Judul : Buku Pintar Penyuntingan
Naskah (Edisi Kedua)
Penulis : Pamusuk Eneste
Setting : Rahayu Lestari
Sampul : Pagut Lubis
Penerbit : PT Gramedia
Pustaka Utama
Tebal : 252
halaman/November 2009
Dulu,
saya berpikir bahwa menjadi seorang editor itu cukup dengan sekadar menguasai
penggunaan tanda baca, paham dengan kaidah-kaidah Bahasa Indonesia yang Baik
dan Benar, dan mengetahui aturan-aturan tata bahasa baku dalam Bahasa
Indonesia. Ternyata, setelah saya benar-benar menjadi editor, pengetahuan
tentang tata bahasa dan kosakata itu bisa diibaratkan sebagai tangga awal untuk
menuju ke dunia editor yang sangat berwarna-warni. Dalam mengedit naskah,
terutama naskah yang masih mentah, seorang editor dituntut untuk jeli sekaligus
awas dengan naskah yang dihadapinya. Tidak sekadar mengawasi salah ketik (typo) dan kesalahan tanda baca, editor
juga harus meluruskan pola kalimat yang tidak sesuai dengan kaidah, mengganti
kata-kata yang diksinya kurang tepat untuk konteks tertentu, dan mengecek
sekiranya penulis mengutip karya atau pendapat atau gagasan orang lain.
Dengan
mengalami sendiri betapa peliknya dunia editor itu, bersyukur sekali saya
karena telah menemukan buku Buku Pintar
Penyuntingan Naskah karya Pamusuk Eneste ini. Walaupun telah diterbitkan
sejak tahun 1995 dan mengalami beberapa kali cetak ulang (yang membuktikan
bahwa buku ini memang sangat berguna), muatan dalam buku ini masih sangat
relevan untuk digunakan sebagai pegangan. Terutama di tengah carut-marut
kebahasaan dalam dunia bahasa kita, adanya sebuah buku patokan tentang
bagaimana cara mengedit yang baik dan benar (setidaknya yang sesuai dengan
aturan-aturan yang saat ini berlaku) adalah sesuatu yang sangat penting. Di
sinilah peran buku ini.
Salah
satu salah kaprah yang disinggungg buku ini di antaranya makna kata “bergeming”
yang artinya (silakan cek di KBBI) adalah “tidak bergerak sama sekali”. Jadi,
keliru kalau kita mengatakan, “Meskipun sudah diusir, pria itu tidak bergeming
dari tempatnya.” Juga, tentang penulisan nama julukan untuk negara atau kota,
bahwa yang benar adalah negeri sakura dan kota pelajar dan bukannya Negeri
Sekura dan Kota Pelajar. Juga, dari sini kita bisa tahu bahwa yang benar adalah
Bukittinggi bukan Bukit Tinggi (hlm 70).
Ada
pula pembahasan tentang “kalimat membosankan”, yakni kalimat yang
menggunakan dua buah kata yang berasal
dari kata dasar yang sama. Secara tata bahasa, kalimat semacam ini tidak salah,
hanya saja dapat membuat pembaca menjadi bosan. Contoh dari kalimat membosankan
adalah: “Kapan tempat itu ditempati?” atau
Pertanyaan itu sering dipertanyakan
kepada kami.” (hlm 56). Dibahas juga tentang kalimat salah kaprah, yakni
kalimat yang tidak mengandung unsur tertentu atau terasa janggal karena
penggunaan kata yang tidak tepat (hlm 57). Contoh dari kalimat ini di antaranya
Persib memenangkan pertandingan 2-0 (apakah
nama pertandingan itu “pertandingan 2-0?) dan Kamus ini dimiliki para wisatawan, baik mancanegara maupun domestik (Siapa
yang mancanegara dan domestik di sini? Kamusnya apa wisatawannya?).
Secara
muatan, kandungan buku ini cukup lengkap karena mengulas perjalanan sebuah
naskah mulai dari tahap pra-penyuntingan hingga menjadi buku. Ada pula
syarat-syarat menjadi penyunting naskah yang baik, kode etik penyuntingan
naskah, aturan-aturan dasar dalam EYD, hingga ragam naskah dan teknik
menyuntingnya. Sungguh, dengan segala kelebihannya, buku ini sangat perlu
dimiliki oleh mereka yang berkecimpung di dunia tulis-menulis, baik editor,
penerjemah, maupun penulis sendiri. Setidaknya, mulailah dengan hal-hal dasar
yang sering terlewat dari kita; bahwa yang benar adalah stres, daripada, di kota, dimakan, gula jawa, dan batik Pekalongan. Dan, bahwa stress, dari pada, dikota, di makan, gula
Jawa, dan batik pekalongan itu
keliru. Mari kita belajar bersama.
Postingan ini dibuat dalam rangka posting bareng buku-buku terbitan Gramedia bersama member Blogger Buku Indonesia.
Postingan ini dibuat dalam rangka posting bareng buku-buku terbitan Gramedia bersama member Blogger Buku Indonesia.