Search This Blog

Thursday, November 26, 2015

Tiga Sandera Terakhir



Judul: Tiga Sandera Terakhir
Pengarang: Bhahmanto Anindito
Penyunting: Hermawan Aksan, Miranda Harlan
Sampul: Oesman
Cetakan:1, Mei 2015
Tebal: 310 hlm
Penerbit: Noura Books

25674513

Novel Tiga Sandera Terakhir sempat heboh wira-wiri di beranda dan linimasa saya beberapa bulan lalu. Memang luar biasa pengaruh media social saat ini dalam mempromosikan sebuah buku. Tanpa adanya ulasan positif buku ini di blog dan goodreads, mungkin banyak yang akan melewatkan novel seru ini. Saya termasuk di antaranya. Sampul yang hitam berlatar halaman surat kabar dan blurb yang lebih mirip novel politik sempat menipu saya, mengira novel ini bakalan terlalu banyak intrik dan mirip konflik. Ternyata, tidak. Ulasan dari sejumlah teman-teman blogger buku akhirnya meracuni saya untuk menginginkan membaca buku ini. Bahkan, membaca kisahnya pun sama cepatnya dengan alur adegan yang dibangun dalam buku ini. Bak buk dor!, lalu pembaca pun ikut terseret dalam cerita. Sebegitu serunya kah buku ini?

                Banyaknya aksi spektakuler ala dunia militerlah yang menurut saya menjadikekuatan sekaligus pembeda dari novel ini. Penulis menggunakan setting militer yang mungkin masih sangat jarang disentuh oleh penulis-penulis fiksi Indonesia. Dua jempol sangat layak diacungkan kepada sang penulis yang (saya yakin) pasti telah melakukan berbagai riset demi menulis sebuah kisah apik tentang pasukan baret merah ini. Mulai dari jenis-jenis senjata alutista, rantai komando, sumpah prajurit, dan masih banyak lagi, pembaca seperti diajak memasuki dunia kemiliteran yang dikenal kaku dan tertutup itu. Penjelasannya pun tidak saklek dan asal rekat-tempel, tapi ditempatkan di sela bercerita sehingga tidak mengesankan sikap sok tau. 

                Hal lain yang menarik dari buku ini adalah setting lokasinya nan eksotis, yakni di bumi Papua (dulu dikenal dengan Irian jaya). Begitu banyak adat istiadat Papua yang bisa kita pelajari lewat membaca buku ini, seperti upacara bakar batu, honai, dan mumifikasi ala Papua. Selain itu, ada juga sedikit politiknya. Tanah mutiara hitam yang selama ini lekat dengan OPM dan Freeport ini menyimpan kekayaan alam yang luar biasa, tetapi rakyatnya sendiri malah hidup tertinggal bila dibandingkan wilayah-wilayah lain di Indonesia. Hal inilah yang menurut OPM atau Organisasi Papua Merdeka menjadi alasan mereka untuk memperjuangkan tanah Papua yang merdeka. Sebagai pembaca, kita diajak untuk memandang konflik di Papua dari dua sisi: di satu sisi kita harus berani untuk memahami alasan mereka untuk menuntut kemerdekaan,  di sisi lain kita terbuncahkan oleh perasaan nasionalisme dalam mempertahankan setiap jengkal wilayah NKRI.

“Semua ini sudah dimulai dari masa penjajahan Belanda. Dan penyelesaian status Papua ternyata masih berlarut-larut setelah Indonesia merdeka. Tidak selesai-selesai sampai 1961, sampai Indonesia-Belanda terlibat perang terbuka.” (hlm. 36)

                Semua berawal dari sebuah peristiwa penyanderaan terhadap lima warga sipil yang tengah berlibur di Papua oleh sekelompok orang bersenjata yang mengaku sebagai OPM. Tiga di antara lima sandera itu adalah warga asing sehingga Pemerintah RI pun harus bergerak cepat untuk menyelamatkan para sandera sebelum dunia internasional bertindak, Maka, Panglima TNI dan Komandan Jendral Koppasus menunjuk Kolonel Larung Nusa untuk mempimpin operasi pembebasan sandera. Dengan rekam jejaknya yang gilang-gemilang di dunia kemiliteran, Nusa kemudian memimpin Satuan 81/Penanggulangan Teror (Sat-81/Gultor) menuju ke Jayapura untuk operasi pembebasan sandera. Sayangnya, kali ini, musuh mereka bukanlah para pemberontak biasa. Dan Larung Nusa terlambat menyadarinya.

                Ketika operasi pembebasan dijalankan, para anggota satuan khusus ini baru menyadari bahwa musuhnya adalah para prajurit terlatih. Mereka memiliki pasokan senjata canggih, punya pusat komando rahasia, memiliki alur komando yang runtut, dan jago tempur. Segera saja korban berjatuhan di kedua belah pihak, bahkan Nusa harus kehilangan beberapa prajurit terbaiknya. Operasi yang tadinya adalah untuk membebaskan para sandera tiba-tiba berubah menjadi perang strategi. Nusa mulai menyadari, ada hal lain di balik penyanderaan ini. Sesuatu yang misterius, berbahaya, sekaligus mematikan. Masalah ini tidak bisa ditangani secara biasa. Rencana baru pun digunakan.

                Maka, dibentuklah sebuah Tim Hantu yang terdiri dari orang-orang terlatih yang identitasnya dirahasiakan. Pasukan ini ditugasi untuk memburu para penyandera. Mereka bergerak tanpa izin khusus dari TNI/Pemerintah sehingga jika terjadi apa-apa, tidak ada pihak yang mau mengaku bertanggung jawab. Bisa dibilang, tim ini hampir mirip dengan pasukan bayaran. Tapi, justru di situlah serunya. Dua pihak yang bertempur tanpa ada embel-embel pangkat atau golongan, hanya saling beradu untuk menentukan manakah yang lebih unggul. Di bagian ending inilah puncak penyerbuan itu terjadi. Keren sekali, cepat dan membuat pembaca teradiksi (halah) untuk terus membaca. Adegan aksinya pun luar biasa detail, sangat sinematik bak menonton sebuah film aksi luar negeri. Sungguh sangat sayang untuk dilewatkan.

Saya setuju dengan beberapa blogger yang bilang kalau novel ini sepaket lengkap (horor, aksi, ketegangan, lawak, budaya, dan militer) kecuali bagian romansa-nya yang ketinggalan. Bagian belakang juga seperti terlalu cepat selesai (*bilang saja kamu pengen ceritanya dijadiin lebih panjang lagi, Yon!).  Mungkinkah bakal ada lanjutannya? Semoga masih. Buku yang bagus memang harus terus diterbitkan.

3 comments: