Search This Blog

Thursday, October 6, 2011

Orang Kristen Naik Haji

Orang Kristen Naik Haji







Judul                 : Orang Kristen Naik Haji 
 Penulis               : Augustus Ralli
Penerjemah       : Taufik Damas                                                                                                                                                                        




Penyunting         : Adi Toha
Pemeriksa aks    : Dian Pranasari
Cetakan             : 1, Agustus 2011
Tebal                 : 371 halaman
Penerbit            : Serambi Ilmu Semesta





            Membaca judulnya saja sudah sangat kontroversial, dan isinya ternyata jauh lebih kontroversial lagi. Pembaca, termasuk saya, sekilas mungkin akan mengira bahwa buku ini hendak membahas tentang kisah-kisah para mualaf yang berkesempatan menunaikan ibadah haji di Tanah Suci, ternyata tidak demikian—malah jauh lebih seru dari itu. Judul bahasa Inggris dari buku ini mungkin lebih mampu menggambarkan isi sebenarnya dari buku yang ditulis pada tahun 1901 ini, Christian at Mecca. Buku ini sendiri merupakan kompilasi atau kumpulan kisah dari sejumlah individu-individu dari Barat yang sempat merasakan pahit-getir-manis-panas dan berbahayanya petualangan mengunjungi kota paling disucikan oleh umat Islam, Makkah, ratusan tahun yang lalu.

            Makkah dan Madinah, antara abad ke 15 – 19, masih dan tetap merupakan dua kota suci yang menjadi idam-idaman bagi seluruh umat Islam di kolong jagat untuk bisa mengunjunginya. Bedanya, saat itu belum ditemukan transportasi modern yang bisa mengangkut jamaah haji dengan mudah dan cepat. Para jamaah harus melewati jalur darat menembus padang gurun pasir nan gersang dengan terik matahari yang membakar. Lebih dari itu semua, para peziarah juga harus menghadapi ancaman dari suku Badui gurun, perampok, penipu, bahkan kaum Wahabi ekstrem yang waktu itu menguasai kota Madinah. Kaum Wahabi ini begitu rupa ekstremnya sampai-sampai melarang jamaah haji untuk menziarahi makam Baginda Nabi Saw. Jika bagi umat muslim saja sudah begitu sulit, bayangkan bagaimana sulitnya memasuki Mekkah bagi orang Eropa yang non Muslim?

            Seperti telah kita ketahui, ajaran Islam melarang orang yang beragama selain Islam untuk memasuki kota suci Makkah. Bagi yang melanggar, hukumannya pada masa itu adalah digantung atau dipenggal. Apalagi Saudi Arabia kala itu dikuasai oleh kaum Wahabi yang terkenal sangat ekstrem dalam urusan ajaran agama. Namun, yang namanya manusia memang makhluk yang selalu haus akan petualangan. Apa yang dilarang terkadang malah semakin membuatnya semakin tertarik untuk melanggarnya. Makkah yang  begitu tertutup bagi Eropa, yang hanya segelintir orang di barat yang mengetahui kondisi dan situasi di dalamnya, menjadikan kota suci ini sebagai tujuan eksotis nan menantang bagi para petualang Eropa. Bahkan, hukuman mati bagi mereka yang ketahuan mengaku sebagai muslim di Makkah tidak mampu menghalangi jiwa-jiwa yang penuh rasa ingin tahu itu untuk menguak rahasia-rahasia dari agama ini, langsung dari tempat di mana Islam pertama kali diturunkan.

            Satu per satu, bab-bab dalam buku ini menguraikan siapa dan bagaimana kisah perjalanan nekat mereka saat menyamar sebagai muslim demi bisa memasuki Makkah. Mulai dari Ludovico Bartema yang pertama kali menginjakkan kaki di Makkah pada 18 Mei 1503, hingga seorang  Snouck Hurgronje (yang namanya sudah tidak asing lagi); mereka meninggalkan limpahan arsip dan catatan penting mengenai ritual haji dan pandangan mata dari kota suci ini beserta penduduknya sejak abad ke-15 hingga menjelang Perang Dunia I. Beberapa dari petualang itu, seperti Vincent le Blanc (1568), Johann Wild (1697), dan Joseph Pitts (1680) menggambarkan petualangan ke Makkah itu sebagai perjalanan paling mengerikan di dunia. Pitts dan Wild bahkan sempat menjadi budak, tertawan di penjara, dan terombang-ambing tak menentu di kawasan Timur Tengah selama belasan tahun sebelum mereka bisa kembali ke Eropa. Ullrich Jasper Seezen bahkan tewas diracun akibat prasangka keliru atau mungkin karena intrik politik.

“Orang itu memperingatkan Keane (John Fryer Keane) bahwa orang Inggris yang menyamar sebagai muslim hanya untuk melihat prosesi haji lalu menuliskan buku tentangnya sudah ada tiga orang, dan ketiganya dirantai besi pada lehernya dan diborgol di tengah-tengah perbukitan” (halaman 278).

            Para penjelajah paling awal, mengingat pengalaman buruk yang mereka alami dan mungkin juga karena pendapat pribadi mereka, menggambarkan ritual haji dan kota Makkah dengan kecenderungan agak negatif. Makkah digambarkan sebagai lembah tandus yang kering kerontang, dipenuhi dengan para fakir yang meminta sedekah, serta para penipu licik yang siap memangsa para jamaah yang lengah. Perjalanan menembus padang gurun digambarkan seperti neraka dunia, bahkan mereka juga menghina air zamzam. Entah karena siksaan yang mereka hadapi saat berpetualang, ataukah hal ini kian menegaskan kesucian kota ini bagi nonmuslim, para petualang ini rata-rata kapok setelah satu kali berkunjung ke sana. Deskripsi yang lebih netral tentang Makkah diberikan oleh John Ludwig Burckhardt dan Sir Richard Burton. Keduanya dikenal mampu menghasilkan sebuah bunga rampai perjalanan ke Makkah yang ditulis secara objektif dan minim prasangka. Penggambarannya atas Masjid Besar sangat sempurna. Burckhardt jarang menyinggung pengalaman personal dan lebih suka menghimpun berbagai kebenaran dan fakta. Melalui tulisannya, kita bisa mengetahui bagaimana keadaan kota suci ini di abad 19.

            “Ia menyebut Makkah sebagai kota yang indah, panjangnya sekitar 1.500 langkah. Pembatas alami berupa perbukitan menjadi ganti dari pagar-pagar buatan. … Rumah-rumah dibangun dari batu abu-abu gelap, berbeda dengan rumah-rumah di Jeddah yang dibangun dari batu-batu putih mencorong….tidak ada rumah yang umurnya lebih dari 4 abad….Jalan-jalan menjadi gelap gulita di waktu malam…(113 - 114).


            Dari Bartema, kita bisa mengira-ngira bagaimana bentuk bangunan Masjidil Haram pada abad ke-16:

            “Tempat peribadatan berada di tengah-tengah kota, seperti Colossus di Roma dan stadion Roma. Tempat-tempat ibadat ini tidak dibangun dari marmer atau batu pahat, tapi dari batu bata yang dipanggang (dibakar). Di pintu masuk, terdapat dinding-dinding berlapiskan emas yang berkilau dari segala arah, terlihat sangat indah dan tiada tandingannya. Di bawah tempat-tempat melengkung, terlihat kerumunan banyak orang, …” (halaman 40).

            Petualangan yang paling akbar dicatatkan oleh Sir RIcard Burton yang menulis ulang petualangannya ini dalam tiga jilid tebal autobiografinya Pilgrimage to AL-Madinah and Meccah yang mendapatkan sambutan di Barat maupun di Timur karena narasinya yang memukau bak novel petualangan, yang dikisahkan dengan begitu indah:

            “Saat itu bulan hampir penuh, menyinari bangunan Ka’bah yang mirip peti bergaris warna perak. Bangunan ini kelihatan jelas, bahkan lebih jelas daripada waktu siang hari. Di sanalah bangunan itu berada, sendirian, seolah-olah perwujudan keesaan dan keagungan Yang Esa, inti semua ajaran Islam. (halaman 237).


Walaupun dengan segala kesulitan dan ancaman yang harus dihadapi, nyatanya jamaah haji terus berdatangan dari seluruh penjuru dunia ke kedua kota suci ini. Panggilan Ilahi begitu sulit untuk mereka tolak, karena pahala dan ganjaran Surga memang jauh melampaui kesulitan-kesulitan duniawi yang menghadang para jamaah untuk berkunjung ke Baitullah. Dari para petualang Eropa ini, kita bisa mengetahui rekam jejak ibadah haji dari masa ke masa, tentang kesulitan yang menghadang dan juga keberkahan yang telah menanti para tamu Allah ini. Saksikan bagaimana kesaksian Burckhardt ketika melihat tulusnya  seorang jamaah haji dari Darfur, Sudan, yang langsung gemetar ketika akhirnya ia bisa melihat Ka’bah yang agung itu setelah menempuh perjalanan menembus gurun nan gersang, “Ya Allah, ambillah nyawaku sekarang, ia berseru. Ini adalah surga!”

3 comments: