Search This Blog

Wednesday, October 5, 2016

Buku dan Kelamin dalam Pertaruhan

Judul : Perpustakaan Kelamin, Buku dan Kelamin dalam Pertaruhan
Penulis : Sanghyang Mughni Pancaniti
Penerbit : Semesta
Cetakan : I, Mei 2016
Tebal : 229 hlm
ISBN : 978-602-14549-3-0 





Perpustakaan dan kelamin, dua kata benda yang sejatinya jauh berbeda tetapi dapat dipersatukan di tangan seorang penulis yang  nyata-nyata sangat mencintai buku. Adalah Hariang, seorang asli Sunda yang tinggal di sebuah desa kecil di pelosok Sukabumi, Jawa Barat  bersama ibunya. Keduanya sangat mencintai buku dan perpustakaan. Sedemikian cintanya kepada perpustakaan, ibu Hariang bahkan rela untuk menyisihkan uang pendapatan dari menjual hasil buminya yang tidak banyak itu untuk membeli buku. Setiap ada uang, sebagian selalu disisihkan untuk membeli buku demi memperkaya perpustakaannya. Tidak hanya itu, ibu Hariang kemudian membuka perpustakaan itu untuk umum. Seluruh warga desa Cigendel diperbolehkan untuk membaca buku di sana. Perpustakaan itu kemudian diberi nama Pakubon Kadeudeuh (bahasa Sunda, Pakubon = Perbukuan/perpustakaan, Kadeudeuh = Kasih Sayang). Satu lagi sikap teguh mereka yang layak dicatat, haram hukumnya bagi mereka untuk meminta - minta buku alias mendapat buku dengan gratis

"Membacalah! Membacalah! Membacalah! Karena kita tak lagi purba!" (hlm 128)

Bagaimana cara Ambu Hariang untuk menumbuhkan semangat cinta baca dalam diri Hariang cukup unik. Beliau menyimpan seluruh buku koleksinya dalam sebuah ruangan terkunci dan putranya sama sekali tidak mengetahui apa yang ada di balik pintu tersebut. baru ketika Hariang berusia 20 tahun, ibunya membuka kamar rahasia tersebut: sebuah perpustakaan dengan koleksi buku yang jumlahnya ratusan ribu. Ada alasan khusus mengapa ibunya melakukan itu, yakni agar Hariang muda selalu penasaran (sehingga mau berusaha untuk selalu ingin tahu lewat membaca) dan agar kerinduan yang memuncak itu akhirnya terbalaskan ketika waktunya tiba. Dan memang benar, begitu perpustakaan itu dibuka, Hariang langsung jatuh cinta pada buku-buku. Sejak saat itu, tidak ada hal lain di pikiran Hariang selain buku, ibunya ... eh juga pacarnya--si Drupadi.

"Hariang, ketika Tuhan meniupkan ruh padamu, Dia simpan pada tiga tempat: akalmu (buku), hatimu (Ibu), dan kelaminmu (Drupadi), tinggal kamu yang putuskan, mana yang akan kamu utamakan?" (hlm. 208)

 Selain kisah tentang pecinta buku, novel dengan judul mirip buku nonfiksi ini dilimpahi dengan aneka informasi sejarah tentang buku. Separuh pertama buku ini adalah buku impian dari para pecinta buku karena begitu banyak informasi, sejarah, orang-orang, hingga beragam cerita unik di balik buku. Dimulai dari sejarah terciptanya buku, bahwa buku memiliki format dan wujud yang berbeda-beda hingga menjadi yang seperti saat ini. Bangsa Sumeria memulainya dalam tablet-tablet tanah liat yang dikeringkan, bangsa Mesir dengan papirus, bangsa Jawa dengan daun lontar dan lain sebagainya sampai sebuah revolusi dilakukan oleh Tsai Lun yang menemukan kertas pada 105 M. Butuh waktu hampir 1500 tahun lagi hingga muncul revolusi kedua, yakni penemuan mesin cetak oleh Gutenberg. Begitu berjasanya kedua tokoh ini sampai Michael J. Hart menempatkan mereka dalam 10 besar tokoh paling berpengaruh dalam sejarah (no. 7 dan no. 8).

Ada 7 jenis penggandrung buku:

1. Bibliomania: membeli buku hanya untuk ditimbun
2. Bibliofil: membeli buku dan membacanya
3. Bibliotaf: menyimpan buku seperti dia menyimpan hatinya sendiri eaak
4. Bibliokas: memiliki kecenderungan untuk menghancurkan buku
5. Bibliofagi: memakan buku biar hafal/memahami isinya
6. Biblionarsisis:mengoleksi buku hanya untuk pamer
7. Bibliokleptomania : suka nyolong buku.
(disarikan dari hlm. 27 - 28)


Paling menarik tentu saja kisah-kisah unik tentang para pecinta buku. Penulis membagi para pengandrung buku itu dalam 7 golongan seperti dikutip di atas. Salah satu yang paling unik adalah Boulard yang hidup pada abad ke-18 di Prancis. Tokoh ini begitu bernafsu membeli buku hingga rumahnya tak cukup untuk menyimpan buku-bukunya yang mencapai 800 ribu judul (timbunan saya belum ada seperseratus persennya dah!) dan Boulard tak pernah sekalipun membaca buku-buku tersebut. Edan, inilah penimbun sejati. Kita juga sedikit bersedih hati saat membaca kecenderungan aneh Mary Shelley--pengarang Frankenstein--yang gemar menyobek halaman depan buku, atau Charles Darwin yang selalu membelah menjadi dua setiap buku tebal miliknya dengan alasan agar lebih mudah dibawa.

Salam penghormatan layak disematkan pada Richard Heber yang hidup di Inggris pada abad ke-19 karena dia memiliki 300 ribu judul buku yang seluruhnya sudah dia baca dalam masa usia kehidupannya. Ada juga Pliny dari Romawi kuno yang sering berkeliling kota Roma dalam kereta tertutup agar kegiatan membacanya tidak terganggu. Kisah lain tentang bibliofagi dan bibliokleptomania di buku ini juga tidak kalah mencengangkan, bikin geleng-geleng karena segitunya demi buku. Kisah tentang Marquis de Sade juga tidak kalah mengenaskan, yang sekaligus membuktikan kecintaannya pada menulis seperti yang digambarkan dalam film 'Quills'.


"Tidak ada satu negara besar pun, yang rakyatnya bukan penggemar sastra." (hlm. 46)

Tidak hanya asal gembar-gembor, penulis novel ini benar-benar membuktikan dirinya sebagai pecinta buku dengan melansir daftar buku-buku yang wajib baca. Membaca novel ini, kita serasa disodori judul-judul buku yang sangat direkomendasikan untuk dibaca, terutama buku-buku bagus yang jarang mendapatkan perhatian. Nama-nama penulis macam La Fang,  Putut Widjanarko, Moamar Emka, hingga Ayu Utami bertebaran di dalamnya. Belum lagi penulis-penulis kenamaan dunia dengan karya-karya besarnya. Saya seperti disadarkan betapa masih banyaknya buku-buku bagus yang belum saya baca. Dalam menyoroti sejarah buku, novel ini banyak juga menyorot para ulama Islam yang ternyata juga penulis-penulis hebat. Meskipun saat itu belum ditemukan mesin cetak, banyak ulama dan ilmuwan Islam yang menulis sehingga dari karya-karya itulah dimungkinkan khazanah ilmu pengetahuan dari era Yunani kuno masih bisa kita baca sampai sekarang. Selain menulis ulang dan menerjemahkan, para cendekiawan muslim tersebut juga memperkaya tulisan-tulisan dari era purba sehingga semakin tinggilah kadar keilmuwannya.

"Hariang, ibu merasa berutang budi kepada para penulis buku. Karena mereka telah bersusah payah menangkap berbagai realitas, yang kemudian diteks-kan, agar kita semua bisa membacanya hari ini. Itulah kenapa ibu selalu membacakan surat Yaasin kepada mereka, mengirimkan doa dan banyak ucapan terima kasih." (hlm 8)

Secara khusus, novel ini menyorot buku Penghancuran Buku dari Masa ke Masa karya Fernando Baez.  Buku inilah yang digunakan dalam diskusi bersama kelompok PAKU (Pasukan Anti Kuliah) yang rutin diikuti oleh Hariang. Dari PAKU pula Hariang bisa menemukan teman-teman yang sevisi dengannya, yang mencintai ilmu tetapi kurang mencintai institusi sekolah. Pembahasan tentang buku Baez ini menurut saya terlalu banyak, sampai-sampai hampir menyerupai ulasan dalam ulasan. Buku bagus memang layak diulas, tetapi jika kasusnya diulas dalam novel, menurut saya jadi terlalu detail dan menghilangkan rasa penasaran pembaca yang belum membaca buku Baez (atau malah semakin penasaran). Untungnya, penulis tidak sekadar mengutip, namun memperkayanya dengan wacana dan kemudian mengaitkannya dengan isu-isu kekinian di dunia pendidikan dan kekinian dalam bahasa yang menyentil.

 "Koran adalah benda yang begitu banyak paradoks. Mengutip Prie G.S., ia terlalu murah untuk isinya yang mahal. Ia begitu cepat tak berharga dibanding isinya yang padat makna." (hlm 31)

Alasan mengapa buku Fernando Baez mendapatkan porsi lebih mungkin karena novel ini memang berkisah tentang terbakarnya buku-buku. Suatu malam, saat Hariang sedang ke Bandung untuk mengikuti diskusi dengan PAKU, Pakubon Kadeudeuh terbakar. Seluruh buku-buku bagus yang telah dikumpulkan bersama ibunya habis terbakar menjadi abu. Kehilangan besar ini telah meruntuhkan semangat hidupnya, yang menjadi linglung dan gila mencari-cari perpustakaan dan bukunya. Hariang yang memang belum bekerja tetap pun bingung mencari dana untuk membangun kembali Pakubon Kadeudeuh, terlebih ketika dokter berkata bahwa ibunya hanya bisa sembuh ketika perpustakaan itu kembali didirikan. Dalam situasi sulit itulah, Hariang teringat pada tawaran Kang Ulun yang sedang mencari donor kelamin dengan imbalan 1,5 Miliar. Haruskah Hariang mengorbankan anugrah Tuhan yang hanya satu-satunya itu demi membangun kembali Pakubon Kadeudeuh? 

"Kamu harus selalu ingat, buku adalah peradaban tertinggi umat manusia. Peradaban kita adalah peradaban buku. Demi peradaban itu, kamu jangan pernah meminta. Jangan pernah! Kalau perlu, lakukanlah pengorbanan demi mendapat sebuah buku!"  (hlm. 14)


3 comments:

  1. Replies
    1. Wajib banget buat pustakawan biar semakin bersemangat

      Delete
  2. Pengen buku Perpustakaan Kelamin plus ttd penulisnya? Bisa follow instagram kami @sakaboek
    Buku murah nan berkualitas, hanya yg pernah di baca dan direkomendasikan baca.

    ReplyDelete