikan peran tanggung jawab seorang pengarang versus tukang becak. Yang pertama terbebani memikirkan kenyataan dan memberikan refleksi, sementara yang kedua hanyalah beban yang sifatnya duniawi semata. Saya jadi teringat judul skripsi yang diambil oleh salah satu rekan KKN saya di jurusan Sastra Indonesia bertahun silam. Ini memilih tema “menguak proses kreatif di balik penulisan novel sastra berawalan D”. Saat mewawancarai pengarang, teman saya kesulitan karena pengarang hanya menyebut: “Tidak tahu, pokoknya saya menulis yang menulis saja, tau-tau jadi cerita seperti itu.” Persis seperti yang digambarkan Budi Darma. Entah dengan teori analisis apa teman saya akhirnya membedah objek skripsinya itu.

“Yang lebih penting dari segi teknis sebetulnya adalah segi lain, yaitu keinginan untuk belajar.”

Lebih jauh, ia juga menyoroti peran pengarang yang belum atau tidak terlalu dihargai di negeri ini. Bukan hanya pengarang sih, penulis juga secara umum. Dan lebih dari 30 tahun sejak Budi Darma menulis esainya ini, kondisinya juga belum sepenuhnya membaik. Banyak pengarang dan penulis yang tidak mendapatkan haknya secara profesional. Ini tidak lepas dari penghargaan masyarakat kita yang dipandang masih sangat rendah kepada profesi penulis apalagi sastrawan. Salah satunya, kekeliruan dalam memahami pekerjaan seorang sastrawan.

“Sebab-sebab kelemahan para pengarang cerpen tentu dapat dicari jawabnya, baik dari segi sosial, politik, dan ekonomi, maupun dari segi kebudayaan dalam arti luas, kesenian, estetika, dan lain-lain. Pada hakikatnya, setiap jawaban yang relevan tentu ada unsurbenamya. Tidak bersahabatnya masyarakat terhadap pengarang,terpasungnya pengarang oleh keadaan politik, sulitnya mencari penerbit yang jujur dan tidak semata-mata memperlakukan pengarang sebagai obyek untuk ditipu, kurang kokohnya akar kebudayaan Indonesia, dan sekian banyak alasan lain.”

Menurut penulis buku ini, masyarakat Indonesia (waktu itu) memperlakukan aktivitas menulis sama dengan aktivitas fisik lain, seperti membatik (sehingga bisa dilakukan sembarang orang dalam luangnya). Mereka juga menyangka menulis dapat diselingi oleh aktivitas ini dan itu, ibarat kegiatan menjahit atau memasak. Bukan berarti memasak, membatik, dan menjahit itu lebih rendah posisinya ketimbang menulis, sama sekali bukan. Kedua bidang itu hanya berbeda, sehingga yang satu tidak bisa disamaratakan dengan yang lainnya. “Dalam masyarakat yang tidak intelektual, kerja intelektual dianggap sarna dengan kerja pertukangan,” begitu kesimpulan Budi Darma.

“Kerja abstrak Jebih banyak mempermasalahkan tesis, sedangkap kerja ilmiah lebih banyak merupakan usaha untuk membuktikan bahwa suatu tesis itu benar.”

Dalam esai kedua, BD menyitir fenomena plagiasi secara halus dalam dunia sastra. Pengarang yang baik, menurutnya, adalah pengarang yang bisa menciptakan suatu tradisi. Tapi dalam kenyataannya, banyak dijumpainya para pengarang-pengarang besar pengcipta tradisi yang ternyata hanya menyadur apa-apa yang sudah ditulis oleh sastrawan lain. Ia juga agak menggkritik kualitas karya (di era tahun 1970 - 1980an) yang menurutnya kurang mendalam, hanya sepintas lalu. Sastrawan hanya menulis ketika dorongan itu muncul, tetapi kurang mau bekerja keras untuk konsisten tekun dan rutin menulis setiap hari. Hasilnya adalah pengarang yang muncul satu kali lalu redup, atau karya yang hanya menyala sejenak sebelum tak terdengar kabarnya.  Bagi beliau, beginilah sikap seorang pengarang yang seharusnya:

“Dan, sekali lagi,untuk mempunyai pendapat yang orisinal, seseorang harus kreatif.” (hlm. 32)

Tentang kreativitas, yang menurutnya bukan semata bakat. Bakat menulis memang penting, tetapi kreativitas harus tetap ditumbuhkan dan disuburkan dengan upaya-upaya. Salah satu yang menjadi keprihatinan beliau (saat itu) adalah kurangnya satsrawan Indonesia belajar atau membaca kesusastraan asing. Ini mengakibatkan sastrawan atau pengarang hanya menulis tentang dirinya sendiri, dan bukan dunia dan kehidupan tempat dirinya hidup. Budi Darma membandingkan karya-karya Taufik Ismail, Idrus, dan pengarang senior Indoensia dengan sastrawan-sastrawan dunia (Amerika Serikat kebanyakan). Jelas di sini posisi beliau yang memang sangat berkiblat pada kesusastraan Amerika Serikat).

“Yang ditulis oleh kebanyakan pengarang Indonesia adalah barang mentah mengenai dirinya sendiri. Maka dengan membaca sastra Indonesia orang dapat mengetahui dengan mudah masalah sosial beberapa pengarang Indonesia. Inilah yang mengecewakan:”

Hal menarik lain adalah peniruan yang salah kaprah. Mungkin ini sudah jarang dijumpai saat ini, tapi era tahun 1980-an dan 1990-an adalah saksi ketika sastrawan sangat diserupakan dengan seniman. Ia harus berambut gondrong, keluyuran di Malioboro untuk bergadang mencari ilham, bahkan dengan penampilan kumal tak terurus. Inilah yang kemudian ditangkap awam, bahwa kreativitas dan ilham itu didapat dengan laku-laku tertentu yang nyentrik dannyeleneh. Budi Darma memperingatkan bahwa yang seharusnya ditiru itu adalah otak penulis, bukan kebiasaan hidupnya.

“Tentu saja orang-orang awam yang mula-mula menganggap sastra adalah biasa, sekarang mendapat kesan bahwa yang dinamakan sastra tak lain dan tak bukan adalah semacam kerja kesurupan.”

Terakhir, yang sepertinya juga layak disimak, adalah tentang menyelesaikan tulisan. Budi Darma menyebutkan temannya yang seorang pengarang tapi tidak pernah menerbitkan tulisan-tulisannya. Ia terbelenggu oleh rasa ragu bahwa tulisannya memang bagus. Ia terus menyibukkan diri dengan menulis kembali naskah-naskahnya. Dia terus mengubah-ubah satu naskahnya sampai beberapa kali, kalauperlu sampai puluhan kali. Hingga akhirnya, tidak satu pun naskahnya yang selesai dan diterbitkan. Budi Darma menyitir Prufrock dalam hal ini: selalu bernafsu untuk bertindak, akan tetapi selalu ragu-ragu apakah tindakannya akan benar. Akhimya dia tidak bertindak apa-apa.

Bagi Budi Darma, bakat dan ilham itu penting. Tetapi penulis yang betul-betul penulis sebetulnya tidak bisa menulis tanpa persiapan apa-apa. Mereka kaya pengalaman batin, kepekaan, imajinasi, kemampuan berbahasa, kemampuan bereerita, dan lain-lain kemampuan. Dan ini, tentunya hanya bisa didapatkan dengan usaha untuk terus belajar, membaca banyak, dan tekun menulis.


NB: Minggu lalu, saat tengah berkunjung ke gudang Gramedia Tajem, saya menemukan lima eksemplar buku Solilokui ini hanya seharga Rp30.000 (harga asli sekitar Rp80.000). Saya melipir ke meja komik untuk mencari beberapa komik murah, sampailupa kalau buku inceran di pameran seharusnya diamankan dulu. Tidak sampai lima menit, saya kembali ke meja itu dan mendapati kalau buku Solilokui sudah habis diambil (diborong mungkin oleh salah satu jastip atau penjual buku online). Malu saya karena telah mengabaikan bunyi #HukumKekekalanTimbunan: beli dulu baca kapan-kapan sehingga tidak gerak cepat mengamankan Solilokui sekadar satu eksemplar. Tapi, alhamdulillah, ternyata masih ada kesempatan untuk bisa membaca buku ini gratis di IPUSNAS. Memang, kadang membaca itu bukan perkara punya atau belum punya bukunya, tapi menyempatkan waktu dan tenaga untuk membacanya. 

1 comment:

  1. Hahaha pengalaman kehabisan buku ini seperti pengalaman ketinggalan diskon gede, empet banget rasanya. Dan betul juga, sekarang menemukan baca gratis sudah lebih mudah.

    Saya salut dengan pembaca buku berisi esai. Apalagi oin-poinnya bisa dirangkum dengan baik. Saya masih kesulitan memilah poin penting dari bacaan. Suka teralihkan dengan detail-detail yang bikin takjub akibat ketidaktahuan.

    ReplyDelete