Search This Blog

Tuesday, August 30, 2016

Batavia dalam Catatan Wisata Bangsa Eropa



16136063

Catatan perjalanan sering kali menjadi dokumen primer yang sangat berguna dalam melacak jejak sejarah sebuah kota. Kebiasaan para penjelajah Eropa yang selalu membuat catatan harian atau semacam jurnal tentang segala yang dilihatnya di perjalanan terbukti menjadi dokumen yang sangat berharga di kemudian hari sebagai sumber-sumber tertulis untuk mereka ulang seperti apa wujud dan bentuk sebuah kota pada sebuah masa. Salah satu kota tua yang bisa dibilang 'permata dari Timur' pada era penjelajahan (dan kemudian penjajahan) adalah kota Batavia. Kota tua yang mulai dibangun di muara Ciliwung pada abad ke-16 ini pernah menyandang sejumlah nama, mulai dari Sunda Kelapa, Jacatra, hingga akhirnya menjadi Jakarta sampai saat ini. Tetapi, semua ahli sama sepakat bahwa masa keemasan kota ini adalah ketika kota ini bernama Batavia. 

Judul: Batavia, Kisah Kapten Woodes Rogers dan Dr. Strehler
Penyusun:  Frieda Amran
Editor: Mulyawan Karim
Sampul: Wiko Haripahargio
Cetakan: 1, Oktober 2012
Tebal: 114 hlm
Penerbit: Buku Kompas



Banyak tulisan dan dokumentasi kuno telah menjelaskan dan menggambarkan Batavia dari masa awal pembangunannya hingga ke era perjuangan merebut kemerdekaan. Dalam buku Jawa Tempoe Doloe, bagian paling banyak dibahas adalah tentang Batavia karena bahan tulisan untuk kota tua ini memang melimpah, terutama dari para pelaut, pelancong, dan penjelajah Eropa yang selalu menyempatkan mampir ke kota berjuluk 'Ratu dari Timur' ini. Salah satu eh salah dua dari mereka adalah Kapten Woodes Rogers dan dr. Strehler yang mengunjungi Batavia pada penghujung abad 18 dan juga di abad 19. Secara ringan, mereka menuliskan pengalaman yang mereka alami, apa-apa yang mereka lihat dan dengar, serta menambahkan sedikit-banyak opini mereka tentang Batavia. Dari catatan mereka, kita bisa melihat bagaimana pandangan orang Eropa tentang Batavia.

Karena sifatnya hanya sebagai catatan yang sambil lalu, tentu saja tulisan-tulisan di buku ini belum bisa dijadikan sebagai sumber data yang memuaskan untuk penelitian sejarah. Baik Kapten Rogers maupun dr. Strehler sepertinya hanya 'piknik' saja seraya melontarkan opini-opini semena-menanya tentang apa-apa yang mereka lihat. Misalnya saja, dr. Strehler menyamakan bangsa pribumi dengan bangsa negro Afrika. Konsep warna kulit sawo matang belum dikenal bangsa Belanda waktu itu karena ... yah di Eropa juga nggak ada sawo kali! Catatan si dokter ini lebih lengkap dibanding sang kapten, karena Rogers lebih banyak menulis tentang kapal-kapal menuju Batavia dan benteng-benteng di sekitar kota tua ini. Sementara sang dokter menulis runtut mulai dari perjalanan lewat kapal laut menuju Batavia (yang memakan waktu 120 hari) hingga pikniknya ke Buitenzorg (sekarang Bogor).

Walau terkesan nanggung, banyak data-data unik yang bisa kita dapatkan dari catatan-catatan mereka. Misalnya saja, hotel-hotel di sekitar Batavia sering kali memberikan jeruji pada bak mandinya agar para tamu Eropa tidak menggunakannya sebagai bak untuk berendam. Tamu hanya bisa mengambil air lewat lubang jeruji yang dibuat sebesar gayung. Paling menarik adalah saat menyimak perjalanan si dokter ke berbagai spot menarik di Batavia, seperti Kampoeng Tjina, Passer Baroe, dan Gedung Kesenian. Karena posisi penulisnya sebagai pelancong, kita mendapati perjalanan yang serba menyenangkan di buku ini. Bagi dr. Strehler, Batavia memang benar-benar permata dengan sungai Ciliwung yang airnya maish bersih dan digunakan untuk wisata dan mandi para warga. Inilah yang membuat rasa buku ini jadi tawar karena pembaca hanya disuguhi yang baik-baik saja oleh seorang Eropa yang tampak benar dia masih merasa lebih tinggi derajatnya dari orang-orang pribumi yang dilihatnya di Batavia.

Meskipun singkat, membaca Batavia sedikit mengingatkan saya pada suasana di novel Bumi Manusia karya Pram. Malam-malam pesta orang Eropa, hidangan ala Belanda yang terdiri dari 12 macam makanan, hingga pergi menonton pertunjukkan dengan menggunakan dokar atau kereta kuda milik pribadi. Dari buku ini, saya baru tahu kalau sapaan 'Spada' yang jadul itu ternyata singkatan dari 'Siapa ada?' Jika menilik riwayat penerbitannya, memang buku ini hanya digolongkan sebagai dokumen ringan dengan tujuan untuk dibaca sambil bernostalgia di salah satu rubrik Warta Kota, bukan untuk riset dan penelitian--meskipun beberapa data sejarah di dalamnya akan sangat berharga dalam sebuah penelitian kesejarahan yang mendalam tentang Batavia. Buku tipis yang ringan dibaca ini layak dimiliki dan dikoleksi para peminat sejarah Indonesia.

No comments:

Post a Comment