Search This Blog

Saturday, October 24, 2015

Cerita Cinta Indonesia oleh Ahmad Tohari, Okky Madasari, dkk.

Judul: Cerita Cinta Indonesia
Pengarang:  Ahmad Tohari, Okky Madasari, dkk.
Penyunting; Hetih, Vera, Anas
Tebal: 384 hlm
Cetakan: 1, 2015
Sampul: Staven Andersen
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama 


23263405

               
Dalam perayaan ulang tahunnya yang ke-40, Penerbit Gramedia Pustaka Utama mengundang 45 penulis fiksi yang disebut-sebut paling aktif berkontribusi berkarya selama beberapa tahun terakhir. Nama-nama seperti Marga T, Mira W, Ahmad Tohari, Gola Gong, Boim Lebom, S Mara GD sebagai para pemain lama di lini fiksi Gramedia tentu turut dihadirkan. Tertera juga sederet nama popular dari lini fiksi kontemporer seperti Clara Ng, Rina Suryakusumah, Maggie Tiojakin, Ika Natassa,  Mia Arsjad, Primadonna Angela. Aroma sastra ikut mewarnai dengan kehadiran karya-karya Okky Madasari, Ratih Kumala, Eka Kurniawan, dan Dewi Kharisma Michellia. Namun, porsi penulis teenlit dan genre metropop lah yang paling banyak saya temui (dan sepertinya begitu mendominasi aroma buku ini) dengan deretan penulis semisal Alia Zalea, Dyan Nuranindya, Nina Addison, Lexie Xu, Syahmedi Dean, Shandy Tan, Teresa Bertha, dan Ken Terate. Beneran, saya mabok cerita teenlit dan metropop saat baca buku ini. 


                Sebagai kumpulan cerpen yang tidak diikat oleh satu kesamaan (kecuali tema 'cerita cinta' sebagai bentuk perayaan pada ulang tahun Gramedia yang ke-40), pembaca memang harus maklum jika membaca buku ini seperti meloncat-loncat. Dari sebuah cerpen sastra langsung lanjut ke cerita khas urban, lalu ke cerita remaja penuh cinta-cintaan; begitu sehingga membaca buku ini lebih seperti menikmati gado-gado campur lutis, buah dan sayur serta bumbu rujak berbaur jadi satu sehingga menghasilkan sebuah bacaan yang nikmat tapi kurang bisa diresapi rasanya karena bercampur-campurnya aneka rasa di dalamnya.  Niat Penerbit sudah benar, yakni mengurutkan karya-karya dalam buku ini berdasarkan urutan abjad nama sehingga Ahmad Tohari ada di halaman pertama dan S. Mara Gd ada di menjelang halaman terakhir. Hal ini akan menghindarkan dari tuduhan bahwa Gramedia mengistimewakan beberapa penulis besar dan menyisihkan penulis-penulis yang belum besar.

                Di sisi lain, cara ini membuat pembaca (atau sayanya saja saja sih ribet?) tidak bisa menikmati rasa buku itu secara utuh. Saya kebingungan apakah ini sedang membaca buku kumcer sastra ataukah kisah-kisah remaja penuh cinta. Bukan berarti saya mengagungkan karya sastra dan menafikkan karya-karya teenlit. Tidak, sebuah buku bagus bagi saya adalah buku yang saya bisa menikmati saat membacanya, entah itu buku sastra berat ataukah roman cinta ala SMA. Cerita-cerita di buku ini bisa dibilang—saya menikmatinya. Yang tidak saya nikmati adalah letaknya yang campur baur sehingga pikiran dan perasaan saya ikut nggak karuan saat membaca kumcer ini (atau memang saya-nya yang lagi galau tanggal tua kali ya).

Kemudian, saya menemukan ide bagus: Jangan membaca kumcer ini dari depan ke belakang, tapi baca dengan mengelompokan penulisnya terlebih dulu. Pusing kan ya? Iya, saya memang kadang bikin pusing calon. *kayak sok punya calon aja. Jadi begini, saya baca karya Ahmad Tohari di halaman awal, lalu melompat ke karya Eka Kurniawan, lanjut ke Okky Madasari. Kain hari, saya pengen baca tema-tema jomblo eh single berkualitas jadi meluncurlah saya ke cerpen-cerpen karya Nina Adisson, Ika Natassa, dan Mia Arsjad. Kali lain, rupanya darah muda saya menggelegak jadi saya mencoba menjadi muda dengan membaca karya-karya Ken Terate, Dyan Nuraindya, Shandy Tan, dan Luna Torashyngu. Dengan membaca dengan gaya seperti ini, saya merasa lebih bisa menikmati buku bagus ini.

Selain rasa gado-gado, saya juga merasakan beberapa penulis yang entah berkembang atau entah berganti gaya (seperti Gola Gong yang dalam karyanya di buku ini sangat beda banget auranya dengan ketika kita baca Balada si Roy), tapi ada juga penulis-penulis yang tetap setia dengan jalurnya, seperti Boim Lebom yang legendaris dengan karya-karya kocaknya.

Kalau harus memilih mana yang paling favorit, saya memilih karya Okky Madasari ‘Bahagia Bersyarat.’  Cerpen ini khas banget, kalimatnya berat-berat tapi kutipable. Cerpen ini menyindir sekaligus membenarkan pandanganorang-orang tentang makna kebahagiaan. Apa sebenarnya kebahagiaan itu? Benarkah diri kita sendiri yang menentukan kebahagiaan masing-masing? Ataukah, selama ini orang lain yang lebih sering kita bahagiakan dan bukannya diri kita sendiri? Cerpen singkat tapi sangat dalam ini datang tanpa menyodorkan jawaban kepada kita, pembaca sendirilah yang akan menjawabnya. Renungkan, dan sementara merenungkan, cerita ditutup dengan ending yang tak terduga. Ini memang beneran cerpen yang bagus. Tambahan lagi, sampulnya juga luar biasa indahnya. Saya suka corak  warna-warninya, kayak isi kumcer ini.

2 comments:

  1. Ih bener banget, aku bingung habis baca cerpen ini dari nyastra terus ke teenlit terus lompat lagi ke cerpen ala metropop :D

    ReplyDelete