Search This Blog

Wednesday, August 24, 2016

Panggilan Sang Monster

Judul: A Monster Call
Pengarang: Patrick Ness
Format: Kindle
Tebal: 224 halaman
Terbit: Mei 2011
Penerbit: Candlewick 


11391373

Kalau ada sebuah buku suram yang menghangatkan hati, itulah buku ini.
Kalau ada cerita sedih yang menggembirakan jiwa, itulah buku ini.
Kalau ada tentang seorang anak yang mampu mendewasakan pembaca dewasa, itulah buku ini.

Beberapa pembaca menyebut buku ini sebagai bacaan terbaik mereka. Kasusnya menurut saya sama kayak membaca buku The Giving Tree yang tampak sederhana namun sejatinya sedemikian menyentuh. Hal-hal sederhanalah yang kadang malah berhasil menyentuh inti dari kesadaran kita dengan lebih dahsyat ketimbang cerita-cerita megah. Maka seperti itulah buku ini. Ditulis dengan spasi sangat renggang dan bisa dibaca dengan cepat layaknya novel anak, buku ini ternyata punya lebih dari sekadar cerita. Ditulis dengan kelam sekaligus menggugah, tanpa sadar, pembaca akan diseret masuk ke rumah si kecil Conor, merasakan menjadi dirinya dengan segala masalah yang dia hadapi. Kalau seumpama buku punya atmosfer, maka atmosfer buku ini pasti sangat hitam pekat. Anehnya, walau suram, seperti ada monster yang mencengkram pembaca untuk terus menekuri halaman demi halaman dari buku ini.


"Stories are important, the monster said. They can be more important than anything. If they carry the truth.

Conor O'Malley dihantui dengan mimpi seram yang datang menghampirinya setiap malam pukul 00.07. Semakin lama, mimpi buruk itu seolah mewujud dalam rupa sesosok monster berukuran raksasa yang lalu berdiam di belakang rumahnya. Anehnya, hanya Conor yang mampu melihat dan mendengar si monster. Kata si monster, hal itu karena Conorlah yang telah memanggilnya, karena Conorlah yang butuh disembuhkan. Malam-malam berikutnya, monster itu datang membawa tiga cerita untuk Conor. Setelah itu, Conor gantian harus menceritakan kisahnya sehingga lengkap ada empat cerita.  

Dalam kehidupan nyata, nasib Conor sedemikian suram. Ayah dan ibunya sudah tidak tinggal serumah, dan selain itu, ibunya tengah menjalani pengobatan (kemungkinan kemoterapi untuk melawan kanker) sehingga dia diasuh oleh sang nenek. Di sekolah, Conor juga sering dirundung oleh teman-temannya. Berbaagi masalah inilah yang mungkin membuat Conor menarik diri dari pergaulan, berharap membuat dirinya tidak kelihatan. Seringkali, kita malah akan semakin kesepian saat merasa ingin kesepian sejenak. Seperti yang dialami Conor, menjadi 'tak terlihat' malah membuatnya semakin mencolok sehingga dia jadi bahan rundungan. Benar-benar deh nyeseknya banget-banget saat baca buku ini.
 
"There is not always a good guy. Nor is there always a bad one. Most people are somewhere in between." 

Keindahan buku ini mungkin terletak pada pesan-pesan yang diselipkan penulisnya. Seperti kutipan kalimat pendek di atas. Penulis menyadarkan kita akan arti menjadi manusia sekaligus bagaimana menjadi manusia. Bahwa manusia, seperti segala di dunia ini, tersusun atas berbagai warna dan tidak melulu hitam dan putih. Jika kita men-judge sesorang hanya karena satu atau dua tindakannya tanpa pernah kita mau memandangnya secara utuh, maka sungguh telah tidak adil kita. Seperti yang dialami juga oleh Conor, tentang teman-teman yang merundungnya dan bagaimana hal itu bisa saja mempengaruhi karakternya. Bertemu si monster menyadarkan Conor bahwa kita dinilai berdasarkan tindakan kita, bukan oleh kata-kata kita.

"You do not write your life with words, the monster said. You write it with actions. What you think is not important. It is only important what you do."

Bagian terakhir buku inilah yang paling bikin nyesek karena kita diajak menemani Conor dalam perjuangan final yang harus dilaluinya, yakni perjuangan untuk merelakan. Setelah disuguhi yang suram-suram, pembaca harus menutup buku ini dengan mata berkaca-kaca saat mengetahui Conor--dalam usianya yang masih sangat muda--harus mengalami satu ujian terbesar dalam kehidupan yang tidak semua orang bahkan orang dewasa sekalipun bisa menghadapinya dengan mulus. Conor telah membuktikan sebuah adagium agung dalam hidup, bahwa merelakan adalah bentuk tertinggi dari mencintai. Conor percaya bahwa semuanya akan baik-baik saja selama dia percaya.

“Belief is half of all healing.”
 

1 comment: