Wednesday, October 10, 2018

Hijrah Sakinah, Panduan Menjalani Rumah Tangga Bahagia untuk Istri


Judul: Hijrah Sakinah
Penulis: Hanny Dewanti
Penyunting:Ilona Alie
Penata Letak: Nurhasanah Ridwan
Sampul: Abdul Gafur
Tebal: 240 hlm
Cetakan: 1, September 2018
Penerbit: Serambi




Pernikahan memang gerbang kebahagiaan, tetapi bukan berarti akhir perjuangan. Justru, pernikahan adalah awal dari perjuangan baru bersama orang baru yang telah kita pilih dan percayai untuk berjuang bersama. Seperti bab pertama di buku ini, “Setelah Gebyar Pesta”. Bahwa pernikahan tidak melulu tentang bahagia dan romansa itu kita semua tidak tahu. Tetapi, yang sering dilupakan, bahwa pernikahan adalah sebuah komitmen bersama antara dua orang untuk hidup bersama dengan segala konsekuensinya. Pesta resepsi adalah awal dari rangkaian drama kehidupan, bahagia maupun menderita, yang mau tak mau harus dialami kedua pasangan dalam menjalani biduk rumah tangganya. Menemukan kebiasaan buruk suami, berdamai dengan tetangga yang suka nyinyir, keluarga besar yang suka terlalu ikut campur, hingga suami yang kadang masih terlalu berjiwa muda. Itu hanya segelintir dari berbagai persoalan yang harus dihadapi (oleh istri) dan dipaparkan di buku ini.  

Halaman-halamannya yang pink mengindikasikan buku ini untuk dibaca istri atau calon istri. Jadi, awalnya saya merasa agak gimana gitu pas mau baca. Tetapi, setelah mencoba satu-dua lembar pertama, ide-ide yang dituliskan Mbak Hanny menurut saya oke-oke saja dibaca kaum pria. Justru, dengan membaca buku ini, ibaratnya cowok bisa jadi lebih memahami isi pikiran istri. Yang namanya komunikasi memang nggak selamanya selalu terbuka. Bahkan dalam kehidupan berumah tangga yang komunikasinya kudu terbuka pun sering kedua pasangan menutup diri untuk hal-hal tertentu. Di halaman 30, misalnya, ada curcolan istri yang kadang lebih terbuka ngobrol sama sahabat (bahkan tetangganya) ketimbang suaminya sendiri. Sesuatu hal yang wajar sih karena setiap manusia memang memiliki rahasia-rahasia sendiri yang belum ingin dibagi. Tetapi, untuk hal-hal krusial di rumah tangga seperti pendapatan dan hubungan suami istri, keterbukaan dalam berkomunikasi memang sebaiknya diupayakan.  


Selain halaman merah jambunya yang unyu, saya juga suka sama layout atau penataan isinya. Font hurufnya yang besar ditambah halaman yang cerah bikin mata betah. Saya juga suka dengan cara penulis menuliskan judul-judul babnya yang pendek-pendek tapi menggelitik minta dibaca. Misalnya saja “Istri itu Celengan Suami”, “Rumput Tetangga yang Hijau Segar”, “Istri Cinderella Complex”, “Mereka Anakmu juga, Pak,” “Orang-Orang Bermulut Lincah”.  Antara pengen ngakak tapi bener tapi ya gimana ya, begitulah kehidupan berumah tangga kebanyakan. Hanya saja, buku ini dikhususkan untuk pembaca perempuan. Judul dan kemasannya memang kayak buku-buku “hijrah” yang sedang populer belakangan ini. Untung ada subjudul “Mengatasi 55 Masalah Utama Pernikahan” yang langsung menjuruskan buku ini sebagai bacaan khusus bagi mereka yang sedang atau hendak berumah tangga. 


Buku ini terasa subjektif banget karena ditulis dari sudut pandang pertama penulis sebagai istri tetapi malah menjadikan buku ini terasa orisinal. Penulis dengan lugas memaparkan aneka tips mengatahi bermacam permasalahan rumah tangga sesuai dengan pengamatannya sendiri ditambah pengetahuan yang dimilikinya. Kita sebagai pembaca serasa sedang diajak ngobrol masalah rumah tangga sama penulisnya. Ini yang bikin buku ini “down to earth” karena saran, tips, dan contohnya sering kita jumpai dalam keseharian pasangan yang berumah tangga. Apalagi kalau pembacanya cewek, seorang istri, atau calon istri, dijamin bakal betah banget baca buku ini. Cara penulis membawakan materi-materi kerumahtanggaan begitu luwes sekaligus padat, banyak petuah tetapi tidak terasa menghakimi. Penulis bahkan berulang kali mengakui kekurangannya sebagai istri yang coba ia perbaiki. 

Hal lain, saya suka sama prinsip penulis yang tidak bias gender saat menulis buku ini. Awalnya, ada kekhawatiran bakal muncul ceramah-ceramah yang--maaf--patriakis banget berhubung nuansa religinya yang cukup kental. Ternyata tidak, mbak Hanny dengan lugas menunjukkan ajaran Islam yang sejatinya tidak bias gender. Islam memperlakukan pria dan wanita sama setara, bahwa istri menuruti suami itu memang wajib hukumnya tetapi suami harus bisa membuktikan kalau dirinya layak ditaati. Penulis juga dengan gagah berani menulis hal yang selama ini jadi keprihatinan istri: bahwa mengemong anak bukan hanya tugas istri. Begitu juga, mengerjakan tugas rumah tangga bukan melulu kewajiban istri. Mentang-mentang sudah mencarikan nafkah trus suami tidak mau sekadar membantu istri mencuci piring atau menyapu rumah. Kita kembali diingatkan bahwa hubungan suami-istri adalah setara sifatnya, bukan yang satu lebih tinggi dari lainnya. Good job Mbak Hanny.

Dengan demikian, buku ini tidak heboh dengan teori ini dan pendapat si ahli itu yang kadang malah terasa tak terjangkau. Banyak kutipan-kutipan yang isinya menyentil sekali tetapi bisa disampaikan dengan lembut. Ibaratnya nih, penulis menyentil dirinya sendiri sebelum menyentil pembaca. Semua solusi ditawarkan dengan sentuhan ajaran Islam, tetapi tidak melulu berkhotbah. Ada semacam trial and error yang dilakukan penulis sehingga mampu menghasilkan tulisan yang mengalir tapi bernas serta enak sekali dinikmati. Bahkan bagi mereka yang belum menikah sekalipun, buku ini akan menjadi bacaan penuh gizi. Sementara bagi pasangan yang sudah menikah, buku ini dapat menjadi  bacaan bersama untuk saling mengisi kekurangan demi langgengnya hubungan pernikahan.

1 comment: