Search This Blog

Monday, May 7, 2018

Topi Hamdan, Kesabaran yang Tak Berbatas


Judul: Topi Hamdan
Pengarang: Auni Fa
Penyunting: Iswan H
Cetakan: November 2017
Tebal: 344 hlm



Roda kehidupan manusia memang tidak pernah dapat ditebak. Tapi satu hal yang pasti, Tuhan mempergilirkan nasib hamba-hamba-Nya serupa roda, kadang jaya di atas dan sekali waktu harus terlindas di bawah. Kita tidak bisa mengetahui dengan persis apa maksud Tuhan, tetapi kita selalu dapat belajar banyak dari ketetapanNya ini. Bahwa hidup memang tersusun atas kepingan duka dan kepingan bahagia. Tidak selamanya manusia akan berkubang dalam lembah kesedihan. Tidak selamanya pula manusia bertabur kebahagiaan. Semua ada masanya. Dengan mengetahui kebenaran ini, kita jadi tidak gampang putus asa saat sedang mendapatkan ujian hidup karena Tuhan pasti telah menyiapkan kebahagiaan di ujung sana. Di sisi lain, kita juga menjadi tidak mudah takabur atau lupa diri ketika sedang mendapatkan kenikmatan hidup. Sungguh, Dia berkuasa untuk mengubah nasib kita semudah kita membalik telapak tangan.
 
Wahai pembaca, adakah orang yang sesabar seorang Hamdan? Anak laki-laki ini menjalani masa kecil yang sangat membahagiakan bersama Ayah dan Ibunya. Semua orang iri pada keharmonisan keluarga kecil itu. Hamdan disayang begitu rupa sebagai anak tunggal. Sampai suatu ketika ketika dia masih SMP, Ayah Hamdan meninggal. Di sinilah titik balik kehidupan si Hamdan remaja. Sang Ibu lalu menikah dengan seorang pria asing yang kemudian menjadi ayah tiri Hamdan. Pria ini adalah tipikal ayah tiri kejam ala Cinderela, lengkap dengan anak gadisnya—yang juga sama-sama membenci Hamdan. Setiap hari, ketika ibunya sedang pergi bekerja, Hamdan disuruh mengerjakan semua pekerjaan rumah. Ayah tirinya tak segan-segan melontarkan makian dan hinaan, bahkan hukuman fisik. Hamdan bahkan dilarang melanjutkan sekolah. Dia dropout dari SMP.

Nasib Hamdan semakin buruk ketika sang Ibu akhirnya meninggal dunia menyusul ayahnya. Jadilah kini anak itu hidup sendiri bersama ayah tiri dan saudari tirinya yang kejam. Kedua orang itu semakin menjadi-jadi menyiksa Hamdan. Apakah tidak terpikir bagi Hamdan untuk pergi saja dari rumah laknat itu? Tidak bisa. Sang ibu telah menjadikan Hamdan pewaris sah rumah. Jika dia pergi, sama saja dengan membiarkan rumah warisan ornag tuanya jatuh ke ayah tirinya yang jahat. Hamdan memutuskan untuk bertahan. Berbagai hinaan dan siksaan tidak membuatnya goyah. Sesekali, dia akan mengingat kembali dongeng-dongeng yang dikisahkan almarhumah ibunya dulu. Dongeng tentang semut Ong, misalnya, terus menguatkannya di kala siksaan hidup demikian berat menerpanya. Hamdan juga memiliki hobi membuat topi pelukis yang sedikit banyak mampu mengalihkan penderitaannya. Hingga usia 41 tahun, Hamdan tumbuh menjadi pria yang selalu murung, pendiam, penyendiri, tetapi memiliki stok kesabaran yang luar biasa.

Tak disangka, di usia inilah puncak kesabarannya diuji. Sebuah fitnah keji dilancarkan oleh Sumik, yang merupakan saudari tirinya. Fitnah yang sedemikian kejam sehingga menjebloskannya ke penjara. Sekali lagi, Hamdan harus menjalani pahitnya kehidupan. Kali ini dari balik tembok penjara. Ujian hidup yang terus mendera membuatnya hampir gila. Terlebih kini, kebebasannya pun diambil paksa. Hampir saja Hamdan menyerah kalau saja dia tidak mengingat kisah tentang Ong si Semut yang dulu dikisahkan ibunya. Sekali lagi, Hamdan memanjangkan kesabarannya seraya terus berharap Tuhan yang Maha Penyayang segera mendatangkan kebahagiaan untuknya. Tetapi, Hamdan harus bersabar lagi selama 30 tahun. Pria itu harus merasakan dinginnya jeruji penjara sepanjang tiga dekade masa hidupnya, menghabiskan separuh kedua masa produktif kehidupannya. Hanya ditemani dongeng-dongeng sang ibu serta ingatan akan mesin jahit yang sering digunakannya untuk membuat topi. Ternyata, kenangan memang memiliki kekuatan luar biasa. Ia bisa melempar seseorang menuju jurang keputusasaan, bisa pula menjadi tambatan jiwa agar tetap waras di kala ujian menerpa.

Tepat di usianya yang ke-71 tahun, Hamdan akhirnya dinyatakan bebas dari penjara. Dia bahkan dijemput oleh Paiz, putra dari Sumik. Pria tua itu bersyukur karena akhirnya dia bisa menhabiskan hari tuanya dengan tenang bersama satu-satunya anggota keluarga yang dimilikinya. Tapi sayang, roda nasib sekali lagi belum berpihak kepadanya. Paiz malah mengantarkan kakek tua itu ke sebuah panti jombo. Hamdan dibuang oleh satu-satunya kerabat yang dimilikinya. Seakan nasib belum cukup menempanya, panti itu ternyata dipimpin seorang pria berkelakuan jahat yang suka mencuri donasi panti untuk keperluan sendiri. Puncaknya, Hamdan bahkan diusir dari panti setelah mengajak sesama penghuni panti untuk menjahit dan berjualan topi. Hamdan kembali terlunta-lunta di usianya yang tua. Oh nasib (dan penulisnya) sampai kapan engkau berlaku sedemikian kepada Kakek Hamdan. Membaca kisah Kakek Hamdan hampir membuat saya menyerah karena isinya rentetan kesedihan demi kesedihan. Kalau saja cahaya pertolongan itu tidak segera tampak, mungkin saya tidak akan kuat menyelesaikan membaca novel ini.
Cahaya itu datang dalam wujud seorang perempuan muda bernama Melisa. Dia adalah donatur tetap panti, tetapi akhirnya berhenti memberikan donasi begitu mengetahui kelakukan buruk si pemimpin panti. Tapi, di panti itu dia pernah dipertemukan dengan Kakek Hamdan, seorang pria yang telah ditempa nasib buruk dari masa SMP hingga usia 71 tahun. Dari si kakek, Melisa belajar banyak tentang kesabaran yang tak berbatas karena kita sendiri tak akan pernah mampu mengukur di mana batas sebuah kesabaran. Lewat Melisa inilah rupanya Tuhan menurunkan pertolongan. Dari bakatnya membuat topi dan pertolongan Melisa, Hamdan akhirnya bisa mendapatkan akhir yang bahagia atas kehidupan panjangnya yang pahit. Tuhan tidak pernah ingkar dengan janjiNya. Semua yang tekun dalam kesabaran akan mendapatkan imbalan yang tak takkan pernah disangkanya. Kisah Hamdan mengajarkan kepada pembaca tentang keutamaan bersabar yang tidak berbatas.

Terlepas dari keindahan dari “bersabar” yang coba diangkat penulis lewat novel Topi Hamdan, saya masih mendapati beberapa hal yang agak kurang berkenan saat membaca novel ini. Pertama adalah “kekejaman” penulis yang membiarkan Hamdan bersabar hingga usia 71 tahun. Sungguh, Cinderella dan Si Midun saja nggak selama itu ditindasnya. Mendapatkan kebahagiaan di usia senja memang tidak keliru, tetapi berdiam diri sehingga kebahagiaan baru bisa hadir di akhir usia juga bukan solusi. Tuhan mengajarkan hambaNya untuk bersabar dan pasrah, tetapi ada catatan tentang sabar dan pasrah seperti apa yang di[erbolehkanNya. Bersabar yang baik adalah ridho akan ketetapanNya yang telah terjadi sambil terus berusaha berjuang dan berharap untuk ketetapan baikNya yang belum terjadi. Sungguh aneh melihat pria dewasa diam saja disiksa oleh ayah dan saudari tirinya. Apalagi, si ayah sudah sakit-sakitan dan saudarinya pun seorang wanita manja. Sebagai pria dewasa pewaris sah, Hamdan seharusnya bisa bertindak lebih banyak. Dia sehat, mampu bekerja, dan terang pikirannya tapi dia pasrah saja diperlakukan buruk. Bahkan, ketika mengetahui dirinya difitnah, dia tidak mencoba untuk melapor ke polisi, setidaknya untuk merehabilitasi nama baiknya. Sungguh sia-sia 30 tahun masa kehidupannya di penjara karena kejahatan yang bahkan tak pernah dia lakukan. Kepasrahan yang dilakukan Hamdan menurut saya adalah kepasrahan yang tidak pada tempatnya. 

Kadang, kita menemukan cerita yang sedemikian sempurna karakternya sehingga kita susah mempercayai kalau tokoh seperti itu memang benar-benar ada di dunia nyata. Di buku ini, saya menyaksikan versi sebaliknya, yakni tokoh yang sedemikian tidak sempurnanya sehingga susah mempercayai kalau tokoh seperti itu memang benar-benar ada di dunia nyata. Terlalu banyak porsi ujian yang diberikan kepada Hamdan sehingga alih-alih merasa terinspirasi, pembaca malah merasa murung. Mungkin penulis hendak meniru kisah-kisah para Nabi yang melambangkan kesabaran dan ketaatan tak berbatas. Hanya saja, menurut saya ada perbedaan antara membaca kisah para nabi dengan kisah manusia biasa. Dalam kisah para Nabi, kita sudah automengetahui bakal ada campur-tangan kekuatan Tuhan yang berperan sehingga selalu ada permakluman ketika ujian itu sedemikian berat karena “Ini Nabi pilihan Allah, tidak mungkin dipilih jika stok sabarnya sedikit”. Ketika mendapati kisah serupa dalam diri manusia biasa—walau itu juga tidak mustahil karena Tuhan Maha Berkehendak—rasanya seperti membaca kisah nabi yang dipaksa-paksakan pada kisah manusia biasa. Hasilnya, sebuah kisah yang sukar untuk dipercaya pembaca—setidaknya saya. 

Tapi, saya suka dongeng-dongeng di buku ini. Terasa orisinal sekali. Andai dongengnya bisa lebih banyak, maka itu bisa mengimbangi pekatnya kadar kemuraman dalam Topi Hamdan. Satu bintang untuk sampul dan bukunya yang rapi banget, satu bintang untuk teknik menulisnya yang mengalir, dan satu bintang lagi untuk kesabaran Hamdan yang luarbiasa. Tiga bintang untuk Topi Hamdan. 

No comments:

Post a Comment