Tuesday, August 27, 2019

Merasakan Kita yang Biasa dalam Mencari Simetri

Judul buku: Mencari Simetri
Penulis: Annisa Ihsani
Penyunting: Mery Riansyah
Desain sampul: Sukutangan
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN: 9786020629360
Cetakan pertama, 19 Agustus 2019
Tebal: 240 halaman
Buntelan dari @dprihas




Semua orang memiliki Armin mereka sendiri.

April, seorang cewek modern menjelang kepala tiga namun belum juga mendapatkan seorang pria sebagai tambatan hatinya. Sebenarnya,  sudah ada yang mengisi hatinya selama enam tahun ini. Namanya Armin, dan cowok itu sama sekali tidak menunjukkan inisiatif atau apa pun untuk mengubah status keduanya dari temen menjadi demen. Kalau kata anak zaman sekarnag, friend zone is real.

“Kenapa kau harus repot-repot mencari yang terbaik kalau bisa menemukan yang cukup baik?” (hlm. 8)

 Armin dan April ibarat teman tapi ya teman saja, entah kapan jadiannya. Di satu sisi, April sudah jatuh hati sejak pertama melihat Armin. Jantungnya serasa ingin melompat setiap kali cowok itu menyapanya. Segala pikiran logis menguap ketika Armin menunjukkan senyum mataharinya. Sementara si Armin, dia ini tipikal cowok  yang dekat sama satu cewek, bikin nyaman cewek, tapi tidak mempan dikode dan sama sekali tidak menunjukkan iktikad untuk meningkatkan status hubungannya.

April adalah tipikal kita banget. Cewek kebanyakan yang jatuh cinta sama cowok idamannya. Sama seperti kebanyakan kita, April mengalami satu hukum kebenaran semesta yang bunyinya: Fall in love with someone we can’t have. Sudah hukum alam, kebanyakan kita memang tidak selalu bisa berakhir bahagia dengan orang yang kita inginkan.  Kondisi ini masih ditambah dengan prinsip April bahwa cewek adalah pihak yang menunggu.

April tidak lelah berharap bahwa suatu hari Armin akhirnya akan mengungkapkan perasaan suka kepadanya. Harapan yang sayangnya tidak kunjung kesampaian. Apalagi, ada risiko pernyataan cinta bisa memutus hubungan persahabatan keduanya. April memilih menunggu, sama seperti kebanyakan kita. Jadilah sepanjang cerita di novel ini isinya adalah penantian dan pengharapan yang tak kunjung menemukan jawabannya.

Di sisi lain, Armin juga adalah kita yang kebanyakan. Wahai cowok-cowok, mengaku saja. Banyak dari kita yang pernah atau mungkin masih berperilaku seperti Armin ini. Bukannya takut berkomitmen, tetapi kadang menjadi singel sedemikian menariknya sehingga kita cenderung menjauh dari berkomitmen.

Saya yakin bahwa banyak kita yang juga seperti Armin.  Kita sebenarnya tidak ingin menyakiti hati cewek, dan dengan demikian memilih menjaga jarak tapi tetap dalam jangkauan radar pertemanan. Sayangnya, kadang kita lupa bahwa cewek itu memiliki pola pikiran dan perasaan yang berbeda dengan cowok. Kita kira sudah berbuat benar dengan sedikit menjauh dan tidak memberikan harapan palsu. Kenyataannya, sedikit perhatian yang kita kira biasa kadang bisa jadi sejuta harapan baru bagi dia yang di sana.

Hubungan lelaki dan perempuan kadang memang serumit itu.

Semua orang memiliki Armin mereka sendiri. Dan, rata-rata orang kebanyakan mungkin juga pernah menjadi seperti Armin ini. Tidak ada yang salah dengan menjadi keduanya. Baik April dan Armin adalah “korban” dari keadaan yang memang harus seperti itu. Kadang hidup membawa kita pada situasi yang memang sudah begitu itu dan tidak bisa hal apa pun yang kita lakukan untuk mengubahnya. Dan, Anisa Ihsani dengan sangat bagus, mampu menggambarkan hal ini dalam sebuah kisah fiksi.

Jika pembaca mengharapkan akhir yang bahagia ala-ala novel metropop, atau cinta yang mengebu-gebu ala kisah roman, buku ini mungkin akan mengecewakan. Saya termasuk yang menantikan ada twist apa gitu menjelang akhir cerita. Ternyata tidak ada. Bahkan sampai penghujung buku, aroma kegalauan itu masih menggantung. Ini adalah sebuah novel biasa tentang kisah kita yang biasa.  Tapi justru ini yang bikin novel ini terasa realitis. Almost all of us can relate, and hopely we can finally deal with it.

Jika dibilang puas atau tidak, jujur saya kurang puas dengan novel ini. Apalagi bila dibandingkan dengan A untuk Amanda dan A Hole in the Head. Tapi, novel Mencari Simetri meninggalkan saya dengan pikiran bahwa entah bagaimana novel ini lebih dekat kepada kita. Bahwa hidup memang kadang harus seperti itu, dan tidak perlu sedih atau kecewa. Kadang, hidup terasa menjadi lebih mudah ketika kita menjalaninya saja tanpa terllau banyak pengharapan harus begini atau begitu. Sejatinya kita tak pernah tahu, mungkin inilah yang memang lebih baik kita menurut skenario Tuhan.  Kita tidak tahu sementara Tuhan Maha Mengetahui. 

Setelah menyelesaikan membaca Mencari Simetri, entah kenapa saya ingin bersorak kepada diri sendiri dan teman-teman semua di luar sana: “Kau tidak bisa memenuhi ekspektasi semua orang.” (hlm. 52) dan itu tidak apa-apa.




No comments:

Post a Comment