Search This Blog

Thursday, December 22, 2016

Istambul, Sebuah Memoar Orhan Pamuk

Judul: Istambul
Pengarang: Orhan Pamuk
Penerjemah: Rahmani Astuti
Cetakan: April 2015
Tebal: 561 hlm
Penerbit: Serambi

6218676

"Yang penting bagi seorang novelis bukanlah jalannya peristiwa, melainkan susunan peristiwa; dan yang penting bagi seorang penulis memoar bukanlah kecepatan faktual catatannya, melainkan ketepatan simetrinya." (hlm. 433)

Ternyata butuh waktu lebih dari satu tahun untuk bisa menyelesaikan membaca buku ini (baca buku aja sampai setahun lebih, apalagi nulisnya yak. Keren deh para penulis itu). Kenapa? Apakah karena tidak menarik? Bukan karena itu, tetapi karena nuanasa huzun atau kemurungan dalam buku ini yang kental banget. Buku ini sendiri adalah memoar dari Orhan Pamuk, penerima Nobel Sastra 2007. Walau memoar, tetapi buku ini sepertnya lebih banyak tentang Istambul itu sendiri. Pamuk sepertinya hendak mengandaikan dirinya dengan kondisi Istanbul yang semakin murung dari hari ke hari. Kota tua dengan peninggalan 2 era imperium besar ini (Bizantium dan Usmani) seperti sudah kehabisan tenaga setelah selama hampir 2.000 tahun menjadi salah satu pusat peradaban dunia. Istanbul di paruh kedua abad 20 adalah kota yang murung--seperti kata Pamuk. Ia mengibaratkan Istanbul sebagaimana dirinya.



"Semua peradaban sama tidak kekalnya dengan orang-orang yang sekarang berada di pemakaman. Dan sebagaimana kita pasti mati, kita harus menerima bahwa tidak ada jalan kembali pada peradaban yang telah datang dan pergi." (hlm. 165)

Orhan Pamuk berasal dari keluarga yang kaya raya. Kakeknya adalah pebisnis yang giat dan sukses, berhasil mewariskan kekayaan kepada keluarga Pamuk. Namun, anak-anaknya rupanya tidak meniru ayahnya. Ayah dari Orhan berkali-kali gagas dalam membuka bisnis, sehingga meskipun Orhan menghabiskan masa kecil dalam kelimpahan, selalu ada ketakutan bahwa harta warisan itu akan habis juga pada suatu titik. Ini seperti Istanbul pasca runtuhnya Kekhalifahan Ustmani. Euforia untuk menghapus segala yang Timur nan eksotis dan menggantinya dengan Barat yg modern malah membuat kota agung ini kehilangan karakter khasnya. Istanbul, sebagaimana warganya, kebingungan antara menjadi Timur atau Barat. Dan hasilnya adalah kemurungan yang menggelayuti kota ini.



Istambul bagi Pamuk kecil dan remaja ibarat orang tuanya yang sejati. Kota inilah yang secara perlahan turut membentuk kepribadian Pamuk dan juga warganya. Dalam memoar ini, Pamuk curhat tentang ayahnya yang sering pergi ke luar kota dan ke luar negeri untuk berbisnis, meninggalkan kedua anaknya dirawat oleh Istambul. Saat Pamuk telah dewasa, kota ini juga masih menjadi tempatnya melarikan diri ketika galau tengah menyapa, atau setelah pertengkaran dengan ibunya perihal niat Pamuk muda yang ingin jadi pelukis. Begitu kentalnya pengaruh Istambul pada Pamuk dan juga warga kota yang lain digambarkan di dalam buku ini dengan detail. Suasana murung kota ini terasa sekali ketika kita membaca lembar-lembar buku ini. Kota yang murung tetapi sekaligus perkasa, menyimpan sejarah dan juga tentunya banyak cerita nan luar biasa.

Menarik kiranya membaca bab-bab terakhir buku ini, yang menggambarkan Orhan muda sebagai pelukis. Hampir sangat sedikit tentang Orhan yang penulis di buku memoar ini, lebih banyak Orhan yang pelukis. Cita-cita awalnya memang ingin jadi pelukis. Dia tidak mau jadi arsitek sebagaimana keinginan orang tuanya. Kegalauannya ini semakin memuncak seiring dengan semakin bertambah usianya. Terutama juga, pengaruh dahsyat yang ditimbulkan mantannya terhadap masa depan Pamuk. Mungkin jika si mantan tidak muncul dalam kehidupannya, dan Pamuk tetap jadi pelukis, dunia tidak akan memiliki Orhan Pamuk yang penulis. Dan, Istambul juga tidak memiliki sang peraih Nobel Sastra yang begitu terinspirasi oleh kota tua tersebut.


Bagaimana ceritanya melukis menjadi penulis? Pamuk sepertinya menggunakan melukis sebagai upaya pelarian dari kegalauan dan kemurungan yang menderanya. Ketika sang ibu menasihati Orhan tentang cita-citanya yang kurang bisa menjamin masa depannya inilah Orhan mulai terpikir untuk beralih ke jenis pelarian yang lain. Setelah lukisan, dia menemukan kata-kata sebagai pelarian yang lain. Dalam pidato Nobelnya, penulis ini pernah bilang kalau dia menulis agar bisa merasa bahagia. Kiranya, inilah pelarian terbaik yang dipilihnya. "Aku tidak ingin menjadi pelukis, aku akan menjadi penulis," ujarnya menutup buku yang murung ini.

"... kesusastraan modern adalah bahwa tulisan yang hebat itu asli, otentik, dan jujur. " (hlm. 161)

1 comment:

  1. good job kak, bsa buat referensi salah satu kritik sastra aku :)
    by @adeno aroyo

    ReplyDelete