Search This Blog

Wednesday, October 26, 2016

Linda Christanty, Pembelaan lewat Tulisan

Judul: Para Raja dan Revolusi
Penulis: Linda Christanty
Editor: Tia Setiadi
Pemeriksa Aksara: Rusdianto
Sampul: Zizi
Isi: Bellvania
Cetakan: 1, November 2016
Tebal: 212 hlm
Penerbit: Ircisod



Linda Christanty sudah lama dikenal sebagai wartawan yang juga penulis fiksi. Karya-karyanya selalu mengusung warna-warna pembelaan terhadap pihak-pihak yang lemah atau dilemahkan. Melalui kumpulan tulisannya ini, penulis menunjukkan posisinya sebagai teman dari mereka yang terabaikan, yang termarginalkan, yang menjadi penentang arus utama dan juga yang tidak sejalan dengan wacana populer. Sebagaimana yang disinggungnya dalam kata pengantar, Linda menyebut bahwa kita selama ini telah keliru dengan menganggap bahwa apa yang dianggap benar oleh sebagian besar orang adalah sudah benar sesuai esensinya. Padahal, apa yang benar dalam anggapan mayoritas belum tentu benar secara esensi. Dan, bagaimana dengan pihak minoritas yang seringkali terzhalimi hanya karena mereka minoritas?

"Kesewenang-wenangan dan ketidakadilan harus dilawan." (hlm. 130)

Buku setebal  212 halaman ini memuat 15 artikel esai karya Linda Christanty dengan tema dan sorotan yang beragam, mulai dari mitos para keturunan raja Mataram Islam yang konon memiliki tanda sisik di dekat ketiaknya hingga tentang Dewi Ibu. Menarik menyimak tulisan-tulisannya yang seakan lepas dan tidak saling terkait dalam buku ini. Sering kali, Linda memulainya dengan cerita masa kecil atau dongeng yang pernah didengarnya, lalu kemudian pembaca dibawa pada opini psi penulis tentang peristiwa-peristiwa kekinian. Awalnya mungkin pembaca jadi agak bingung mengikuti gaya menulis Linda, terutama bagi pembaca yang terbiasa membaca esai ala buku yang disusun rapi. Esai-esai Linda di buku ini menyerupai artikel opini di koran yang kadang tidak jelas ujung pangkalnya, namun selalu ada benang merah tersembunyi yang dipegang penulis sebelum dia menutupnya dengan simpulan yang simpel.

Banyak opini-opini penulis yang bisa dibilang berani namun sekaligus menyegarkan. Kita melihat ide-ide Linda ini liar sekaligus kreatif, tidak dikekang oleh wacana umum yang selama ini kerap mengungkung kita dalam kemonotonan wacana. Tentang  pembangunan candi misalnya, Linda dengan berani menyebut bahwa pembangunan monumen-monumen besar seperti Candi Prambanan, Candi Sewu, dan Candi Borobudur merupakan penyebab runtuhnya kerajaan Mataram Hindu di Jawa Tengah. Dalam opini penulis, para raja dari Wangsa Syailendra dan Sanjaya telah menyalahgunakan ketaatan rakyatnya hanya demi ego untuk membangun monumen megah yang pada gilirannya menyebabkan tumpasnya daya rakyatnya sendiri. Opini seperti ini tentu sah-sah saja diangkat, terlepas dari fakta bahwa Borobudur dan Prambanan juga telah membuat Indonesia dikenal di dunia. Linda mungkin berkaca dari bangsa Mesir dengan piramid-piramid raksasanya.

Sejarah keluarga adalah tema yang sering diangkat oleh Linda dalam bukunya ini. Dalam pandangannya, sejarah sebuah keluarga tidak hanya mengungkap dari mana kita berasal atau berakar, tetapi memperlihatkan bagaimana kekuatan di luar rumah kita membentuk, menyatukan, atau memisahkan individu-individu di dalamnya (hlm. 29). Banyak keluarga yang bersatu oleh sejarah, banyak juga yang tercerai berai karena sejarah. Bahkan dalam satu wangsa pun, perpecahan adalah sesuatu yang begitu sering terjadi sehingga menjadi lumrah adanya. Linda menyorot kasus keluarga dari Kraton Kanoman Cirebon. Raja Adipati Muhammad Nurus dari Kraton Cirebon tidak kurang-kurang dalam mendukung perjuangan kemerdekaan RI. Beliau bahkan sempat beberapa kali menghadapi ancaman dari beberapa orang yang hendak mendirikan Negara Pasundan pada masa-masa awal berdirinya negara RI. Tapi, penghargaan yang ditunjukkan kepada Cirebon (dan juga Jawa Barat) sedemikian kurang.

Bangsa Sunda termasuk salah satu pihak yang hendak dibela Linda lewat buku ini. Sekian lama dibawah rezim Orde Baru yang begitu Jawa telah menjadikan Jawa Barat menjadi dipaksa Jawa. Pernah ada ide untuk menyebut Jawa Barat sebagai Sunda sementara Jawa Tengah adalah Jawa Barat. Hal ini karena bangsa Sunda memang bukan Jawa (sebagaimana Jawanya Jawa Tengah dan Jawa Timur). Mungkin inilah sebab mengapa orang Jakarta sering bilang “Mau ke Jawa” saat mereka hendak ke Jawa Tengah atau Jawa Timur padahal secara geografis masih di Jawa.  Kemudian, pulau Jawa menjadi Nusa Selatan sebagaimana kita juga memiliki Nusa Tenggara. Perseteruan amat halus antara Jawa dan Sunda konon dipicu oleh Perang Bubat di era Gadjah Mada. Karena itulah (konon) tidak pernah ada Jalan Gadjah Mada di Bandung atau kota-kota lain di Jawa Barat. Menarik sekali menyimak perseteruan dua saudara sebangsa ini dari sudut pandang Linda.

Tidak melulu lewat artikel, Linda juga kerap menunjukkan posisi dan pandangannya lewat karya fiksi. Tulisan “Si Per, Cerita dari Aceh” lebih menyerupai tulisan fiksi ketimbang nonfiksi.  Tulisan ini menyempil di antara dua bab yang lumayan berat tentang politik. Paling menarik adalah tulisan tentang “Bangsa Nusantara dan Peradaban Manusia.” Tulisan ini mungkin dibuat saat kita sedang heboh dengan teori dr. Santos yang menyebut bahwa Atlantis berada di nusantara pada zaman kuno. Opini ini diperkuat dengan temuan situs Gunung Padang yang konon berisi piramida yang usianya lebih tua ketimbang piramida yang ada di Mesir. Linda kemudian mengumpulkan beragam temuan ‘konon-kononan’ tentang hal-hal yang tersembunyi atau disembunyikan dari nusantara. Misalnya tentang tato suka Mentawai yang merupakan tato tertua di dunia, leluhur bangsa Korea yang katanya dari Nias, hingga patung-patung moai di pulau Paskah yang konon adalah wajah-wajah para pelaut dari nusantara yang berlayar ke arah timur.

Jika ada yang belum tuntas dari tulisan-tulisan di buku ini, mungkin adalah kurangnya referensi pendukung yang memadai untuk dapat mendukung opini dari penulis. Tentang hal-hal besar dari nusantara kuno di bab 5, misalnya, tidak disertakan sumebr rujukan (baik ilmiah ataupun populer) dari klaim-klaim yang disebutkan sehingga terasanya seperti hanya ‘konon-kononan’ saja.  Seandainya ada pendapat ahli atau catatn kaki yang bisa menguatkan, tentunya akan sangat berharga untuk semakin menambah kualitas buku yang berbobot ini.


No comments:

Post a Comment