Search This Blog

Tuesday, January 16, 2018

Bertuhan pada Bahasa, Berlindung pada Cinta



Judul: Bertuhan pada Bahasa
Penulis: Sengat Ibrahim
Penyunting: Tia Setiadi
Cetakan: Januari 2018
Tebal: 157 hlm
Penerbit: Basabasi




Iseng saya membuka biografi penulis buku ini. Terkejutlah saya betapa si penyair ternyata masih begitu belia, yakni kelahiran 1997. Coba bandingkan dengan tahun lahir saya yang sudah begitu beliau. Ada rasa takjub, juga malu, mengetahui betapa dalam usia yang masih begitu muda, Sengat telah mampu menghasilkan sajak-sajak yang menghibur pembaca dengan rima-rimanya. Memang, semakin maju ke sini, semakin banyak bibit-bibit muda yang sudah mulai menunjukkan buah bakatnya. Tetapi, jika kita mau meluangkan sejenak membaca pengantar buku ini, pembaca akan tahu betapa sejak usia begitu muda, sajak tidak pernah meninggalkan Sengat, dan begitu pula sebaliknya. Penyair belia ini juga telah menunjukkan keberanian yang jarang ditunjukkan pemuda seusianya, yang tetap memihak pada sajak meskipun dunia (termasuk orang-orang terdekat) menentangnya. Dan sajak tidak pernah lupa untuk membalas jasa. Sajak-sajak menarik di buku ini adalah buktinya.

dewi kenangan
segelas kopi mengajariku
bagaimana menelan rasa pahit dan manis dalam hidup
pada waktu bersamaan. (hlm. 27)

Tema-tema sederhana mampu diolah menjadi puisi-puisi nan dahsyat. Sesuai usianya yang masih seger, tema cinta tentu saja masih menjadi favorit untuk diolah menjadi sajak-sajak. Dari banyak yang dahsyat di buku ini, tema cinta tanpa mendominasi, bahkan sesekali menyelip dalam sajak-sajak tentang lainnya. Seperti kutipan sederhana tapi sedemikian menyengat berikut ini. Karena mencintaimu adalah sebuah pekerjaan, ini tempel-able banget di lini masa. Walau buat yang nyinyir mungkin akan membalasnya dengan: “Oh, jadi kamu mencintaiku karena terpaksa gitu? Kayak bekerja!” *kabur nggak mau ikut-ikutan ah.

tapi tolong jangan bilang aku sebagai lelaki pengangguran
sebab mencintaimu adalah pekerjaan. (hlm. 33)

Di beberapa puisi yang lain, penulis mampu menampilkan sosok sastrawan yang selalu mampu melihat hitam dan putih dari segala sesuatu, lalu menggunakannya untuk menjungkirbalikkan gagasan kita akan apa yang kita anggap hitam dan apa yang kita anggap putih. Bikin bingung? Mungkin. Tetapi saya yakin, nggak ada niat buruk dari mereka kecuali untuk meluaskan dan meluweskan pandangan kita.

dewi kenangan
sebelum tidur mintalah mimpi buruk
kepada Yang Maha Menciptakan
sebab yang indah selalu sebatas bayang. (hlm. 25)

Walau kecenderungan utama masih pada kekuatan rima, puisi-puisi ini masih memiliki gigitan sebuah syair dan tidak kemudian menjadi selembut pantun. Memang, penulis sepertinya kurang menaruh tekanan pada ketukan atau panjang-pendeknya larik dan lebih banyak berfokus pada rima sanjak. Kecenderungannya, larik pendek di awal, lalu semakin memanjang di tengah, sebelum kembali memendek di belakang. Mungkin ini sebabnya mengapa seluruh puisi di buku ini ditata dengan aligment tengah atau center. Sambil menantikan ledakan nada di ujung larik, kita bisa harap-harap cemas karena bakal “dihajar” dengan kutipan yang menohok menjelang akhir bait. Seperti di puisi Ayat-Ayat An halaman 148 di bawah ini.

aku hidup di yogyakarta
kau hidup di pulau garam madura
jarak bukanlah alasan tepat untuk memilih
meninggalkan atau ditinggalkan
bagi pecinta, bukankah meninggalkan dan ditinggalkan
sama kejamnya, sama ganasnya?

                Dalam usia yang masih begitu muda, begitu belia, Sengat Ibrahim telah membuktikan dirinya sebagai penyair dengan ciri khas. Jalan masih panjang di depan, tetapi saya yakin hal-hal baik—sebagaimana sajak yang telah setia kepadanya—masih menunggunya di dunia sastra.  

3 comments:

  1. Saya baca resensi ini jadi ikutan malu pula. Ah, sudahlah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Asyik dapat teman, malu ada temannya kan jadi malu-maluin hehehe

      Delete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete