Search This Blog

Tuesday, December 12, 2017

Menguak Impian Amerika versi Orang-Orang Indonesia

Judul: Impian Amerika
Pengarang: Kuntowijoyo
Penata Aksara: Erwan Supriyono
Tebal: 264 hlm
Cetakan: Pertama, November 2017
Penerbit: DIVA Press




Selama ini, kita mungkin lebih akrab dengan diaspora orang India, orang Tiongkok, atau orang Arab. Bangsa-bangsa ini memang termasuk bangsa dengan tingkat diaspora paling besar di dunia. Hampir di setiap negara, Barat ataupun Timur, orang bisa dengan mudah menemukannya. Bagaimana dengan diaspora orang Indonesia? Data terakhir menunjukkan ada ratusan ribu orang Indonesia yang hidup dan tinggal di luar negeri. Mereka entah berkuliah, bekerja, atau ikut dengan suami yang orang bule di negara-negara luar. Salah satu negara yang menjadi tujuan favorit untuk berimigrasi adalah  Amerika Serikat. Negeri yang konon adalah Tanah Kebebasan ini rupanya masih memiliki daya tarik kuat bagi para imigran untuk bisa pergi dan menetap di sana, termasuk bagi warga Indonesia.

American Dreams, sebuah istilah sangat terkenal yang merujuk pada cita-cita banyak penduduk dunia yang ingin pindah dan hidup makmur di Amerika. Sejak abad ke-18, Amerika telah menjadi lambang bagi kebebasan dan kemakmuran baru. Berbondong-bondong manusia dari Afrika, Eropa, dan Asia menjadikan benua ini sebagai tempat tinggal mereka yang baru. Senyum Dewi Kebebasan yang menyambut kapal-kapal para imigran di lepas pantai New York seolah menandakan adanya harapan baru di negeri yang baru. Apa yang menjadikan Amerika begitu didamba?  Kemajuan, kemakmuran, dan kebebasan. Setidaknya, itulah tiga poin utama yang menjadikan Amerika Serikat magnet bagi para imigran. Setidaknya sebagaimana kisah-kisah para perantau yang dikisahkan Kuntowijoyo dalam buku Impian Amerika ini. 

“Kalau kau tak bisa mengubah, kaulah yang harus berubah.” (hlm. 56)

Buku ini berlabel novel, tetapi isinya adalah kisah-kisah dari 30 perantau asal Indonesia yang pindah, menetap, bersekolah, bekerja, dan hidup di Amerika Serikat—terutama di sekitar wilayah New York. Ada berbagai alasan mengapa mereka memutuskan menetap di kota ini, tetapi mayoritas adalah karena alasan kemajuan, kemakmuran, dan kebebasan. Ada yang sedang melanjutkan sekolah atau kuliah di Amerika Serikat karena sistem pendidikannya yang lebih maju. Beberapa memilih bekerja apa saja asal bisa pergi dan menetap di Amerika Serikat karena negeri ini lebih makmur daripada Indonesia. Tak sedikit pula yang memilih Amerika Serikat karena dorongan jiwanya yang ingin bebas dan bertualang. Apa pun itu, Kuntowijoyo kemudian mengikat kisah-kisah ini dalam satu bundel yang direkatkan oleh keberadaan si penulis aku dan istrinya yang digambarkan sedang tinggal di New York juga.

Khasnya Kuntowijoyo, aroma etnografisnya sangat kental. Menggambarkan 30 orang perantau asal Indonesia di buku ini, beliau tetap memijakkan kaki pada tonggaknya sebagai seorang priyayi Jawa. Dalam hal ini, aneka rupa kisah orang di buku ini dipandang dari sudut pandang si aku sebagai orang Jawa. Tak heran jika pembaca kemudian masih bisa menemukan aroma kejawaan yang kuat meskipun kisahnya berlangsung di New York, Amerika Serikat. Tetapi, posisi penulis tidak kemudian menjadi seperti dalang yang “mengendalikan” orang-orang dalam ceritanya. Si aku pencerita bertindak sebagai pengamat yang melaporkan keunikan dan keganjilan kisah dari setiap orang, tanpa banyak turut campur. Sesekali si pencerita aku memang ikut masuk dalam cerita, tetapi porsinya tidak sampai mengendalikan. 

“Hanya orang desa dan Jawa seperti kami yang mengkeramatkan tempat tinggalnya, sekali menempati terus mencintai.” (hlm. 46)

Pun demikian, tidak kemudian kisah-kisah ini menjadi semacam laporan jurnalistik yang kaku. Sentuhan Kuntowijoyo yang Jawa banget membuat kisahnya mengalir serta enak dinikmati. Setiap orang (atau setiap bab) membawa pengalaman baru dari orang baru yang akan sangat berkesan bagi pembaca. Tidak heran jika banyak pelaku di buku ini yang mengalami gegar budaya, karena saya yang baru baca buku ini sembilan belas tahun setelah edisi pertamanya terbit (1998) pun masih terkaget-kaget membaca beberapa cerita yang “terlalu bebas” di Amerika. Si pencerita aku seperti berlaku semacam tonggak untuk menjaga agar keindonesiaan itu tetap Indonesia di buku ini. Keberadaannya sebagai orang Jawa juga mengembalikan pembaca pada posisinya sebagai pembaca yang orang Indonesia. Mengusik, tetapi sekaligus menenangkan.

Masih banyak hal yang bisa dikisahkan dari  novel ini. Tetapi, saya hanya akan merusak kejutan jika membocorkan satu kisah di buku ini. Silakan baca sendiri saja ya. Seperti kata penulis di novel ini: “sepanjang-panjangnya jalan, masih panjang omongan orang.” Sepanjang-panjangnya membaca sebuah ulasan, membaca bukunya akan tetap lebih berkesan.

1 comment: