Penulis: Jufan Rizki
Tebal: 536 hlm
Cetakan: Mei 2018
Penerbit: Uwais Inspirasi Indonesia
Hanya orang-orang bodoh yang mau mengulang peperangan." hlm.77
Jangan menilai novel dari judulnya. Saat membaca judulnya yang macam 'sudah umum di naskah buku fantasi' ini, saya mengira buku tebal ini akan muter muter di naga, ksatria, dan world building dengan nama nama sulit. Ya pasaran begitu lah. Tapi saya keliru. Dragana lebih mendekati sebuah karya fiksi ilmiah (science fiction) dengan setting di masa depan pasca kehancuran. Jadi, Dragana adalah sebuah scifi-distopia karya lokal (dan penggemar fantasi lokal kudu punya buku ini, nggak rugi asli).
Seperti pembaca lain (dan sudah saya sampaikan ke penulisnya langsung), kurangnya Dragana menurut pendapat saya adalah bertele-telenya bab bab awal sehingga pembaca sulit untuk langsung masuk ke cerita. Memang bagian awal ini digunakan untuk pengenalan karakter yang berjibun banyaknya, juga world building pascakehancuran yang sesungguhnya sangat menarik diikuti. Saya butuh waktu tiga hari untuk membaca bab 1 hingga 5, padahal seluruh novel ini Alhamdulillah berhasil saya baca dalam waktu 6 hari. Pembukanya tipe memancing keingintahuan pembaca dengan penangkapan dua sosok penting, tapi bab 1 hingga 5 kok malah jelasin macam macam. Untung saya tidak menyerah di awal.
Begitu masuk bab 6, petualangan mulai seru. Cerita mulai dapat. Pembaca mulai bisa mereka-reka ini ceritanya tentang apa dan mau dibawa kemana. Ternyata, bab bab pengantar di awal memang dibutuhkan untuk menerangkan banyak hal sepanjang berlangsungnya cerita. Tentang kehancuran Bumi akibat perang perebutan minyak dan gas alam sebagai sumber energi utama. Kehancuran total ini uniknya malah diikuti dengan berkah. Jika di kisah kisah distopia lain kita disuguhi Bumi yang rusak pasca perang besar, di Dragana ini Bumi malah makin makmur. Tanaman tumbuh subur di bekas area ledakan, udara bersih, langit biru cerah, dan peradaban pun dibangun kembali. Untuk memperingati keajaiban agung ini, Bumi berganti nama menjadi Zenna. Jadi setting Dragana memang masih di Bumi di masa depan. Negara negara yang terbentuk pun mewakili wilayah yang kini masih ada di bumi. Dua adidaya yang menjadi panggung utama adalah Irion (mewakili negara Eropa dan Amerika) dan Hanshin (kemungkinan Jepang). Negara Indonesia sempat disebut juga sebagai surga kepulauan. Namanya jadi Andonessi.
Tentang karakter, awalnya saya agak senewen lihat nama nama pasaran fantasi di buku ini: Arthur Alfrega, Isvar, Irion, Verdian, Orgosh, Rey, dan Thomas. Tapi setelah lihat background pembagian sejarah politis di Zenna, setidaknya ada alasan yang dimaklumi kenapa penulis menggunakan nama nama pasaran ini. Kesegaran sejati muncul dari Hanshin dengan nama nama berbau Jepangnya yang jarang saya temukan di novel fantasi. Seneng akhirnya nemu nama nama eksotis macam Viktor Yamamoto.
Konflik utama dalam Dragana adalah persaingan antara negara Irion dan Hanshin dalam perebutan pengaruh sekaligus sumber energi baru. Eh iya, pascakehancuran Akbar, muncul sumber energi baru yang lebih ramah lingkungan, menyuburkan tanah, bahkan bisa menyatu dengan udara Zenna. Sumber energi misterius ini bahkan bisa bereaksi dengan senjata logam dan mampu dimanipulasi untuk mengendalikan elemen alam. Saya kurang ingat penjelasan detail tentang sumber energi ininkecuali bahwa selama ini energi itu tersembunyi di balik melimpahnya minyak bumi dan gas alam. Ia muncul ketika dua sumber energi di atasnya habis. Dari sini, novel ini tidak lagi sekadar sebuah fiksi distopia, tapi juga fiksi politis. Dan kejutannya tidak berhenti di sini.
Keunggulan lain Dragana selain world building yang detail dan konsisten, adalah karakter yang awalnya terlihat hitam putih tapi setelah dieksplorasi ternyata rumit. Interaksi antarkarakter juga cenderung army alias laki banget, karena itu Dragana kurnag cocok untuk pembaca yang ingin kisah fantasi ala pangeran menolong putri. Percakapan lebih didominasi tema politik, pertempuran, persaingan antar pasukan, hingga pertarungan ksatria yang memegang teguh sumpahnya. Ada sedikit kisah cinta, tapi tokoh ceweknya malah kerasa ngeganggu, semacam tempelan biar ada roman romannya. Kayaknya penulis kurang mulus eksplor bagian romantis romantisnya. Kita lihat di buku selanjutnya. Tapi buat pembaca yang ingin kisah dengan pertempuran fisik yang fullkontak, juga perang jarak dekat, Dragana cocok buat kita.
Membunuh tidak pernah menjadi jawaban dalam persoalan apa pun dan justru hanya akan menambah buruk suatu masalah hlm.417
Secara umum, ini novel fantasi scifi produk dalam negeri yang sangat direkomendasikan. Penulisan sudah cukup mengalir dan mampu membuat pembaca terlana dalam ceritanya meskipun ini adalah kisah yang panjang. Ada twist yang berhasil saya tebak tapi saya wajib kasih tepuk tangan buat penulisnya karena niat banget pasti bikin outline cerita besarnya. Juga keseriusan mengarap kisah panjang setebal 450 halaman ini. Pasti dibutuhkan ketekunan dan kecintaan yang benar-benar untuk tetap bertahan menulis kisah panjang yang konon masih ada dua buku lagi. Semangat dan selamat untuk penulisnya.
Jangan menilai novel dari judulnya. Saat membaca judulnya yang macam 'sudah umum di naskah buku fantasi' ini, saya mengira buku tebal ini akan muter muter di naga, ksatria, dan world building dengan nama nama sulit. Ya pasaran begitu lah. Tapi saya keliru. Dragana lebih mendekati sebuah karya fiksi ilmiah (science fiction) dengan setting di masa depan pasca kehancuran. Jadi, Dragana adalah sebuah scifi-distopia karya lokal (dan penggemar fantasi lokal kudu punya buku ini, nggak rugi asli).
Seperti pembaca lain (dan sudah saya sampaikan ke penulisnya langsung), kurangnya Dragana menurut pendapat saya adalah bertele-telenya bab bab awal sehingga pembaca sulit untuk langsung masuk ke cerita. Memang bagian awal ini digunakan untuk pengenalan karakter yang berjibun banyaknya, juga world building pascakehancuran yang sesungguhnya sangat menarik diikuti. Saya butuh waktu tiga hari untuk membaca bab 1 hingga 5, padahal seluruh novel ini Alhamdulillah berhasil saya baca dalam waktu 6 hari. Pembukanya tipe memancing keingintahuan pembaca dengan penangkapan dua sosok penting, tapi bab 1 hingga 5 kok malah jelasin macam macam. Untung saya tidak menyerah di awal.
Begitu masuk bab 6, petualangan mulai seru. Cerita mulai dapat. Pembaca mulai bisa mereka-reka ini ceritanya tentang apa dan mau dibawa kemana. Ternyata, bab bab pengantar di awal memang dibutuhkan untuk menerangkan banyak hal sepanjang berlangsungnya cerita. Tentang kehancuran Bumi akibat perang perebutan minyak dan gas alam sebagai sumber energi utama. Kehancuran total ini uniknya malah diikuti dengan berkah. Jika di kisah kisah distopia lain kita disuguhi Bumi yang rusak pasca perang besar, di Dragana ini Bumi malah makin makmur. Tanaman tumbuh subur di bekas area ledakan, udara bersih, langit biru cerah, dan peradaban pun dibangun kembali. Untuk memperingati keajaiban agung ini, Bumi berganti nama menjadi Zenna. Jadi setting Dragana memang masih di Bumi di masa depan. Negara negara yang terbentuk pun mewakili wilayah yang kini masih ada di bumi. Dua adidaya yang menjadi panggung utama adalah Irion (mewakili negara Eropa dan Amerika) dan Hanshin (kemungkinan Jepang). Negara Indonesia sempat disebut juga sebagai surga kepulauan. Namanya jadi Andonessi.
Tentang karakter, awalnya saya agak senewen lihat nama nama pasaran fantasi di buku ini: Arthur Alfrega, Isvar, Irion, Verdian, Orgosh, Rey, dan Thomas. Tapi setelah lihat background pembagian sejarah politis di Zenna, setidaknya ada alasan yang dimaklumi kenapa penulis menggunakan nama nama pasaran ini. Kesegaran sejati muncul dari Hanshin dengan nama nama berbau Jepangnya yang jarang saya temukan di novel fantasi. Seneng akhirnya nemu nama nama eksotis macam Viktor Yamamoto.
Konflik utama dalam Dragana adalah persaingan antara negara Irion dan Hanshin dalam perebutan pengaruh sekaligus sumber energi baru. Eh iya, pascakehancuran Akbar, muncul sumber energi baru yang lebih ramah lingkungan, menyuburkan tanah, bahkan bisa menyatu dengan udara Zenna. Sumber energi misterius ini bahkan bisa bereaksi dengan senjata logam dan mampu dimanipulasi untuk mengendalikan elemen alam. Saya kurang ingat penjelasan detail tentang sumber energi ininkecuali bahwa selama ini energi itu tersembunyi di balik melimpahnya minyak bumi dan gas alam. Ia muncul ketika dua sumber energi di atasnya habis. Dari sini, novel ini tidak lagi sekadar sebuah fiksi distopia, tapi juga fiksi politis. Dan kejutannya tidak berhenti di sini.
Keunggulan lain Dragana selain world building yang detail dan konsisten, adalah karakter yang awalnya terlihat hitam putih tapi setelah dieksplorasi ternyata rumit. Interaksi antarkarakter juga cenderung army alias laki banget, karena itu Dragana kurnag cocok untuk pembaca yang ingin kisah fantasi ala pangeran menolong putri. Percakapan lebih didominasi tema politik, pertempuran, persaingan antar pasukan, hingga pertarungan ksatria yang memegang teguh sumpahnya. Ada sedikit kisah cinta, tapi tokoh ceweknya malah kerasa ngeganggu, semacam tempelan biar ada roman romannya. Kayaknya penulis kurang mulus eksplor bagian romantis romantisnya. Kita lihat di buku selanjutnya. Tapi buat pembaca yang ingin kisah dengan pertempuran fisik yang fullkontak, juga perang jarak dekat, Dragana cocok buat kita.
Membunuh tidak pernah menjadi jawaban dalam persoalan apa pun dan justru hanya akan menambah buruk suatu masalah hlm.417
Secara umum, ini novel fantasi scifi produk dalam negeri yang sangat direkomendasikan. Penulisan sudah cukup mengalir dan mampu membuat pembaca terlana dalam ceritanya meskipun ini adalah kisah yang panjang. Ada twist yang berhasil saya tebak tapi saya wajib kasih tepuk tangan buat penulisnya karena niat banget pasti bikin outline cerita besarnya. Juga keseriusan mengarap kisah panjang setebal 450 halaman ini. Pasti dibutuhkan ketekunan dan kecintaan yang benar-benar untuk tetap bertahan menulis kisah panjang yang konon masih ada dua buku lagi. Semangat dan selamat untuk penulisnya.
No comments:
Post a Comment