Search This Blog

Friday, September 16, 2016

Babad Ngalor Ngidul

Judul: Babad Ngalor Ngidul
Penulis: Elizabeth D. Inandiak 
Tebal: 160 hlm
sampul dan ilustrasi: Bayu Dono
Cetakan: 1, Mei 2016
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia


30237252

Saya mengenal nama Elizabeth D. Inandiak pertama kali lewat seri Serat Centhini yang digubahnya ke bahasa Prancis dan kemudian ke bahasa Indonesia. Banyak yang bilang, dari sekian versi terjemahan Serat Centhini di Indonesia, gubahan beliau adalah yang paling apik. Persentuhannya dengan Serat Centhini rupanya membuatnya jatuh cinta pada negeri ini, terutama dengan budaya Jawa, sehingga kemudian dia mukim dan banyak berinteraksi dengan orang-orang Jawa. Satu fakta yang agak menyedihkan sebenarnya, ketika bangsa kita mulai tertarik membaca dan mempelajari kembali Serat Centhini setelah naskah kuno asli nusantara itu dipelajari dan dipopulerkan oleh seorang asing. Apakah bangsa kita sedemikian kurang kreatifnya sehingga membutuhkan sebuah picuan dari luar sebelum kita bisa benar-benar menghargai harta pustaka milik bangsa? Entahlah, semoga saja tidak.


Sebagai penulis, beliau mengaku tidak ada hal lain yang bisa dilakukannya demi membantu korban gempa Jogja dan korban erupsi Merapi 2010 selain dengan menulis. Dan buku ini merupakan rangkuman ingatannya tentang kedua peristiwa besar di tanah Jawa itu yang dikemasnya dalam sebentuk cerita bersambung antar-bab. Buku ini merupakan upayanya untuk merekam dan menyatukan serpihan dan sepilihan cerita tentang berbagai hal terkait mitos Merapi dan Laut Selatan yang entah didengarkannya beneran dari orang-orang nyata ataukah hanya dongeng rekaannya semata. Tetapi jika pun ini dogeng, Elizabeth D. Inandiakbenar-benar seorang pendongeng yang hebat dan meyakinkan. Penulis buku ini terasa sangat Jawa, lebih dari Jawanya saya (padahal saya yang orang Jawa asli). Memang benar kata pepatah, banyak orang Jawa sekarang yang 'ilang Jawane' ... saya contohnya, hiks.

Ngalor ngidul, istilah ini merujuk pada kegiatan melakukan sesuatu yang tidak jelas jluntrungannya, seperti bicara ngalor ngidul alias bicara sampai kemana-mana tidak ada ujung dan pangkalnya. Dalam konsep Jogja, ngalor-ngidul memiliki makna yang sejatinya sangat dalam, yakni perbincangan akrab antara pihak Lor (utara) dan pihak Kidul (selatan). Dalam konsep mitologis Jogja, kota ini memang berada di tengah-tengah antara Lor (yang diwakili Gunung Merapi) dan Kidul (Ratu Pantai Selatan). Peran Kraton Yogyakarta kemudian adalah sebagai penengah dari segala sesuatu. Sebagaimana ungkapan bijak dalam agama yang menyebut bahwa menjadi manusia yang baik adalah yang berada di tengah-tengah, yang menengahi, yang tidak kaya banget tapi juga tidak miskin melarat, tidak kikir tapi juga tidak boros; yang di tengah-tengah di antara kedua kutub ekstrem. 

Elizabeth D. Inandiak memulainya dari puncak Merapi, menyorot kehidupan sosok masyhur yang pesonanya akan selamanya lekat dengan gunung kuno ini, Mbah Maridjan. Penulis mengisahkan pertemuannya dengan sang Juru Kunci Merapi, tentang bagaimana beliau benar-benar menjaga Merapi agar tidak diperjualbelikan, tentang kesederhanaan dan falsafah hidupnya, juga tentang 'kesaktiannya' yang konon piawai memperkirakan kapan Merapi akan meletus. Elizabeth D. Inandiak kemudian menyoroti tentang iklan 'Kuku Bima' yang kata sebagian orang telah 'merusak' keagungan sang Juru Kunci. Beliau yang sebelumnya bersahaja telah 'diperalat' menjadi alat promosi kapitalisme sehingga ilmu titen-nya tidak lagi semanjur dahulu. Erupsi tahun 2010 membuktikan bahwa sebuah gunung tidak perlu dijaga karena Merapi bisa menjaga dirinya sendiri. Dia tidak mau diprediksi dan diatur-atur, begitulah alam. Mbah Maridjan pun menjadi salah satu korban embusan awan panas Merapi setelah bersikukuh tidak mau mengungsi.

Lewat babad ini, penulis sepertinya hendak menyorot efek industrialisme dan kapitalisme terhadap kesederhanaan bangsa Jawa. Selama ini, banyak kita berpikir bahwa modernitas akan membawa kebaikan bagi manusia--disamping kemudahan-kemudahan teknologi yang dibawanya serta. Semua di zaman ini serbainstan, termasuk mendaki Merapi yang dulu harus dilakukandengan dibarengi beragam tirakat dan penghormatan. Sekarang, semua bisa mendaki gunung dan banyak yang kemudian lupa untukmenghormati alam. Atas nama modernitas--dan kadang bahkan atas nama agama--banyak kita yang kemudian menindas alam, memperlakukannya bukan sebagai rekan tetapi sebagai sesuatu yang wajib ditaklukan. Gempa 2006 dan Erupsi Merapi 2010 membuktikan bahwa alam mampu menjaga dirinya sendiri, karena itulah di buku ini disebut bahwa Mbah Maridjan bertanggung jawab kepada Kraton, dan bukan kepada Merapi. Gunung ini telah membuktikan, bahwa dia mampu dalam sekejap saja menghancurkan kesombongan manusia yang sedemikian tamak memenuhi lereng dan punggungnya dengan perumahan mewah dan lapangan golf tetapi abai pada sesamanya.

Dilengkapi dengan ilustrasi-ilustrasi mistis karya Bayu Dono, buku ini adalah bacaan yang unik bagi mereka yang tertarik pada beragam referensi tentang kebudayaan Jawa. Sebagai orang Jawa (dan orang Jogja), saya turut belajar banyak tentang Jawa dan Jogja dari buku bersampul unik ini.  

1 comment:

  1. Buku ini memang bukan termasuk buku yang ingin saya baca. Namun membaca review ini, saya merasa tertohok ketika pertanyaan mengenai kurang kreatifkah kita dan memahami garis besar yang mau dibahas penulis; mengenai kekuatan alam mengalahkan kesombongan. Bagian itu bener-bener mengingatkan kita mengenai kuasa Allah si pemilik alam.

    Wishful Wednesday: Ratu Selja dan Gerda

    ReplyDelete