Judul: Gelombang
Pengarang: Dewi Lestari
Tebal: 492 hlm
Cetakan: Pertama, Oktober 2014
Pengarang: Dewi Lestari
Tebal: 492 hlm
Cetakan: Pertama, Oktober 2014
Penerbit: Bentang Pustaka
Pengalaman membaca seri Supernova bagi saya ternyata menyerupai kurva melandai. Bermula dari keterpukauan di buku pertama, lalu lama setelahnya sampai lebih dari 12 tahun, saya kembali terpukau dengan Akar serta Petir. Maka ketika ada kesempatan, saya pun melanjutkan ke Partikel sebelum kemudian Gelombang. Kedua buku terakhir ini yang menurut saya mulai melandai, dan anehnya kok polanya sama dengan serinya. Saya sangat menyukai bagian awal dari Partikel (tentang jamur) dan Gelombang (tentang mitologi orang Batak) karena mengingatkan saya kembali kepada Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh yang begitu cemerlang. Setelah bagian awal, kecermelangan itu mulai melandai turun, cenderung menjadi cerita yang walaupun digarap bagus tetapi rasa-rasa terpesona di awal itu tiada. Dalam Gelombang, saya sampai butuh tidur barang dua puluh menit untuk mengintirahatkan otak karena “mimpi” yang terlampau panjang.
Seperti petunjuk yang disebarkan Dee, masing-masing buku
seri Supernova digunakan untuk
memperkenalkan karakter-karakter kunci dalam semesta besar Supernova. Sejauh ini, pembaca sudah mendapatkan Diva, Bodhi, Elektra, Zarrah, Gio (?), dan Alva. Saya kurang tahu siapa yang
dua lagi karena belum membaca Intelegendi
Embun Pagi. Jika Zarrah punya keterikatan dengan jamur dan hal-hal
bernuansa alam liar (saya sangat menyukai karakter ini), maka Alva ini ibarat
karakter yang ‘agak membosankan’. Dia terikat dengan alam mimpi, yang kemudian
akan menyeret pembaca pada sekian ratus halaman tentang ilmu mimpi dan berbagai
penelitian tentang mimpi. Jujur saya agak bosan ketika membaca bagian tentang
mimpi ini. Kisah keduanya pun lumayan jauh bedanya, walau sama-sama berujung
dengan kepindahan ke luar negeri. Berbeda dengan Zarrah yang hidupnya sangat
berwarna, Alva ini orangnya teladan banget. Tapi akan dijelaskan mengapa Alva
bisa jadi begitu.
Menelusuri kehidupan Alva ibarat
membaca lagi satu karya tentang American
Dream alias Impian Amerika. Setelah mengalami mimpi dan kejadian mengerikan
di kampung halamannya, Alva dan keluarga Sagala memutuskan untuk pindah ke
Jakarta. Dari sini, si pemuda kemudian nekat merantau ke Amerika Serikat untuk
mengejar peruntungan. Lupakan karakter malas bangun pagi ala Elektra atau cewek
yang suka keluyuran di alam liar ala Zarrah. Alva ini ibaratnya karakter yang sebagai penyeimbang banyaknya aroma
yin dalam seri ini. Tinggi, tampan,
pintar, rajin, berbakti kepada keluarga—semua kualitas cowok sukses bisa kita
temukan dalam dirinya. Tapi, di balik semua kesempurnaan seorang Alva, ada
kegilaan yang luar biasa. Semenjak dipertemukan dengan sosok asing bernama Jaga
Portibi di usianya yang ke 12, pemuda itu tidak bisa tidur layaknya orang
nornal,. Tidur lebih dari satu jam akan menyeret kesadarannya ke alam mimpi,
tempat sesuatu yang mengerikan setia menunggu untuk merenggut kehidupannya.
Jika tidur minimal 7 jam adalah
anugrah bagi orang normal, bagi Alva tidur terlalu lama sama saja dengan kematian.
Untuk mengantisipasinya, Alva memecah tidurnya menjadi tidur-tidur pendek yang
tidak lebih dari satu jam. Waktu malam digunakannya untuk bekerja dan belajar. Tidak
heran kariernya dalam bidang pendidikan dan pekerjaan bisa melesat cepat karena
ketika orang lain tidur, dia masih sibuk. Istilahnya, Alva selalu dua langkah
di depan orang lain. Tetapi, tubuh manusia tetaplah fisik yang terbatas. Takdir
mempertemukannya dengan dokter muda bernama Nicky. Wanita inilah yang berhasil membujuk Alva agar lebih memperhatikan mimpinya.
Bagian mimpi ini selain panjang, juga cukup meneror. Jawaban tentang fenomena aneh yang menyerang Alva memang akhirnya terungkap di Tibet, tapi perjalanan mencari jawaban itu seolah ikut membuat saya sebagai pembaca lelah. Mungkin, memang penulis berhasil mengajak pembaca merasakan apa yang dirasakan Alva.Dari sini, Gelombang mulai menunjukkan lembah dan bukitnya. Semua pengantar panjang akan mulai menemukan titik terangnya. Ada banyak sekali perlambang, budaya, dan pertanda yang digunakan. Saya kurang paham tetapi ulasan mas Calvin ini asli bagus banget. Silakan bisa dibaca sendiri untuk mengagumi kecermatannya dalam mengulik novel ini.
Bagian mimpi ini selain panjang, juga cukup meneror. Jawaban tentang fenomena aneh yang menyerang Alva memang akhirnya terungkap di Tibet, tapi perjalanan mencari jawaban itu seolah ikut membuat saya sebagai pembaca lelah. Mungkin, memang penulis berhasil mengajak pembaca merasakan apa yang dirasakan Alva.Dari sini, Gelombang mulai menunjukkan lembah dan bukitnya. Semua pengantar panjang akan mulai menemukan titik terangnya. Ada banyak sekali perlambang, budaya, dan pertanda yang digunakan. Saya kurang paham tetapi ulasan mas Calvin ini asli bagus banget. Silakan bisa dibaca sendiri untuk mengagumi kecermatannya dalam mengulik novel ini.
Satu hal menarik, di Gelombang akhirnya Dee mulai memunculkan
pihak jahat dan pihak baiknya. Jika di buku-buku sebelumnya, pembaca hanya
diajak meraba-raba mau dibawa ke mana cerita ini, dalam Gelombang ini musuh sudah dimunculkan. Apa tujuan Petir, Akar,
Kabut Tengah Malam, dan Gelombang dipertemukan sudah mulai jelas. Walau konsep
pihak baik-pihak jahat ini berpotensi bikin cerita jadi klise, pilihan ini
setidaknya memunculkan satu kejelasan dalam benak pembaca untuk terus
melanjutkan membaca, bahkan dengan semangat serta kecepatan yang semakin
meningkat. Mau bagaimana lagi, sebagian besar kita memang masih terpaku pada
jelasnya perbedaan antara gelap dan terang. Semakin jelas batas keduanya,
semakin kencang mereka memegangnya. Dalam ending buku ini, formula ini berhasil
dalam--setidakny--“memegang” pembaca untuk menantikan pamungkas dari serial Supernova ini.
No comments:
Post a Comment