Search This Blog

Friday, June 24, 2016

Ketika Sastra Mengajak Pembaca Tertawa

Judul: Tuhan Tidak Makan Ikan dan Cerita Lainnya
Pengarang: Gunawan Tri Atmodjo
Penyunting: Tia Setiadi
Sampul: Ong Hari Wahyu
Cetakan: Pertama, Mei 2016
Penerbit: DIVA Press




Tidak selamanya sastra muncul dalam bentuknya yang melulu berat, dipenuhi deretan kata-kata tinggi namun awam asing mendengarnya. Sastra juga tidak lagi wajib mendayu-dayu dengan bahasa berbunga-bunga ala karya angkatan Balai Pustaka. Pun, sastra bukanlah buku agama yang semata berisi petuah-petuah kebajikan. Tiga mitos sastra dari Seno Gumira Ajidarma di atas kiranya tepat disematkan untuk buku kumpulan cerpen karya Gunawan Tri Atmodjo ini. Sebagaimana dijelaskan Seno, sastra ditulis oleh manusia dan ditujukan oleh manusia, kepada awamlah sastra dituliskan, sehingga sastra sendiri seharusnya tidak boleh menjauh dari kemanusiaan itu sendiri. Manusia, seperti aneka cerita di kumcer ini, kadang serius, kadang berani, sering suram, tidak jarang penuh sukacita. Gunawan dengan caranya yang khas telah menghadirkan sastra yang manusiawi di buku ini. Salah satunya, kisah-kisah yang membuat kita tertawa sebagai manusia dan menertawakan diri kita sebagai manusia.

Walau mengancam membuat pembacanya terbahak, tidak kemudian buku ini jatuh sebagai buku kumpulan cerita humor—padahal semestinya ia adalah bagian dari sastra perjuangan (meskipun tidak selalu yang harus diperjuangkan itu serba serius. Kadang humor juga perlu diperjuangkan sebagaimana sastra). Seperti disebutkan oleh sastrawan Triyanto Triwikromo dalam pengantarnya untuk buku ini, penulis mampu menempatkan cerita-cerita kocaknya dalam bangun tulisan yang tetap cerpen sastra. Dengan hati-hati, Gunawan menata cerita-ceritanya dengan perhitungan yang tepat: kapan sebuah paragraf akan membuat pembaca meledak dalam tawa dan kapan kalimat-kalimat itu seperti menahan dirinya sendiri untuk tidak melucu.


"Yu Kariyem mengeluhkan mata kanannya yang terasa mengganjal dan agak perih. Kuminta ia tenang. Aku membuka mata kanannya perlahan-lahan dengan kemampuan terhalus yang dimiliki jari-jariku. Dan, betapa kagetnya aku ketika melihat ada benda hitam sebesar biji semangka menempel di bola mata kanannya. Ya Tuhan, ternyata Yu Kariyem kelilipan tahi lalatnya sendiri.” (Perjalanan ke Pacitan)







Lebih lengkap bisa dibaca di basabasi.co

No comments:

Post a Comment