Judul: A List of Cages
Pengarang: Robin Roe
Penerjemah:
Tebal: 372 hlm
Cetakan: 1, Januari 2018
Penerbit: Spring
Tema tentang bullying atau perundungan sepertinya masih menjadi tema favorit
para penulis YA dari luar. Maraknya fenomena perundungan di sekolah menjadi
salah satu pendorongnya. Lewat karya-karyanya, para penulis seperti John Green,
Laurie Handel A, dan juga Robin Roe berharap agar anak-anak muda yang menjadi
korban perundungan berani berbicara tentang perundungan yang kita alami.
Memang, tidak mudah bagi korban untuk berbicara tentang perundungan yang
dialaminya. Ancaman dari si perundung, ditambah dengan rasa malu serta tekanan
sebaya peer pressure adalah hal-hal
yang jamak dijumpai pada
kasus-kasus sejenis. Jika dibiarkan, tidak jarang si korban akan berujung pada
depresi yang dapat mengancam kehidupannya. Jikapun tidak, memori akan kejadian
perundungan itu akan terus melekat dalam sudut gelap pikiran yang akan
menghantui si korban.
Sangat
mengejutkan betapa sebagian pelaku perundungan justru adalah keluarga terdekat. Korbannya pun
tidak melulu anak perempuan (yang dalam stereotype masyarakat dipandang sebagai
mahkluk yang lebih lemah). Korban perundungan bisa laki-laki maupun perempuan,
tua atau muda, dan dari ras manapun. Novel A List of Cages ini berupaya menampilkan
kisah perundungan oleh keluarga
terdekat lewat sosok . Ketika keluarga
satu-satunya malah menjadi perundung alih-alih pelindung. Satu hal yang umum
kita temukan dalam diri para pelaku perundungan: mereka tidak bahagia hingga
sampai pada suatu obsesi untuk menjadikan orang lain yang lebih lemah darinya
merasa tidak bahagia. Atau, mereka
merundung orang lain yang dianggap berbeda dengan diri dan kelompoknya.
Keburukan,
ibarat sinar, memantul sehingga memicu keburukan-keburukan yang lain. Tetapi,
untungnya,
hal yang sama juga berlaku pada kebaikan. Kebaikan memantulkan kebaikan
sehingga darinya muncul lebih
banyak kebaikan. Dalam novel ini, kebaikan itu berwujud dalam sosok anak SMA
penderita ADHD bernama Adam. Memiliki semangat hidup yang menyala-nyala, Adam
adalah contoh terbaik penderita ADHD yang dibesarkan secara sepatutnya. Gangguan perilaku Adam
disalurkan dalam bentuk aktif membantu
orang lain. Adam terpilih menjadi semacam relawan pendamping bagi anak-anak
yang mirip sepertinya atau dianggap memiliki kecederungan berbeda seperti dirinya.
Julian
adalah salah satu murid junior yang turut didampingi oleh Adam. Keduanya
sebenarnya pernah bertemu sebelumnya. Julian masih tetap seorang anak yang suka
menulis cerita dan sangat menyukai buku cerita bergambar anak-anak. Tetapi
Julian yang sekarang telah beranjak remaja. Julian juga telah berhasil mengatasi
gangguan membaca yang dialaminya. Tetapi, dia menjadi lebih pendiam dan lebih
menutup diri dibanding terakhir kali keduanya bertemu. Ada sesuatu yang buruk
telah terjadi pada anak itu dan itu bukan karena Julian kehilangan orang tuanya
dalam kecelakaan saat kecil dulu. Anak remaja itu tumbuh berbeda dalam
pengasuhan pamannya yang misterius.
Selain
karakter Adam yang sangat lovable, novel
ini menarik karena dibawakan lewat sudut pandang orang pertama bergantian
antara Julian dan Adam. Penggunaan sudut pandang ini pas karena tema besarnya
juga menyinggung sejumlah gangguan psikologis. Sebagai pembaca yang “normal”,
kita bisa mencoba menyelami apa yang ada dalam pikiran seorang penderita ADHA
atau mencoba ikut merasakan perundungan yang dialami Julian. Temanya yang dark diimbangi oleh sifat Adam yang ceria
dan selalu positif. Dari pemuda ini, kita bisa belajar banyak tentang
persahabatan, penerimaan, dan juga kehidupan. Adam ibarat orang yang sudah “selesai
dengan dirinya sendiri” sehingga dia bisa menerima semua orang, apa pun
keadaannya.
Satu
hal yang menurut saya agak janggal adalah bagian ending novel ini. Ada satu adegan lumayan “filmis” yang rada
dipaksakan, ketika Adam berupaya menyelamatkan Julian. Adegan pemanis seperti
itu kayaknya kurang cocok untuk novel dengan tema dark seperti A List of Cages.
Malah jika dihapuskan, ending-nya
akan terasa jauh lebih realitis. Dalam kehidupan nyata, kita tidak selalu dapat
bisa membalaskan semua rasa sakit hati kepada mereka yang pernah menyakiti
kita. Hidup memang terasa tidak adil. Tetapi, kita sesungguhkan tidak pernah
benar-benar tahu betapa sang Pencipta Kehidupan menjalankan seisi semesta ini
dengan keadilan yang sungguh sempurna. Selalu
ada balasan untuk setiap perbuatan. Kita hanya harus yakin dengan hal itu, lalu
berbahagia.
No comments:
Post a Comment