Monday, October 28, 2019

Meratapi yang Liyan dalam Rumah Ilalang


Judul : RUMAH ILALANG
Penulis : Stebby Julionatan
Penerbit : Basabasi
Edisi : Pertama, September 2019
Tebal : 135 hal
ISBN : 9786237290230


            Kita mungkin sudah pernah atau mungkin sering melihat waria (bahasa Internasionalnya transgender, tetapi orang biasa menyebut mereka dengan bencong¸ banci, atau wadam). Pertanyaannya, pernahkah kita melihat, atau mungkin iseng bertanya bagaimana seorang waria dimakamkan ketika dia meninggal? Maksudnya, apakah dia dikebumikan sebagai laki-laki atau seorang perempuan (jika kebetulan dia beragama Islam). Dalam kasus kebanyakan, seorang waria tetap dianggap sebagai pria sehingga kemungkinan dia akan dikebumikan selayaknya seorang pria. Soal apakah yang dilakukannya semasa hidup, biar lah itu menjadi urusannya dengan Tuhannya.  

Agama itu baik. Tetapi kadang pemainnya tidak. (hlm. 46)


Permasalahannya agak rumit untuk Tabita.Waria bernama asli Alang ini lahir dan besar sebagai penganut agama Islam. Tapi di akhir kehidupannya, dia aktif datang ke gereja dan rutin mengikuti misa Minggu. Pihak Gereja tidak bisa memberikan pelayanan kematian karena Tabita tidak terdaftar sebagai warga jemaat. Sementara, warga lokal tidak berani memakamkannya secara Islam karena takut ada apa-apa. Bahkan dalam kematian, manusia masih sibuk bersengketa. Kisah cinta Tabita mungkin urusan pribadinya, tetapi ritual kematian tetaplah urusan sosial. Ada banyak yang dilibatkan. Tentang segala kepelikan inilah Rumah Ilalang berkisah.

Agama seperti pilihan baju yang mereka kenakan, bukan menunjukkan kebaikan hati seseorang. (hlm. 96)

            Buku ini termasuk berani sekaligus membebaskan untuk ukuran novelet. Ini adalah sedikit novel LGBT yang menyibak secara blak-blakan kehidupan liyan yang selama ini ada dalam masyarakat kita tetapi tertutupi oleh segala yang standar. Konflik yang diangkat juga rumit dan pelik sekali, terlalu pelik untuk sebuah novelet setipis ini. Namun, lewat yang tipis ini penulis menyajikan cerita yang mampu membuka pandangan kita tentang kaum waria yang selama ini mungkin jarang diekpos. Dengan gaya alur balik (flash back), penulis mengajak kita menelusuri kehidupan Tabitha.

Begitu kompleksnya kehidupan si karakter ini. Selain waria dan tidak jelas agamanya Islam atau Katholik, Tabitha juga jatuh cinta kepada Gosvino—pria muda dari seminari yang sedang menempuh pendidikan menjadi seorang romo. Bayangkan betapa muskyil jalan yang harus ditempuh Tabitha untuk cintanya. Seorang waria yang jatuh cinta kepada pria muda berbeda agama yang sekaligus calon pendeta. Jalan cintanya memang akhirnya ditakdirkan kandas dengan kematian Tabitha yang tewas dalam kecelakaan ketika dia hendak mengantarkan kue tart ulang tahun untuk Vino (yang sama sekali tak mengubrisnya).

Kata orang, pun juga katamu, kejujuran adalah hal terbaik. Tapi mengapa, ketika kau mendengarnya, ketika kau mengetahuinya, kau malah menghilang? (hlm 15)


Nilai plus novel ini selain mengangkat tema liyan yang jarang ada dalam novel-novel Indonesia kebanyakan adalah kepiawaian si penulis dalam menggambarkan kaum liyan tersebut. Gaya menulisnya juga entah bagaimana terasa pas. Meskipun kisah ini bernada murung, kita bisa menangkap humor dalam setiap baris kalimatnya. Humor yang terselubung kemuraman, seolah penulis mengajak kita untuk menertawakan kemurungan kehidupan para waria di Srikadi Utama—sebuah rumah singgah sekaligus lembaga advokasi bagi para waria. Ceplas-ceplos banget cara penulis bercerita, hingga kita kadang bingung bolehkan tertawa di tengah segala pelik masalah Tabitha dan Tania ini.

Ya, bukankah begitu melelahkan untuk berpura-pura dan mengkhianati diri sendiri? (hlm. 55)

Saya suka cara penulis menuliskan judul di setiap babnya. Bagi si A, si B adalah bla bla bla. Dengan sudut pandang subjektif ini, pembaca bisa menyimak berbagai pandangan dan kehidupan para karakter di dalam Rumah Ilalang. Tidak semua orang memiliki pandangan yang sama: ada yang terbuka dan menerima, tetapi yang kaku dan tertutup pun banyak sekali. Dalam salah satu bab, dikisahkan perjuangan Tabitha dan Tania muda saat mereka bergulat dengan identitas seksualnya sejak kecil. Bagaimana mereka tumbuh menjadi mereka yang sekarang, ada kisah pilu yang sesekali disimak oleh pembaca seperti kita. Karena perbedaan pandangan disebabkan oleh perbedaan tumbuh kembang dan latar belakang, perbedaan itu memang niscaya adanya sehingga harusnya tidak perlu terlalu pelik dipersoalkan.

Pengen kasih 4 bintang sebenarnya, tapi entah kenapa editingnya lumayan banyak yang lumayan fatal. Tidak sekadar salah ketik tapi sampai mengubah makna. Misalnya pada halaman 77 ada kalimat: “I will call you letter” (“Aku akan memanggilmu surat”) padahal mungkin maksudnya “I will call you later” (“Aku akan menghubungimu nanti”).  Fatal lagi ada penyebutan nama yang tertukar, perujukan subjek dan predikat yang beberapa kali terbalik, serta kalimat miring yang salah posisi. Bagian ini yang lumayan cukup mengganggu. Beberapa kali saya harus membaca dari awal paragraf untuk menemukan siapa berkata apa dan ditujukan kepada siapa.

Lepas dari itu, saya suka sekali kisahnya dan bagaimana cara penulis menyampaikan kisah ini. Salut untuk kebenarian Mas Stebby menulis tema liyan ini dengan begitu blak blakan. Bukan hanya tentang kaum transgender, tetapi ada tema agama yang diam-diam turut disusupkan penulis dalam kisah Tabita ini. Rumah Ilalang termasuk salah satu buku yang susah banget dilepas pas lagi dibaca. Pengennya baca terus sampai selesai dan pas selesai malah sambat karena bukunya kurang tebal. Terima kasih atas ceritanya mas Stebby.

Ya, ia mencintai agamanya, tapi dirasanya, ia lebih mencintai Tuhannya. Baginya agama adalah jalan, dan Tuhan adalah tujuan. Tak seharusnya satu meniadakan yang lainnya. (131)

1 comment:

  1. ada game seru loh di sini.. hanya di AJO Q Q, COM.. yuk mainkan dan dapatkan bonusnya,,, WA : +855969190856
    website : AJOPK.ORG

    ReplyDelete